Al Hikam : Sifat Tamak Akan Melahirkan Kehinaan

Al-Hikam : Sifat Tamak akan melahirkan Kehinaan - Kajian Medina
🔰 Al-Hikam

🥀 Sifat Tamak akan melahirkan Kehinaan.

ماَ سَبَقتْ اَغْصاَنَ ذ ُلِّ ِاِلاَّ على بِذْرِ طَمَعٍ

"Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak [kerakusan]."

Sifat tamak bagian dari besarnya aib yang mencela sifat kehambaan. Sifat tamak [rakus] itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan. Sifat tamak [rakus] itu adalah sumber dari segala penyakit hati, karena tamak itu hanya bergantung pada manusia, minta tolong pada manusia, bersandar pada manusia, mengabdi pada manusia, yang demikian itu temasuk kehinaan, sebab ragu-ragu dengan taqdirnya Allah.

Abu Bakar al-Warroq al-Hakim berkata: "Andaikata sifat tamak itu dapat ditanya, 'Siapakah ayahmu ?"
Pasti jawabnya: "Ragu terhadap takdir Allah."
Dan bila ditanya: "Apakah pekerjaanmu ?"
Jawabnya: "Merendahkan diri."
Dan bila ditanya: "Apakah tujuanmu ?"
Jawabnya: "Tidak dapat apa-apa."

Suatu hikayat mengatakan: "Ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib -karamallahu wajhah-, baru masuk ke masjid Jami' di Basrah, didapatinya banyak orang yang memberi ceramah didalamnya, maka beliau menguji mereka dengan beberapa pertanyaan yang ternyata tidak dapat dijawab dengan tepat, maka mereka di usir dan tidak diizinkan memberi ceramah di masjid itu dan ketika sampai ke majelis Hasan al-Basri. Beliau bertanya, "Wahai pemuda ! Aku akan bertanya kepadamu sesuatu hal, jika engkau dapat menjawab, aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, aku usir engkau sebagaimana teman-temanmu yang lain, telah aku usir itu."
Jawab Hasan al-Basri: " Silahkan tanyakan sekehendakmu."
Sayyidina Ali bin Abi Thalib -karamallahu wajhah- bertanya: "Apakah yang mengokohkan agama ?"
Jawab Hasan al-Basri: "Waro' [menjaga diri sendiri untuk menjauhi segala yang bersifat syubhat dan haram]."
Lalu Sayyidina Ali bin Abi Thalib-karamallahu wajhah- bertanya lagi: "Apakah yang dapat merusak agama ?"
Jawab Hasan al-Basri: "Tamak [rakus]".
Sayyidina Ali bin Abi Thalib -karamallahu wajhah- berkata kepadanya: "Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang seperti engkaulah yang dapat memberi ceramah kepada masyarakat."

Seorang guru berkata: "Dahulu ketika dalam permulaan bidayahku di Iskandariyah, pada suatu hari ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seorang yang mengenal aku, timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini, tiba-tiba terdengar suara yang berbunyi, 'Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk'." Waro' dalam agama itu menunjukkan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah ta'ala. Waro' yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian, penerimaan atau penolakan, dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah ta'ala.
Sahl bin Abdullah berkata: "Di dalam Iman tidak ada pandangan sebab perantara, karena itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman."

Semua hamba pasti akan mendapatkan rezeki-Nya, hanya berbeda-beda, ada yang makan dengan kehinaan, yaitu peminta-minta.
Ada yang makan rezeki-Nya dengan bekerja keras, yaitu para buruh.
Ada yang makan rezeki-Nya dengan cara menunggu, yaitu para pedagang yang menunggu sampai ada yang membeli barang-barangnya.
Adapun yang makan rezeki-Nya dengan rasa mulia, yaitu orang Sufi yang merasa tidak ada perantara dengan Tuhan.

ماَ قاَدَكَ شىءٌ مثـل الوَهْمِ

"Tiada sesuatu yang dapat menuntun/memimpin engkau (pada kehinaan)seperti angan-angan [bayangan yang kosong]."

Wahm adalah setiap angan-angan terhadap sesuatu selain dari Allah, yang berarti angan-angan yang tidak mungkin terjadi.
Dan biasanya nafsu itu lebih tunduk pada wahm / angan-angan, dari pada pada akalnya.

