Menggerak-Gerakkan Jari Telunjuk Saat Tasyahhud

Menggerak-Gerakkan Jari Telunjuk Saat Tasyahhud - Kajian Medina
MENGGERAK-GERAKKAN JARI TELUNJUK SAAT TASYAHHUD

Oleh : Abdullah Al Jirani

Ketika tasyahhud, disunnahkan untuk mengisyaratkan jari telunjuk dengan mengangkatnya ke arah kiblat sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abdullah bin Umar –radhiallahu ‘anhu-, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

صحيح مسلم (1/ 408)
كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ، وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

“Adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila duduk di shalat, beliau meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan. Dan beliau menggengam seluruh jari-jarinya dan mengisyaratkan jari setelah ibu jari (maksudnya jari telunjuk) dan meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri.”[HR. Muslim : 508].

Mulai kapan jari telunjuk diisyaratkan ? menurut madzhab Syafi’iyyah, dimulai ketika sampai huruf hamzah pada ucapan “LAA ILAAHA ILLALLAH” (maksudnya ketika sampai pengecualian, yaitu huruf ILLA). Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا وَعَلَى الْأَقْوَالِ وَالْأَوْجُهِ كُلِّهَا يُسَنُّ أَنْ يُشِيرَ بِمُسَبِّحَةِ يُمْنَاهُ فَيَرْفَعُهَا إذَا بَلَغَ الْهَمْزَةَ مِنْ قَوْلِهِ لا آله إلا الله

“Para sahabat kami menyatakan : Dan atas dasar seluruh pendapat dan sisi yang ada (dalam madzhab Syafi’iyyah), disunnahkan bagi seorang untuk mengisyaratkan jari telunjuk kanannya dan mengangkatnya apabila sampai huruf hamzah dari ucapan LAA ILAAHA ILLALLAH.”[Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/454].

Apakah jari telunjuk tersebut digerak-gerakkan (secara berulang dan terus menerus) ketika mengisyaratkan pada saat tasyahhud ? Jawab : Tidak digerak-gerakkan. Cukup diisyaratkan dengan diangkat mengdapap kiblat saat sampai huruf Hamzah pada kalimat LAA ILAHA ILLALLAH. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :

وَهَلْ يُحَرِّكُهَا عِنْدَ الرَّفْعِ بِالْإِشَارَةِ فِيهِ أَوْجُهٌ (الصَّحِيحُ) الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ أَنَّهُ لَا يُحَرِّكُهَا فَلَوْ حَرَّكَهَا كَانَ مَكْرُوهًا وَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ لِأَنَّهُ عَمَلٌ قَلِيلٌ

“Apakah digerak-gerakkan saat diangkat untuk diisyaratkan ? dalam hal ini ada beberapa pendapat. Yang shahih* (benar), yang telah dipastikan oleh jumhur (mayoritas ulama’ Syafi’iyyah) ,sesungguhnya tidak digerakkan. Seandainya seorang menggerak-gerakkannya, maka hal itu makruh. Akan tetapi tidak membatalkan shalatnya, karena hal itu merupakan amalan (gerakan) yang sedikit.”[Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/454].

Sebagian ada yang perpendapat, bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan ketika diisyaratkan pada tasyahhud. Mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang datang dari Wail bin Hujr –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

سنن النسائي (2/ 126)
ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

“Kemudian beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat jari telunjuknya, lalu aku melihat beliau menggerak-gerakkannya (jari telunjuk) dan berdo’a dengannya.”[H.R. An-Nasai’ : 2/126 no : 889].

Hadits ini kedudukannya diperselisihkan oleh para ulama’ ahli hadits. Sebagian ada yang melemahkannya, karena lafadz “aku melihat menggerak-gerakannya” dinyatakan sebagai tambahan yang syadz (ganjil). Lafadz ini ditambahkan oleh Zaidah ibnu Qudamah –sebagai madar sanad- dari Ashim bin Kulaib. Zaidah, sebenarnya seorang rawi yang tsiqah (kepercayaan), akan tetapi dia telah menyelisihi sekitar dua belas orang rawi yang lebih tsiqah darinya yang meriwayatkan dari Ashim bin Kulaib, dimana mereka semua tidak ada yang meriwayatkan dengan tambahan kalimat tersebut. Dalam hal ini berlaku pengertian syadz dalam ilmu hadits :

مخالفة الثقة لمن هو أولى منه

“Menyelisihinya seorang rawi yang tsiqah terhadap seorang yang lebih utama darinya.”

