Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (4)

Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (4) - Kajian Medina
GAMBARAN KERJA KERAS TAHRIR MAZHAB (4)

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Bagaimana Cara An-Nawawi Mentarjih?

Setelah mengetahui seperti ini “sengitnya” ikhtilaf internal ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah terkait hukum berjamaah untuk salat fardu dalam mazhab Asy-Syafi’i, lalu bagaimana caranya An-Nawawi memilih dan mentarjih salah satu pendapat itu? Apa metodologi yang dipakai An-Nawawi untuk menegaskan bahwa pendapat muktamad mazhab Asy-Syafi’i dalam isu ini adalah pernyataan yang mengatakan hukum berjamaah untuk salat wajib itu fardu kifayah?

Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja kembali pada pengertian tahrir mazhab. Sudah diulang-ulang sebelumnya bahwa tahrir mazhab Asy-Syafi’i itu bermakna menyeleksi ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah agar sah dinisbahkan pada mazhab Asy-Syafi’i. Dengan pengertian seperti ini, berarti An-Nawawi harus bekerja keras menemukan teks lugas Asy-Syafi’i yang memberikan sikap terkait isu ini. Teks lugas ini bisa jadi tertulis dalam kitab tertentu, atau diriwayatkan secara terserak-serak dalam berbagai kitab atau diriwayatkan secara lisan. Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah yang tergolong ash-habul wujuh bisa jadi tidak menemukan sebagian teks tersebut karena berbagai faktor. Misalnya, tidak adanya teks itu pada manuskrip yang mereka miliki, tidak adanya riwayat teks tersebut pada koleksi riwayat yang mereka miliki, tidak adanya guru yang mengajarkan teks tersebut di wilayah mereka dan lain-lain. Bisa jadi juga mereka sebenarnya mendapati teks itu, hanya saja karena faktor ghoflah atau kurang teliti, atau karena teksnya tidak terlalu lugas sehingga teks tersebut akhirnya luput dari perhatian mereka atau teks tersebut menjadi mungkin ditafsirkan dengan sejumlah penafsiran. Fakta bahwa Asy-Syafi’i menulis pembahasan fikihnya dengan menggunakan istilah-istilah yang belum mapan (dalam bidang fikih) saat menjelaskan status hukum, seperti kariha yang bisa dimaknai haram dan kadang bisa bermakna makruh semakin menambah potensi ikhtilaf hebat saat ulama-ulama ash-habul wujuh ingin mengetahui bagaimana sikap Asy-Syafi’i sebenarnya dalam satu masalah.

Di sinilah jasa An-Nawawi yang bekerja keras meneliti, memeriksa, mengecek ulang dan memastikan semua manshushot Asy-Syafi’i yang terkait dengan setiap isu fikih yang dibahas. Jika manshushot tersebut tidak didapatkan, maka langkah berikutnya adalah mencari jawaban mana ijtihad yang rojih dengan cara diukur memakai kaidah-kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i. Cara ini tentu saja mengharuskan penguasaan sempurna terhadap ushul fikih Asy-Syafi’i. Setelah itu, pendapat semua ulama ash-habul wujuh yang ditemukan juga harus diteliti dan dibandingkan supaya diketahui mana pendapat mayoritas dan minoritas. Logikanya, secara umum pendapat mayoritas ulama Asy-Syafi’iyyah adalah lebih akurat mencerminkan pendapat muktamad mazhab Asy-Syafi’i karena sudah diuji oleh banyak kepala. Berbeda dengan pendapat minoritas yang bisa jadi itu adalah kesilapan individu atau memang bentuk ikhtiyarot ulama tersebut.

