Ini Haram Itu Haram

Ini Haram Itu Haram - Kajian Medina
Ini Haram Itu Haram . . .

by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Cincin dan setempel dalam bahasa Arab sama-sama disebut dengan khatam. Padahal keduanya berbeda jauh. Cincin itu melingkari jari, sedangkan stempel itu untuk mengesahkan surat resmi suatu institusi.

Lucunya, di masa lalu sudah menjadi kebiasaan para raja untuk punya stempel yang wujudnya berupa cincin. Jadi cincin di jari sang raja itu ada bagian yang bertuliskan nama sang raja, yang nanti bisa ditekan sehingga menjadi cap resmi pada surat dari sang raja. 

Dan ketika Nabi Muhammad SAW ingin berkirim surat kepada para raja dunia, Beliau pun mengecap atau menstampel surat-suratnya itu dengan stempel yang wujudnya berupa cincin yang melingkari jari Beliau SAW.

Konon cincin atau stempel itu bertuliskan : "Muhammad Rasul Allah".

Di masa sekarang, stempel tentu saja tidak lagi berupa cincin yang melingkari jari. Stempel itu dimasukkan laci meja kerja. Masing-masing adalah dua benda yang berbeda fungsi, beda wujud, beda tujuan, beda manfaat dan dalam bahasa kita juga beda sebutan.

Namun dalam bahasa Arab, khususnya di dalam teks hadits, cincin dan stempel itu sama-sama disebut dengan khatam. 

oOo

Maka dalam memahami teks hadits, kita perlu sedikit lebih cermat, mengingat banyak istilah yang maknanya berubah seiring dengan perubahan zaman. 

Salah satunya 'emas dan perak'. Kedua benda ini banyak sekali disebutkan di dalam Al-Quran, apalagi hadits-hadits nabawi. Namun seringkali kita terkecoh dan kebingungan sendiri ketika harus menarik kesimpulan hukum atas kedua logam mulia itu.

Terkait dengan hadits-hadits (dan juga ayat Al-Quran) yang mewajibkan zakat atas emas dan perak, banyak kalangan yang berbeda pendapat bagaimana memahaminya. 

Apakah yang dimaksud emas sebagai emas perhiasan ataukah emas sebagai alat pembayaran. Sebab di masa itu, emas itu berfungsi sebagai perhiasan sekaligus juga sebagai coin alat pembayaran. Sama-sama emas dan peraknya. 

Sebutlah misalnya ayat berikut ini :

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. At-Taubah : 34)

Meski ayat ini menyebut emas dan perak, tetapi oleh para ulama ahli fiqih khususnya mengatakan bahwa maksudnya bukan emas atau perak perhiasan, melainkan fungsinya sebagai alat tukar atau alat pembayaran. 

Bentuk fisiknya bukanlah perhiasan seperti cincin, kalung, giwang, gelang, anting, tapi bentuknya uang coin emas (dirham) dan coin perak (dirham). 

Emas perak yang wujudnya berupa perhiasan oleh para fuqaha tidak termasuk yang kena kewajiban zakat. 

Oleh karena itulah di masa sekarang ini banyak kalangan yang mewajibkan zakat uang, meski wujudnya bukan berupa emas atau perak. Uang sebagai alat pembayaran di masa sekarang tidak ada lagi yang berwujud emas atau perak, tetapi wujudnya kertas yang diprint, bahkan bentuknya hanya catatan data digital. 

Maka muncul perbedaan pendapat di masa modern ini : apakah uang kita bisa mewakili emas? Atau dengan kata lain, bisakah uang kertas ini diqiyaskan ke emas, karena sama-sama berfungsi sebagai alat pembayaran?

Syeikh Ali Jum'ah dalam hal ini agaknya punya pandangan yang cukup unik. Beliau melihat bahwa pada awalnya uang kertas bisa diqiyaskan dengan emas, namun keadaan berubah dan kemudian sudah tidak bisa lagi diqiyaskan.

Bagaimana ceritanya?

Kalau kita telaah sejarah uang kertas, di awalnya memang benar-benar representasi dari emas. Tidak lah uang kertas itu dicetak, kecuali 'mewakili' emas tertentu. 

Maka di masa itu, kalau kita punya uang kertas, sama saja kita punya emas dengan nilai tertentu. Maka wajiblah kita membayar zakat uang kertas, karena pada hakikatnya kita memiliki emas. 

Namun Syeikh Ali Jum'at menegaskan bahwa terjadi peristiwa teramat penting sehingga mengubah segala hal terkait dengan status uang kertas. 

Singkatnya di tahun 1970, Presiden Amerika Ricahrd Nixon mengumumkan secara resmi bahwa uang kertas dolar mereka sama sekali tidak ada lagi kaitannya dengan cadangan emas. Artinya mulai saat itu, Amerika mencetak kertas dolar begitu saja, sama sekali bukan representasi dari emas tertentu. 

Istilahnya uang kertas yang tadinya jadi bayang-bayang emas, mulai saat itu berdiri sendiri, bukan emas dan tidak mewakili emas manapun.

Apa yang dilakukan oleh Nixon ini kemudian diamini oleh seluruh negara di dunia, yaitu memisahkan antara uang kertas dan emas. Uang kertas adalah uang kertas dan emas adalah emas, dua benda yang tidak ada kaitannya. 

Ijtihad kontemporer Syeikh Ali Jum'at bahwa mulai saat itu kalau kita punya uang kertas, sama sekali tidak terkena kewajiban zakat emas atau perak. Sebab benang merah antara keduanya sudah putus. 

