Marginal Utility Malu

Marginal Utility Malu - Kajian Medina
*“Marginal Utility Malu”*

Teori Marginal Utility dalam ‘ilmu Ekonomi mengatakan bahwa suatu benda apabila ia langka, maka Marginal Utility-nya akan sangat tinggi dan harganya akan jadi sangat mahal dari sudut pandang konsumen.

Maka begitu juga dengan "rasa malu"…

Iya, rasa malu itu mahal sekali harganya sekarang, karena ia langka.

Kok langka?

Lihat saja, begitu banyak orang yang menjual rasa malunya, seperti:
🔥 Para pejabat berbicara hal-hal yang bodoh, bertentangan dengan logika dan akal sehat, tapi cuek saja.
🔥 Para pejabat yang tertangkap OTT, sudah pakai rompi orange, tapi masih cuek saja senyum sambil melambaikan tangan ketika difoto.
🔥 Orang-orang yang mendapatkan harta kekayaan dengan cara harôm bahkan kriminal dengan bangga memamerkan kekayaannya lalu orang-orang pun merubunginya layaknya laron yang merapat ke lampu karena berharap kecipratan bagian.
🔥 Orang-orang yang mengaku terhormat dan terdidik mengeluarkan kata-kata makian yang kasar di depan publik.

Lalu apa hubungannya "rasa malu" dengan konsep "Marginal Utility"?

Begini…

Harga suatu barang itu ditentukan melalui interaksi "demand" (permintaan) dan "supply" (penawaran). Kita tahu sisi supply itu adalah sisi yang menunjukkan seberapa besar produsen bersedia menawarkan barang, sedangkan sisi demand merefleksikan "taste" (cita rasa) dan "preference" (preferensi) dari konsumen terhadap suatu barang. Nah konsep Marjinal Utility inilah yang menggambarkan baik taste maupun preference dari konsumen tersebut.

Lalu bagaimana dengan rasa malu?

Setiap orang itu pasti punya rasa malu. Rasa malu itu terusik apabila harga dirinya terganggu. Tidak ada orang yang suka harga dirinya terusik / terganggu karena hal itu membuatnya merasa malu. Itu sudah naluri.

Namun standard rasa malu setiap orang itu berbeda-beda.

Ada yang terusik rasa malunya kalau terusik tentang fisik tubuhnya.
Ada yang terusik rasa malunya kalau itu tentang soal harta benda kekayaannya.
Ada yang terusik rasa malunya jika itu berhubungan dengan tali nasab kekeluargaannya.
Ada yang terusik rasa malunya jika itu mengenai intelektualitas dan kecerdasannya.
Ada yang terusik rasa malunya jika itu mengenai kelompok dan afiliasinya.
Ada yang terusik rasa malunya jika itu berhubungan dengan agamanya.

❓ Maka sekarang tinggal di mana kita letakkan standard rasa malu kita itu, kemudian berapa harga yang kita tawarkan untuk rasa malu yang kita miliki itu?

Apakah malu karena wajah berkulit hitam dan minder karena teman berkulit bak artis K-Pop sehingga rela oplas beratus-ratus juta padahal beauty is in the eyes of beholder?

Apakah malu karena tetangga punya BMW 5-series terbaru sehingga terpaksa harus korupsi, menipu, dan berlaku curang agar bisa beli Mercedez E-class terbaru juga, padahal ketika mati, uang kita tetap tinggal di bank, mobil di garasi, bahkan rumah pun harus pindak ke petak 1x2 meter?

Ataukah merasa malu karena tidak bisa berbuat apa-apa ketika bendera Tauhîd dinistakan, lalu hanya sibuk bilang sana-sini bahwa Tauhîd itu peng‘amalannya adalah cukup dengan datang ke majlis ‘ilmu dan da‘wah?

Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم…

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

(arti) _“Sungguh salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabîan yang terdahulu adalah: "Apabila kamu tak punya malu, berbuatlah sesukamu!"” [HR al-Bukhôrî; Ahmad; Abû Dâwud; Ibnu Mâjah; ath-Thobrôni; Ibnu Hibbân; al-Bayhaqi; dll].

Adapun ketika orang sudah tak punya rasa malu lagi berbuat dosa dan kemaksiyatan, maka di situlah rasa malu menjadi sangat mahal karena ia jadi sangat langka, akibat semua orang menjual standard rasa malunya dengan hal-hal keduniawian.

Padahal, orang yang muka tembok dan terus-terusan berbuat dosa di muka umum itu konsekwensinya sangat berat.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ

(arti) _“Setiap ummatku pasti dima'afkan, kecuali orang yang melakukan maksiyat secara terang-terangan.”_ [HR al-Bukhôri; Muslim].

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Arsyad Syahrial
27 Oktober pukul 09.22 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.