Nah, dengan kerangka fikir semacam ini ternyata memang ditemukan teks lugas Asy-Syafi’i yang bisa disimpulkan bahwa Asy-Syafi’i memang berpendapat berjamaah untuk salat wajib itu hukumnya fardu kifayah. Dalam Al-Umm Asy-Syafi’i berkata,

وَأَشْبَهُ مَا وُصِفَتْ مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَنْ لَا يَحِلَّ تَرْكُ أَنْ يُصَلِّيَ كُلَّ مَكْتُوبَةٍ فِي جَمَاعَةٍ حَتَّى لَا يَخْلُوَا جَمَاعَةٌ مُقِيمُونَ وَلَا مُسَافِرُونَ مِنْ أَنْ يُصَلَّى فِيهِمْ صَلَاةُ جَمَاعَةٍ (الأم للشافعي (1/ 179)
Artinya,
“Yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunah adalah deskripsi berikut ini. Tidak halal meninggalkan setiap salat wajib secara berjamaah agar tidak terjadi kekosongan jamaah baik mereka bermukim maupun musafir untuk didirikan salat berjamaah pada mereka ”

Dalam pernyataan di atas, Asy-Syafi’i menegaskan dengan kata la yahillu (tidak halal). Artinya memang wajib untuk menyelenggarakan salat wajib secara berjamaah, baik dalam kondisi mukim maupun safar. Hanya saja, wajibnya ini sifatnya kifayah dengan bukti bahwa Asy-Syafi’i menyebut di tempat lain terkait orang yang tidak salat berjamaah bahwa salatnya sah dan tidak usah mengulang salat. Asy-Syafi’i berkata,

فَلَا أُرَخِّصُ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ فِي تَرْكِ إتْيَانِهَا إلَّا مِنْ عُذْرٍ وَإِنْ تَخَلَّفَ أَحَدٌ صَلَّاهَا مُنْفَرِدًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إعَادَتُهَا صَلَّاهَا قَبْلَ صَلَاةِ الْإِمَامِ، أَوْ بَعْدَهَا (الأم للشافعي (1/ 180)
Artinya,

“Saya tidak memberi keringanan bagi orang yang mampu salat berjamaah untuk meninggalkannya kecuali karena uzur. Jika ada orang yang yang tidak melakukan salat berjamaah, maka dia harus melakukannya secara munfarid dan dia tidak dituntut untuk mengulanginya, baik ia melakukan salat munfarid sebelum imam salat atau sesudahnya ”

Lalu dengan argumentasi apa Asy-Syafi’i menyimpulkan bahwa salat berjamaah itu fardu kifayah?

Begini penjelasan ringkas istinbathnya berdasarkan apa yang beliau tulis dalam kitab Al-Umm di bab sholatul jama’ah.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggandeng sebutan azan dengan salat pada dua ayat. Pertama dalam Surah Al-Maidah: 58. Allah berfirman,

{وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا} [المائدة: 58]
Artinya,

“Jika kalian memanggil untuk salat (berazan), maka mereka menjadikannya sebagai olok-olokan dan permainan ”

Menurut tafsir Al-Qurthubi, ayat di atas terkait dengan kebiasaan orang-orang Yahudi yang mengejek azan orang-orang Islam dan menganggapnya sebagai cara konyol memanggil orang untuk beribadah. Lafal nadaitum (kalian memanggil) maksudnya adalah azan. Jadi lafal nadaitum ilash sholah adalah menggandeng azan dengan salat.

Kedua dalam Surah Al-Jumu’ah; 9. Allah berfirman,

{إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ} [الجمعة: 9]
Artinya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli .”

Lafal nudiya (telah diseru) maknanya adalah azan. Jadi nudiya lissholah adalah menggandeng azan dengan salat. Pada ayat dalam Surah Al-Jumu’ah ini, yang dimaksud panggilan adalah panggilan azan untuk salat Jumat dan yang dimaksud salat adalah salat jumat. Mendatangi salat jumat secara berjamaah saat azan sudah dikumandangkan hukumnya adalah wajib berdasarkan qorinah dalam ayat ini yakni perintah meninggalkan jual beli ( padahal jual beli hukumnya mubah) dan sejumlah qorinah yang lain. Sementara itu, di sisi lain Rasulullah ﷺ mensyariatkan azan untuk memanggil kaum muslimin salat berjamaah ke masjid.

Kalau begitu, berdasarkan kewajiban berjamaah dalam salat jumat sementara kewajiban berjamaah dalam salat jumat itu ditandai dengan dikumandangkannya azan untuk memanggil orang-orang beriman, apakah hal ini sekaligus bermakna wajibnya berjamaah untuk salat lima waktu mengingat Allah menyebut azan dan salat dengan digandeng dalam dua ayat sebelumnya yang memberi kesan bahwa hukum salat jumat dan salat lima waktu adalah sama?