Sebagai contoh:
Manusia itu biasanya lari apabila melihat ular, karena dia berangan-angan ular itu akan menggigit dirinya.
Apabila dia (nafsunya) tunduk pada akalnya, tentu dia tidak lari, karena apa-apa yang sudah ditentukan Allah pasti wujud, dan sebaliknya.

Ingatlah tidak ada orang yang bisa selamat dari sifat tamak, kecuali orang yang khusus yaitu orang-orang yang ahli Qona’ah dan berserah diri pada Allah, yang hatinya sama sekali tidak bergantung pada makhluk(manusia).

أنْتَ حُرُّمِمَّا اَنتَ عَنْهُ أيِسٌ وَعَبْد ٌ لمَا اَنتَ لهُ طاَمعُ

"Engkau bebas merdeka dari segala sesuatu yang tidak engkau butuhkan, dan engkau tetap menjadi hamba kepada apa yang engkau inginkan."

Hikmah ini menunjukkan hinanya sifat tamak, dan baiknya sifat Qona’ah.

Andaikan tidak ada keinginan-keinginan yang palsu dan sifat tamak, pasti orang akan bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yang tidak berharga.

العبد حرّماقنع 🥀 والحرُّعبد ٌماطمع

Budak itu merdeka / bebas selagi dia menerima pembagian dari Allah (Qona’ah) 🥀 Orang merdeka itu menjadi budak selagi dia tamak.

Qona’ah yaitu: tenangnya hati karena tidak adanya sesuatu yang sudah biasa ada. Dan qona’ah itu awal dari pada sifat zuhud.

Suatu hikayat:
"Burung elang [Rajawali] yang terbang tinggi di angkasa raya, sulit orang akan dapat menangkapnya, tetapi ia melihat sepotong daging yang tergantung pada perangkap, maka ia turun dari angkasa oleh karena sifat tamaknya [rakusnya], maka terjebaklah ia pada perangkap itu sehingga ia menjadi permainan bagi anak-anak kecil."

Fateh al-Maushily ketika ditanya tentang ibarat orang yang menurutkan nafsu syahwat dan sifat tamaknya [rakusnya], sedang tidak jauh dari tempat itu, ada dua anak sedang makan roti, yang satu hanya makan roti, sedang yang kedua makan roti dengan keju, lalu yang makan roti ingin yang keju, maka ia berkata kepada temannya: “Berilah kepadaku keju.”
Jawab temannya: “Jika engkau suka jadi anjingku, aku beri keju”.
Jawab anak yang meminta: "Baiklah".
Maka diikatlah lehernya dengan tali sebagai anjing dan dituntun.
Berkata Fateh al-Maushily kepada orang yang bertanya: “Andaikata anak itu tidak tamak [rakus] pada keju, niscaya ia tidak menjadi anjing”.

Suatu kejadian, ada seorang murid didatangi oleh gurunya, maka ia ingin menjamu gurunya, lalu ia keluarkan roti tanpa lauk pauk, dan tergerak dalam hati si murid sekiranya ada lauk pauknya tentu lebih sempurna.
Dan setelah selesai sang guru makan apa yang dihidangkan itu, berdirilah sang guru dan mengajak si murid keluar, tiba-tiba ia dibawa ke penjara untuk ditunjukkan berbagai macam orang yang dihukum, baik yang dirajam atau dipotong tangannya dan lain-lain, lalu berkatalah sang guru kepada muridnya: "Semua orang-orang yang engkau lihat itu, yaitu orang yang tidak sabar makan roti saja tanpa lauk pauk. Ada seorang yang baru dikeluarkan dari penjara, yang masih terikat kakinya dengan rantai ia meminta-minta sepotong roti kepada seseorang, maka berkatalah orang tempatnya meminta: "Andaikata sejak dulu engkau mau menerima sepotong roti saja, maka tidak akan terikat kakimu itu."

Dalam hikayat lain dikisahkan: "Ada seseorang melihat seorang hakim sedang makan buah yang jatuh ke sungai, maka orang itu berkata,
: "Wahai bapak hakim, sekiranya engkau mau bekerja pada Baginda Raja tentu engkau tidak sampai makan buah yang jatuh ke dalam sungai."
Lalu dijawab oleh sang hakim: "Andaikan engkau rela menerima makanan yang hanyut ini, maka tidak perlu menjadi budaknya Raja.

Disarikan dari Al Hikam (Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari -rahimahullah-).

Wallahu ta'ala a'lam bisshowabb.

Feri Hendriawan
1 Oktober pukul 07.59 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.