Dua belas orang rawi tersebut adalah : Abdul Wahid bin Ziyad, Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri, Zuhair bin Mu’awiyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Salam bin Sulaim, Abul Ahwash, Bisyr bin Al-Mufadhal, Abdullah bin Idris, Qais bin Ar-Rabi’, Abu ‘Awanah, dan Khalid bin Abdullah Al-Wasithi. Seandainya Zaidah menyelisihi Sufyan bin Uyainah dan Sufyan Ats-Tsauri saja, cukup untuk dikatakan riwayatnya syadz (ganjil). Apalagi sampai menyelisihi dua belas orang rawi. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rahimahullah- telah melemahkan hadits ini dalam “Tahqiq” beliau kepada musnad Imam Ahmad (31/160 dan selanjutnya).

Sebelumnya, Imam Ibnu Khuzaimah –rahimahullah- juga telah mengisyaratkan kelemahan tambahan ini. Beliau –rahimahullah- berkata :

صحيح ابن خزيمة (1/ 354)
لَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْأَخْبَارِ «يُحَرِّكُهَا» إِلَّا فِي هَذَا الْخَبَرِ زَائِدٌ ذِكْرُهُ

“Tidak ada sedikitpun khabar (hadits) tentang lafadz “menggerak-gerakannya” kecuali (lafadz) tambahan di dalam hadits ini, yang disebutkan olehnya (Zaidah bin Qudamah).”[ Shahih Ibnu Khuzaimah : 1/354].

Ada seorang murid Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Yamani –rahimahullah- yang bernama Asy-Syaikh Ahmad bin Sa’id –hafidzahullah- menyusun sebuah risalah yang berjudul “Al-Bisyarah, fi Syudzudzi Tahrik wa Tsubutil Isyarah” (Kabar gembira, dalam masalah ganjilnya menggerak-gerakkan jari telunjuk dan tetapnya mengisyaratkannya). Dalam risalah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa lafadz “menggerak-gerakkannya” adalah syadz (ganjil). Dan risalah ini telah dibaca dan diberi taqdim oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi –rahimahullah-. Saya pribadi sempat berbincang-bincang dengan beliau saat mamakai jasa taksi beliau ketika di Shan’a – Yaman ketika akan pulang ke tanah air waktu itu.

Sebagian ulama’ ada yang menshahihkan tambahan lafadz Zaidah bin Qudamah ini. Diantara mereka Al-Imam Al-Baihaqi –rahimahullah-. Mereka memakai kaidah : “Bahwa tambahan dari rawi yang tsiqah itu bisa diterima.” Dan kata mereka, di sini tidak ada bentuk mukhalafah (penyelisihan) yang perlu untuk dipermasalahkan. Saya pribadi cenderung memilih pendapat yang menshahihkan riwayat ini mengacu kepada tashih Imam Al-Baihaqi –rahimahullah-.

Jika kita asumsikan tambahan tersebut lemah, maka selesai. Tidak perlu dibahas kembali karena dalilnya lemah. Tapi taruhlah kita tetapkan hadits ini shahih, maka tetap tidak bisa dipakai untuk berdalil dalam masalah ini. Kenapa ? karena yang dimaksud “menggerak-gerakkannya” di sini, adalah "isyarat" saja, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang dan terus-menerus. Dengan demikian, bisa dikompromikan dengan hadits yang menunjukkan bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- “tidak menggerak-gerakkan”.

Telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Az-Zubair –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا، وَلَا يُحَرِّكُهَا

“Sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengisyaratkan jari telunjuknya apabila berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya.”[HR. Abu Dawud : 980].

Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Al-Baihaqi dan juga imam An-Nawawi –rahimahumallah-. Kita mendapatkan dua hadits yang sama-sama shahih. Yang satu menyatakan “digerak-gerakkan”, dan yang satunya lagi "tidak digerak-gerakkan”. Maka dalam kondisi seperti ini kita tempuh jalan komproni untuk keduanya. Karena dalam suatu kaidah disebutkan : “Bahwa mengkompromikan dua dalil yang sekilas bertentangan, lebih utama daripada membuang salah satu dari keduanya.

Menurut Imam Al-Baihaqi –rahimahullah-, hadits Wail bin Hujr yang menunjukkan nabi “menggerak-gerakkan” jari telunjuknya, maksudnya hanya “mengisyaratkan”. Sehingga hal ini bisa ketemu dan tidak bertentangan dengan hadits Abdullah bin Az-Zubair yang “tidak menggerak-gerakkan”. Karena "isyarat", hanyalah gerakan ringan dan sangat sedikit, sehingga dianggap tidak ada gerakan. Imam Al-Baihaqi –rahimahullah- berkata :

السنن الكبرى للبيهقي (2/ 189)
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالتَّحْرِيكِ الْإِشَارَةَ بِهَا لَا تَكْرِيرَ تَحْرِيكِهَا فَيَكُونَ مُوَافِقًا لِرِوَايَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ

“Mengandung kemungkinan, bahwa yang dimaksud dengan MENGGERAKKAN, adalah ISYARAT jari telunjuk, bukan pengulangan menggerakkannya (secara terus menerus). (dengan demikian) Maka akan terwujud kesesuaian dengan riwayat Ibnu Az-Zubair.”[Sunan Al-Kubra : 2/189]

Imam Ali Qari –rahimahullah- (w.1014 H) juga menyampaikan senada dengan imam Al-Baihaqi –rahimahullah-. Beliau –rahimahullah- berkata :

مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (2/ 735)
وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَى يُحَرِّكُهَا يَرْفَعُهَا، إِذْ لَا يُمْكِنُ رَفْعُهَا بِدُونِ تَحْرِيكِهَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ الْمُظْهِرُ: اخْتَلَفُوا فِي تَحْرِيكِ الْأُصْبُعِ إِذَا رَفَعَهَا لِلْإِشَارَةِ، وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَضَعُهَا مِنْ غَيْرِ تَحْرِيكٍ

“Dan dimungkinkan makna menggerak-gerakkannya adalah mengangkatnya. Karena tidak mungkin untuk mengangkatnya, tanpa menggerakkannya. Al-Mudzhir berkata : Mereka berselisih dalam masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk apabila seorang mengangkatnya untuk isyarat. Yang paling benar, sesungguhnya seorang meletakkannya (di paha) tanpa menggerak-gerakkannya.”[Mirqatul Mafatih : 2/735].

Kesimpulan :

1).Ketika tasyahhud, maka jari telunjuk cukup diisyaratkan dengan diangkat ke arah kiblat tanpa digerak-gerakkan atau digoyang-goyangkan. Menggerak-gerakkan jari telunjuk saat itu termasuk makruh hukumnya.

2).Jika kita termasuk yang berpendapat digerak-gerakkan, hendaknya memperhatikan maslahat dan mudharat yang mungkin muncul jika kita mengamalkannya. Apabila masyarakat kita terbiasa mengamalkan tanpa mengerak-gerakkannya, dan sangat dikhawatirkan akan timbul fitnah ketika kita mengamalkannya, hendaknya hal ini ditinggalkan. Karena mengamalkan suatu amalan sunnah akan tetapi akan menimbulkan fitnah dan mudharat, merupakan sesuatu yang dilarang dalam agama.

Demikian pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan keilmuan kita. Barakallahu fiikum.
--------------
*Istilah “shahih” di dalam madzhab Syafi’i, artinya : suatu pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat atau lebih dari para murid imam Asy-Syafi’i. Dimana pendapat yang marjuh (lemah) di dalam perbedaan pendapat tersebut sangat lemah, bahkan dipuncak kelemahan. Sehingga ucapan imam Nawawi –rahimahullah- di atas menunjukkan, bahwa pendapat yang menyatakan “digerak-gerakkan”, sangat lemah bahkan dipuncak kelemahan.

Abdullah Al Jirani
36 menit ·

Sumber : https://www.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/326149098156396?__tn__=K-R

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.