Jawabannya adalah, ada dua kemungkinan makna (ihtimalani).

Pertama, azan pada salat lima waktu bermakna Allah mewajibkan salat lima waktu secara berjamaah (karena azan adalah panggilan untuk melakukan salat berjamaah di masjid) sebagaimana Allah mewajibkan salat jumat secara berjamaah dan meninggalkan jual beli.

Kedua, azan pada salat lima waktu disyariatkan hanya sebagai penanda telah masuk waktu salat wajib, sehingga setiap mukmin bisa salat pada waktunya. Jadi, fungsi azan hanya penanda waktu agar orang benar-benar menjaga waktu salat, dan tidak salat kecuali hanya pada waktunya saja. Tidak sampai mendahului dan tidak sampai mengakhirkan.

Dari dua kemungkinan makna ini, maka makna yang kedua, yakni azan disyariatkan untuk menandai waktu agar tidak ada yang salat diluar waktu, adalah makna yang lemah. Alasannya, telah terbukti berdasarkan riwayat sahih bahwa Rasulullah ﷺ menjamak salat dalam keadaan safar, mukim, takut maupun tidak takut. Menjamak salat bermakna salat tidak pada waktunya. Jadi, makna kedua ini terbantahkan dengan fakta salat jamak Rasulullah ﷺ.

Di sisi lain Allah memerintahkan berjamaah dalam kondisi yang mengancam nyawa seperti dijelaskan dalam ayat ini,

{وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ } [النساء: 102]
Artinya,

“Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu ”

Ayat di atas memberi kesan menguatkan kesimpulan pertama, yakni bahwa Allah mewajibkan salat lima waktu secara berjamaah, karena dalam ayat An-Nisa; 102 itu Allah memerintahkan salat khouf secara berjamaah padahal situasinya mengancam nyawa.

Hanya saja, dalam riwayat hadis, Rasulullah ﷺ memerintahkan agar mendatangi salat berjamaah di masjid itu dengan tenang dan tidak terburu-buru, padahal sikap ini memungkinkan seseorang untuk terlambat mengikuti salat berjamaah dan bahkan tidak sempat berjamaah meskipun sudah sampai ke masjid. Ini memberi kesan bahwa ada orang-orang tertentu yang tidak dicela jika sampai tidak berjamaah. Sejumlah riwayat juga menunjukkan Rasulullah ﷺ membiarkan orang untuk tidak berjamaah karena ada uzur seperti sakit, hujan, buta, dihukum dan lain-lain. Ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa ada orang-orang tertentu yang tidak dicela jika sampai tidak berjamaah.

Di sisi lain ada juga hadis Rasulullah ﷺ yang ingin membakar rumah orang-orang yang tidak mendatangi jamaah salat isya. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah ﷺ menyebut bahwa ketidak mampuan mendatangi jamaah salat isya dan subuh adalah ciri kemunafikan. Jadi, riwayat ini menguatkan kesimpulan bahwa orang yang tidak berjamaah salat lima waktu itu di hatinya ada nifaq yang memberi kesimpulan bahwa salat berjamaah itu wajib. Tetapi pada saat yang sama juga memberi kesimpulan bahwa salat berjamaah itu sulit disebut fardu ain karena alasan Rasulullah ﷺ ingin membakar rumah sejumlah lelaki tertentu adalah karena kemunafikannya, bukan karena tidak berjamaahnya.

Oleh karena itu, berdasarkan semua analisis ini lebih kuat dikatakan bahwa salat berjamaah untuk salat lima waktu itu hukumnya wajib, tetapi wajib kifayah. Bukan wajib ain. Bukti bahwa itu bukan wajib ain adalah keabsahan salat orang-orang tertentu yang salat sendirian seperti karena terlambat berjamaah ke masjid, sakit, buta, hujan dan uzur-uzur yang lainnya.

Jadi, bisa dikatakan bahwa dalam topik ini ada manshush Asy-Syafi’i yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan bagaimana sikap hukum mazhab Asy-Syafi’i. Hanya saja, oleh karena memang Asy-Syafi’i tidak menyatakannya dengan redaksi lugas misalnya mengatakan “sholatul jama’ah fil maktubat fardhun ‘alal kifayah”, maka menjadi wajar jika sejumlah ulama Asy-Syafi’iyyah berbeda pendapat secara sengit sehingga muncul pendapat fardu ain, fardu kifayah dan sunah muakadah. Karena sengitnya inipulalah mereka hasil tarjih An-Nawawi disebut dengan istilah ashohh, bukan shohih.