Yang Allah SWT wajibkan zakat dalam Al-Quran atau hadits adalah zakat emas, bukan zakat atas kepemilikan kertas meskipun uang kertas itu dalam tempat terbatas dan waktu yang terbatas bisa berfungsi sebagai alat tukar.

Uang Kertas vs Emas 

Tentu banyak kalangan yang tidak sependapat dengan apa yang digagas oleh Syeikh Ali Jum'ah. Banyak yang masih keukeuh mengatakan bahwa zakat uang kertas tetap berlaku, karena masih dianggap seperti emas atau perak di dalam Al-Quran. 

Sementara Syeikh Ali Jum'at memandang bahwa uang kertas itu memang termasuk harta, namun kewajiban zakat sebagaimana yang disebutkan dalam nash-nash syariah itu tidak sembarang harta. Hanya harta yang wujudnya tertentu saja yang wajib dizakatkan.

Sapi, kambing, dan unta itu kena zakat seusai dengan nash syariah. Tapi ternak ayam, ikan, bebek dan seterusnya, sama sekali tidak ada nashnya. Dan ketetapan ini tidak bisa main qiyas seenaknya seperti yang banyak dilakukan oleh kalangan pegiat zakat. 

Maka dalam hal ini menarik juga mencermati kesimpulan hukum Syeikh Ali Jum'ah dalam masalah ruang lingkup riba. Beliau menuturkan bahwa keharaman riba itu sebagaimana disebutkan dalam banyak nash syariah, hanya terbatas pada jenis benda tertentu saja, di antara emas dan perak.

Tidak boleh kita membungakan emas atau perak. Meminjamkan emas 100 gram dan kembalinya harus jadi 120 gram. Itu haram dan itu riba. 

Tapi kalau kita meminjamkan sepeda motor dengan syarat dikembalikan dalam keadaan tanki bensinnya penuh, jelas bukan riba. Sebab sepeda motor itu bukan benda 'ribawi'. 

Haramnya pembungaan itu hanya berlaku pada jenis benda tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam nash syariah. Ketika suatu benda tidak termasuk yang diharamkan untuk di-riba-kan, maka meski ada 'pembungaan' atau ziyadah, kasusnya tidak bisa disebut riba. 

Pinjam atau sewa mobil (rent a car) itu halal, meski pun waktu mengembalikan harus ada 'kelebihan' atau ziyadah. Bukan termasuk riba dan ini merupakan praktek non ribawi yang semua orang sepakat atas kebolehannya. Padahal pinjam mobil ini jelas-jelas mengharuskan adanya 'tambahan' dalam pengembaliannya.

Kenapa jadi halal?

Karena mobil bukan benda ribawi. Yang haram itu kalau pinjam emas atau perak 100 gram, lalu harus dikembalikan dengan nilai 120 gram. Itu baru riba.

Misalnya kalau uang kertas 1 juta dipinjamkan, meski ada syarat harus ada kelebihan sewaktu mengembalikannya jadi 1,2 juta, menurut Syeikh, praktek seperti ini tidak termasuk riba yang terlarang. 

KESIMPULAN

Awanya saya rada syok juga mendengar penjelasan Syeikh Ali Jum'at dan para ulama di Al-Azhar dan Darul Ifta' Mesir. Sebab sejak kecil saya sudah dicekokin bahwa semua itu riba, semua itu haram, semua itu neraka. 

Ternyata masalahnya tidak sesederhana itu, kawan. Ternyata ini masalah yang amat rumit dan njelimet juga. Terkait dengan banyak hal yang kita tidak paham. Ada qiyas, ada ilmu ekonomi, ada ilmu moneter, ada bla bla bla. 

Kesimpulan saya, tidak terlalu mudah untuk langsung main hajar ini haram itu haram. Mungkin kalau cuma buat mencekoki anak-anak abg, masih mempan. Tapi masalah semacam ini rada pelik juga kalau sudah di tangan para ekpert dan ahlinya. 

Dukun itu kelihatannya pinter banget, pasien belum duduk pun sudah langsung 'ditebak' penyakitnya, bahkan dukun sudah bisa menyebutkan siapa yang kirim penyakitnya.

Beda dengan dokter spesialis. Kerjanya pakai ilmu dan tidak gegabah, juga tidak perlu bikin aksi-aksi heroik biar dibilang pinter atau jago. 

Dokter spesialis biasanya malah meminta kita cek di laboratorium dulu. Sebab suatu gejala penyakit tidak bisa langsung disikat semaunya dan bilang obatnya ini dan itu. Tidak begitu cara kerjanya.

Kalau cuma begitu, Ponari pun bisa main celupkan batu dalam air. 

Para ekspert itu terbiasa kerja pakai prosedur, pakai ilmu, pakai literatur, pakai rujukan, cermat, teliti, dan pastinya sangat hati-hati. 

Maka kita sering tanya ke dokter,"Jadi saya ini sakit apa, Dok?". Dan dokter spesialis itu bilang,"Masih kita teliti dulu, dan untuk itu mari kita cek ini cek itu, periksa di lab, dan bla bla bla". 

Ciri ulama yang kayak dokter spesialis itu juga sama, mereka itu  adalah cermat, teliti, hati-hati, tidak waton suloyo, asal jeplak : ini haram itu haram. 

Saya sendiri ketika melihat fenomena ini, jadi lebih hati-hati, tidak lagi kayak dulu, ini haram, itu haram, semua haram. 

Makin pinter kita makin hati-hati. . . .

Ahmad Sarwat

13 Septemebr 2020 pukul 09.10  · 

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.