Contoh yang disepakati adalah mengqiyas beras dengan gandum dan kurma. Dalam hadits, zakat fithr yang Nabi SAW berikan sebatas gandum kurma, tidak pernah bayar zakat pakai beras.
Namun semua ulama sepakat, boleh pakai beras lantaran qiyas nya sempurna, yaitu sama-sama makanan pokok suatu negeri (qut al-balad) dan bisa disimpan lama (muddakhar).
Contoh lain mengqiyas uang kertas dengan emas perak. Yang disebut dalam Quran Sumnah sebatas emas perak saja, tidak ada zakat uang kertas.
Namun karena qiyasnya sempurna, yaitu 'illatnya sama-sama berfungsi sebagai alat pembayaran atau alat tukar, maka uang kertas bisa diqiyas dengan emas, baik dalam hal terkena kewajiban zakat, atau pun dalam ukuran nishab dan haul.
Tapi giliran mengqiyas ayam, ikan dan bebek untuk hewan ternak, muncul masalah pelik. Mau diqiyaskan ke hewan apa? Kambing, sapi atau unta? Para ulama tidak ketemu benang merahnya.
Apalagi mengingat nishab kambing 40 ekor, sapi 30 ekor lalu unta 5 ekor. Kalau diukur secara nilai uang, sangat tidak ekuivalen. Apalagi nilai zakat yang kudu dibayarkan, malah tambah masalah lagi.
Akhirnya semua sepakat, zakat ternak ini ketentuannya sangat ta'abbudi, ghairu ma'qulil ma'na, tidak bisa dilogikakan, lantaran tidak ketemu 'illatnya.
Maka zakat ayam, bebek, ikan, belut, kepiting, udang dan seterusnya sama sekali tidak populer di kalangan ulama. Kalau pun mau diwajibkan zakat, nishabnya apa? Nilai zakatnya berapa?
Kalau qiyas ke sesama hewan pun tidak ada yang melakukan, apalagi qiyas kepada emas perak, lebih tidak masuk akal lagi. Sebab 'illat kenapa emas perak wajib dizakatkan, karena keduanya merupakan alat pembayaran atau alat tukar.
Belanja di mall tidak bisa bayar pakai ayam atau ikan, sebab keduanya bukan alat tukar.
Qiyas model gini adalah qiyas yang penuh tanda tanya.
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
15 April pukul 22.37 ·
#Ahmad Sarwat