Selain pernyataan lugas Asy-Syafi’i yang dijadikan dasar untuk mentarjih, kaidah-kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i juga digunakan. Dengan melihat hadis-hadis sahih terkait topik ini, kemudian dihubungkan dengan kebiasaan serta cara Asy-Syafi’i menggali hukum, maka disimpulkan bahwa pendapat fardu kifayah memang lebih sesuai dengan metode Asy-Syafi’i.

Selain itu, hasil penelitian para ulama sebelum An-Nawawi (baik ashabul wujuh maupun mushonnifin) mayoritas menyimpulkan bahwa pendapat yang lebih sesuai dengan kaidah Asy-Syafi’i adalah pendapat fardu kifayah itu. Dari sinilah maka An-Nawawi menyimpulkan tarjih terkait masalah ini dengan pernyataan sebagai berikut,

وَالصَّحِيْحُ أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ وَهُوَ الَّذِيْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِيْ كِتَابِ الإِمَامَةِ كَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَهُوَ قَوْلَيْ شَيْخَيْ الْمَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِيْ إِسْحق وَجُمْهُوْرِ أَصْحَابِنَا الْمُتَقَدِّمِيْنَ وَصَحَّحَهُ أَكْثَرُ الْمُصَنِّفِيْنَ وَهُوَ الَّذِيِ تَقْتَضِيْهِ الأَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ (المجموع شرح المهذب (4/ 184-185)
Artinya,

“Yang kuat adalah hukumnya fardhu kifayah. Inilah yang dinyatakan As-Syafi’i dalam bab imamah sebagaimana disebutkan oleh pengarang. Ini juga pendapat syekh mazhab; Ibnu Suraij, Abu Ishaq dan jumhur ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin. Mayoritas pengarang juga menguatkan pendapat ini. Itu pula yang menjadi pengertian logis dari hadits-hadits shahih ”

Dari sini, bisa disimpulkan, berarti cara An-Nawawi dalam mentarjih adalah,

• Mengembalikan pada manshushot Asy-Syafi’i

• Mengembalikan pada kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i terkait pengambilan dalil, penerimaan terhadap wajhul istidlal, istinbath, taujihat dan takhrijat

• Mempertimbangkan hasil tarjih mayoritas ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah sebelum masa An-Nawawi baik ash-habul wujuh maupun mushonnifin

Jika seperti ini gambarannya, berarti yang dinamakan kerja tahrir tahrir mazhab itu minimal mencerminkan hal-hal berikut ini,

• Kajian luas terhadap ikhtilaf ulama Asy-Syafi’iyyah yang tergolong ash-habul wujuh, sehingga bisa tahu variasi pendapat ash-habul wujuh berikut dalil dan wajhul istidlal masing-masing wajh tersebut, sekaligus tahu mana pendapat mayoritas dan mana pendapat minoritas

• Penguasaan sempurna terhadap nushush Asy-Syafi’i baik dalam hal fikih maupun ushul fikihnya, yang tertulis maupun yang tidak tertulis

• Pemahaman sempurna terhadap dalil-dalil istinbath baik Al-Qur’an, hadis maupun atsar sehingga bisa mengetahui mana istidlal yang lemah dan kuat

• Penguasaan terhadap ilmu mustholah hadis

• Pemahaman sempurna terhadap fikih ikhtilaf dalam mazhab maupun di luar mazhab

• Pemahaman sempurna terhadap ijmak dalam mazhab (seperti wajibnya berjamaah dalam salat jumat tidak ada khilaf)

(bersambung ke bagian 5/terakhir)

رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2019/09/23/gambaran-kerja-keras-tahrir-mazhab-4/

***

Sumber: Buku saya, “AN-NAWAWI, SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA” yang semoga bisa segera dicetak.

Muafa
23 September pukul 20.35 ·

Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (5 Terakhir)
Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (4)
Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (3)
Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (2)
Gambaran Kerja Keras Tahrir Mazhab (1)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.