Siapa Yang Berhak Berlomba?

Siapa Yang Berhak Berlomba? - Kajian Medina
SIAPA YANG BERHAK BERLOMBA?

Semua pasti pernah mendengar perintah Allah "fastabiqul khairat (Maka berlombalah kalian dalam kebaikan). Lalu siapa yang berhak untuk melakukan perlombaan? Jawabannya tentu semua muslim tanpa kecuali. Sampai sini semua tahu.

Tapi bagaimana caranya berlomba bila modalnya tidak sama? Bisakah yang miskin berlomba dengan yang kaya? Bisakah yang bebal berlomba dengan yang jenius? Bisakah yang tak mampu mengenyam pendidikan layak dapat berlomba dengan yang berpendidikan tinggi? Bisakah yang tak punya pengikut berlomba dengan yang punya banyak pengikut? Nah, hal ini sering tidak terpikirkan.

Jawabannya: Bisa.

Allah membuat sistem perlombaan kebaikan yang unik sehingga bisa diikuti setiap orang. Penilaiannya bukan pada jenis tindakannya, tetapi pada kualitasnya. Begini contoh prakteknya:

1. Dalam hal sedekah, yang dinilai adalah prosentasenya bukan nominalnya. Si kaya yang bersedekah 10 juta bisa kalah dengan si miskin bersedekah 10 ribu apabila jumlah uang yang dimiliki si miskin total 50 ribu saja sedangkan total uang si kaya ratusan juta.

2. Dalam hal ilmu, yang punya nilai tinggi adalah kemanfaatannya bukan hanya jumlahnya. Bisa jadi seseorang hanya berpendidikan rendah, tetapi bila ilmunya bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitar, maka nilainya jauh lebih tinggi daripada berpendidikan tinggi tetapi tak bermanfaat apa-apa untuk dirinya dan lingkungan.

Selain itu, ada faktor lainnya dalam perlombaan ini yang membuatnya makin terjangkau untuk dilakukan siapa saja, yaitu faktor penyetaraan. Maksudnya, tindakan yang berbeda dapat dianggap setara nilainya. Contohnya begini:

1. Orang kaya bisa sedekah banyak dan membantu banyak orang, yang miskin tentu sulit mengejar dalam hal ini. Ketika persoalan ini dilaporkan pada Nabi, beliau memberi solusi bahwa seluruh bacaah tasbih dan tahmid adalah sedekah juga.

2. Kaum lelaki mendapat iming-iming pahala surga ketika mereka berjihad. Loh perempuan bagaimana cara berlomba dalam hal ini? Tenang, mengurus kebutuhan suami dan anak juga bisa sama kok pahalanya.

Dengan sistem demikian, semua orang bisa berlomba. Tak peduli garis takdirnya menakdirkannya berada di posisi apa pun juga, semua bisa berlomba dan berhak mendapat kesempatan yang sama meraih surga dengan caranya masing-masing.

Ada yang berlomba dengan cara membagi ilmu siang malam pada orang lain. Ada pula yang tak punya banyak ilmu untuk disedekahkan tetapi punya banyak kepedulian dan sumbangsih sosial pada orang sekitarnya. Keduanya bisa berlomba meskipun bidangnya berbeda.

Bahkan semua bidang pada hakikatnya bisa dijadikan ajang perlombaan, bahkan meskipun terlihat berbeda level. Orang tua dan anak atau guru dan murid, misalnya. Mereka bisa juga berlomba meski pun yang satu di level atas sedangkan yang lain di level bawah. Jangan kira orang tua atau guru selalu akan unggul dalam perlombaan kebaikan ini di akhirat. Orang tua atau guru punya poinnya tersendiri dalam memperlakukan anak atau muridnya. Demikian pula anak atau murid punya poinnya tersendiri dalam memperlakukan orang tua atau gurunya. Bisa jadi poin yang diperoleh si anak atau si murid melebihi poin yang dikumpulkan sang orang tua atau sang guru sehingga mereka lebih disayangi Allah.

Memahami sistem ini penting agar kita bisa memenangkan perlombaan dalam kebaikan. Dan yang penting juga agar berhenti meremehkan orang lain yang melakukan hal berbeda di bidang yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Semua punya kesempatan untuk meraih surga yang prestisius.

Sistem perlombaan di atas disinggung dalam ayat berikut:

ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ

Allah yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang PALING BAIK amalnya. [Surat Al-Mulk 2]

Yang dinilai adalah amal yang paling baik kualitasnya, bukan yang paling banyak, bukan yang paling keren, bukan yang paling menarik perhatian, dan bukan pula yang paling elit.

Orang yang kerjaannya nyinyir pada kegiatan orang lain karena menurutnya tidak sebaik yang ia kerjakan, biasanya tidak bakat menjadi pemenang perlombaan. Kalimat seperti: "Ah.. Apa itu kok cuma begitu? Kalau aku begini ..." atau "Dia itu bukan apa-apa" sering kali menjadi racun yang tidak kita sadari karena seolah kita saja yang akan jadi pemenang padahal bisa jadi tindakan orang lain itu justru lebih baik di sisi Allah.

Abdul Wahab Ahmad
11 Agustus 2020·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.