oleh : Ahmad Sarwat,Lc.,MA
Umumnya para ulama melarang campur-campur mazhab. Tapi untuk kasus umat Islam di negeri kita zaman sekarang, saya kok cenderung memberi pengecualian.
Bukan berarti saya mendorong agar kita mencampur-campur mazhab. Tapi justru karena melihat realitas, maka terpaksa diberi sedikit keleluasaan.
Kalau di masa lalu, tiap orang dipastikan berkesempatan sejak kecil belajar ilmu fiqih dengan cara yang benar dan ideal, yaitu ada guru ahli fiqihnya dan pakai kitab fiqih tertentu.
Misalnya sejak masih SD belajarnya Safinatun-Najah. Selesai itu belajar Kasyifatus-Saja. Atau meneruskan dengan kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, atau pakai Fathul Qarib, Fathul Mu'in, Kifayatul Akhyar dan seterusnya.
Dengan latar belakang mengaji fiqih yang ideal itu, tentu tidak ada alasan baginya untuk mencampur-campur mazhab. Lagian untuk apa dicampur-campur? Kan yang dipelajari sudah lengkap.
Beda banget dengan di zaman kita. Rata-rata umat Islam tidak pernah belajar ilmu fiqih sejak kecil. Bukan hanya tidak ada gurunya, tapi bahkan semua nama-nama kitab di atas pun belum pernah dengar namanya.
Jadi intinya tidak pernah belajar ilmu fiqih walaupun cuma yang paling dasar sekalipun. Lalu tiba-tiba di usia yang lewat, baru dapat hidayah ingin menjalankan agama. Tetapi tidak ketemu guru fiqih yang betulan, plus juga tidak punya kitab rujukan.
Kalau pun dia shalat, wudhu, tayammum atau melakukan ibadah lainnya, sama sekali tidak pernah didasarkan dengan belajar ilmu fiqih benar. Modalnya cuma dengar-dengar sekilas dari kanan kiri, yang juga tidak jelas sumbernya.
Kadang nemu potongan video di youtube, kadang dapat postingan liar anonim di group, kadang denger radio gak jelas, atau nonton tv parabola alien.
Tentu yang didapat bukan ilmu, cuma potongan-potongan pemikiran gak jelas datang mana. Bukan ilmu fiqih dan juga tidak jelas mazhabnya.
Ibarat orang kafir baru saja masuk Islam lalu disuruh shalat. Sama sekali tidak tahu bagaimaan aturan shalat. Dia cuma tengok kanan kiri, plonga-plongo ikut-ikutan orang di sekeliling.
Nah yang kayak gini kok tidak boleh campur-campur mazhab, memang jadi susah sekali. Udah mau ikut shalat pun sudah bagus banget, meski sama sekali tidak pernah belajar fiqih. Kalau pun jatuhnya jadi campur-campur antara mazhab, ya jamak saja. Ini namanya darurat.
Paling konyol adalah dengan ilmu darurat, tiba-tiba merasa jadi ustadz paling benar sendiri. Semua orang dibilang sesat, salah, keliru dan ahli bid'ah.
Ahmad Sarwat
6 Juli pukul 08.35 ·
#Ahmad Sarwat