Ikhtiyarat

Ikhtiyarat
IKHTIYARAT

Saat seseorang telah memilih salah satu madzhab yang akan dijadikan pijakan baginya untuk berinteraksi dengan masalah-masalah fiqhiyah, tidak dengan serta merta ia mesti mengikuti seluruh pendapat Imamnya dari A-Z. Apalagi kenyataannya, kadang ada beberapa pendapat dalam satu madzhab yang sama. Bisa jadi karena beberapa pendapat tersebut diriwayatkan oleh murid-murid Sang Imam, atau murid-murid Sang Imam yang berbeda pendapat mengenai pendapat Sang Imam yang belum cukup detail dalam sebuah pembahasan.

Oleh karenanya, para murid Sang Imam dan para Ulama generasi setelahnya terus meneliti untuk menentukan pendapat yang paling valid dalam madzhab, yakni pendapat yang diklaim sebagai pendapat Imam dan paling sesuai dengan kaidah-kaidah ushul madzhab. Pendapat ini dikenal dengan istilah pendapat mu'tamad.

Dalam madzhab Imam Syafii, pendapat yang mu'tamad adalah apa-apa yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Ar-Rafi'i. Bila mereka berbeda pendapat, maka hasil penelitian Imam Nawawi lebih diunggulkan.

Walaupun hasil penelitian Imam Nawawi mengenai pendapat mu'tamad merupakan pilihan yang diunggulkan dalam madzhab Syafii, namun kadangkala beliau sendiri memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pendapat Imam. Pendapat ini dikenal dengan istilah ikhtiyarat.

Apa saja ikhtirayat Imam Nawawi yang berbeda dengan pendapat Imam? Berikut beberapa di antaranya:

1. Memakan daging unta membatalkan wudhu menurut Imam Nawawi, sedangkan menurut Imam Syafii tidak membatalkan.
2. Memakai air musyammas (air yang terkana cahaya matahari sampai menjadi sangat panas) untuk bersuci hukumnya tidak makruh menurut Imam Nawawi, sedangkan menurut Imam Syafii makruh.
3. Bersiwak dalam keadaan berpuasa setelah zawalusy syams (tergelincirnya matahari pada waktu Zhuhur) tidak makruh menurut Imam Nawawi, namun makruh menurut Imam Syafii.
4. Boleh menjamak shalat disebabkan sakit menurut Imam Nawawi, namun menurut Imam Syafii tidak boleh. Dll.

Dari sini kita dapat memahami bahwa bermadzhab bukan bertaqlid buta kepada Imam, bila ia memang telah menguasai ushul dan furu' madzhab serta mampu untuk mengkaji dalil secara langsung karena telah memiliki dan menguasai beragam perangkat dalam berijtihad, maka ia boleh bahkan harus berijtihad, baik dalam rangka mencari mana yang paling mu'tamad dalam madzhab atau lebih dari itu melakukan perbandingan dan tarjih antar madzhab.

Hal ini juga sekaligus membantah argumentasi yang menyatakan bahwa proses penelitian dan tarjih telah selesai seiring dengan selesainya kodifikasi madzhab generasi awal. Bahkan, penelitian itu masih terus berlangsung sampai saat ini. Sebagai contoh misalnya Fadhilatusy Syaikh Ibnul 'Utsaimin yang mewakili madzhab Hanbali kadang memiliki ikhtiyarat yang berbeda dengan pendapat Imam Ahmad atau Fadhilatusy Syaikh Wahbah Az-Zuhaili yang mewakili madzhab Syafii juga kadang memiliki ikhtiyarat yang berbeda dengan pendapat Imam Syafii.

Selama mereka memiliki kapasitas dan perangkat ijtihad maka hal tersebut jelas tidak tercela sama sekali, bahkan mesti dipuji, karena dengannya khazanah keilmuan Islam bisa semakin luas dan semakin menarik perhatian para Ulama untuk terus tidak berhenti dalam melakukan penelitian.

Adapun orang awam, yang bahkan tidak memahami kaidah ushul madzhab juga belum mengetahui secara integral dan komprehensif furu madzhab beserta berbagai pandangan dan pendapat yang ada di dalamnya, maka tugasnya adalah memilih pendapat-pendapat yang telah ada. Bukannya berijtihad sendiri, apalagi meninggalkan pendapat yang diakui madzhab, untuk kemudian dengan ke-PD-annya ia langsung melihat nash secara langsung.

Bagaimana mungkin ia melihat nash secara langsung dan berinteraksi dengan dalil-dalil dalam Al-Quran dan As-Sunnah, padahal ia tidak memiliki perangkat ijtihad dan tidak memahami bagaimana cara menggunakan dalilnya itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, yang utama adalah bagaimana setiap orang mengenali kadar dirinya agar ia bisa bersikap dan beramal sesuai dengan kapasitasnya. Wallaahu a'lam.

-Laili Al-Fadhli-
Semoga Allaah memaafkannya dan juga keluarganya. Aamiin.
Laili Al-Fadhli berada di Islamic Center Wadi Mubarak.
27 Juni pukul 11.30 · Kuta ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.