oleh Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Al-Quran adalah kitab mukjizat yang mulia, suci dan tinggi kedudukannya. Menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup (manhajul hayah) dan sumber utama agama serta rujukan dalam hukum-hukum syariah, tentu sudah menjadi keniscayaan.
Sedikit pun kita tidak pernah punya niat untuk bergeser dari Al-Quran. Tidak ada yang bisa menukar Al-Quran dari kedudukannya dalam jiwa kita. Seluruh umat Islam pasti sepakat dengan point-point dasar ini.
Namun bukan berarti urusan sudah selesai begitu kita sudah pasang posisi Al-Quran dengan kedudukan absolut seperti ini. Justru masalahnya baru akan dimulai disini.
1. Masalah Nasakh Mansukh
Meski rata-rata umat Islam sepakat atas keaslian dan keutuhan Al-Quran, namun beberapa ayat Al-Quran ternyata ada yang dinasakh (dihapus) oleh Allah SWT sejak masih masa turunnya Al-Quran.
Kalau dihapus teks dan hukumnya, barangkali tidak jadi masalah. Toh tidak akan muncul ayatnya di dalam mushaf kita.
Tapi yang jadi masalah justru teksnya dibiarkan ada dalam mushaf, padahal konten hukumnya sudah 100% dihapus oleh Allah SWT. Maka ini jelas perlu ilmu tersendiri.
Contohnya ayat tentang halalnya bisnis khamar berikut ini :
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minعmuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. (QS. An-Nahl : 67)
Tanpa bekal ilmu nasakh mansukh dan hanya berpegang kepada teks ayatnya secara apa adanya, tentu saja keliru besar. Bisa-bisa ayat ini jadi dasar anjuran bisnis narkoba yang disebut sebagai rezeki yang baik.
Sementara seluruh ulama dalam kitab tafsir mereka menegaskan bahwa ayat ini turun di Mekkah, dimana kala itu memang khamar belum diharamkan. Alasanya karena proses pengharamannya butuh waktu yang agak lama, hingga sampai turun empat ayat yang berbeda.
2. Perbedaan Qiraat
Banyak sekali generasi muda dan aktifis dakwah yang tidak paham konsep perbedaan qiraat dalam Al-Quran. Dikiranya perbedaan qiraat itu semata karena kasihan ada suku-suku di Arab zaman Nabi SAW yang tidak mampu melafazkan ayat tertentu, sehingga diberi keringanan boleh baca Quran sesuai dengan dialek masing-masing kabilah.
Padahal duduk masalahnya tidak demikian. Perbedaan qiraat ini sebenarnya adalah urusan Allah semata, dimana Dia berkehendak menurunkan ayat-ayat Al-Quran dengan beragam qiraat. Tidak ada kaitannya dengan lahjah dan dialek.
Sebab yang berbeda dalam qiraat itu bukan semata lahjah atau dialek saja, melainkan perbedaan lafadz dan kata. Perbedaan kata ini kemudian berakibat pada perbedaan makna. Lalu perbedaan makna pasti juga berakibat pada perbedaan hukum.
Contoh : Batalkah Sentuhan Pria Wanita?
Dibaca panjang laa-mas-tum (لامستم) jauh berbeda dengan dibaca pendek la-mas-tum (لمستم). Padahal dua-duanya bagian dari qiraat yang diakui. La-mas-tum itu artinya menyentuh, misalnya suami menyentuh istri. Sedangkan laa-mas-tum itu maknanya 'saling menyentuh', suami istri saling sentuh di antara mereka.
Al-Mawardi, Al-Qadhi Husein, dan Al-Mutawalli menjelaskan begini : Bila dibaca panjang laa-mas-tum, maka yang menyentuh dan yang disentuh sama-sama batal wudhu'nya. Sebaliknya kalau dibaca pendek, maka yang batal wudhu'nya hanya yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak batal.
Contoh 2 : Kapan Boleh Jima Pasca Haidh?
Selama haidh memang tidak boleh jima', namun begitu darah berhenti, sudah halal kembali. Masalahnya ada dua qiraat yang berbeda. Satu berbunyi : hatta yath-hur-na yang artinya hingga suci. Dan satunya dibaca hatta ya-ta-thah-har-na yang artinya sampai dia bersuci.
Suci dan bersuci ternyata berbeda maknanya. Kalau dibilang sampai suci, berarti asalkan darah sudah tidak keluar, sudah boleh jima'. Tapi kalau dibilang sampai dia bersuci, berarti baru boleh jima' kalau sudah mandi hadtas besar setelah darah berhenti.
3. Bukan Undang-undang Yang Sudah Jadi
Kesalah-pahaman yang paling fatal dan sering terjadi di tengah khalayak umat Islam adalah anggapan bahwa Al-Quran itu sudah jadi undang-undang yang sudah jadi, utuh, dan siap pakai.
Padahal yang sebenarnya tidak demikian. Al-Quran memang sumber hukum, namun Al-Quran bukan produk hukum itu sendiri. Ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran oleh para ulama memang dijadikan sumber pengambilan hukum, namun perlu diketahui bahwa sumber itu masih mentah, masih harus diolah dan diproses biar menjadi hukum yang siap pakai.
Seringkali terjadi kasus dimana orang awam membaca Al-Quran, namun keliru besar ketika menerjemahkan atau menarik kesimpulan hukumnya.
Contoh 1 : Waris Anak Perempuan Lebih Dari Dua Orang
Contoh sederhana dalam urusan hak waris anak perempuan tanpa keberadaan anak laki. Kalau anak perempuan hanya satu, dia mendapat bagian separuh harta pewaris. Kalau lebih dari satu, mereka mendapat 2/3 bagian. Itu yang kita pahami berdasarkan penjelasan para ulama.
Padahal di dalam surat An-Nisa ayat 11, lafadznya tidak demikian. Lafadznya menyebutkan 'fauqats-nataini' (فوق اثنتين), yang secara harfiyah bermakna 'di atas dua orang'. Di atas dua orang itu berarti tiga, empat, lima dan seterusnya. Kalau dua orang, seharusnya belum masuk kriteria tersebut.
Namun tidak ada satu pun ulama yang mengatakan demikian. Seluruhnya sepakat bahwa maksudnya dua orang ke atas, bukan tiga orang ke atas.
Contoh 2 : Hukum Melakukan Sa'i, Bolehkah?
Seluruh ulama sepakat bahwa sa'i antara shafa dan marwah itu masuk dalam rukun haji dan umrah. Kalau tidak melakukannya, tidak sah haji dan umrah itu.
Namun kalau kita baca ayatnya, pasti kesan yang kita dapat tidak demikian. Perhatikan ayat berikut :
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah. Maka orang yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka 'tidak ada dosa baginya' mengerjakan sa´i antara keduanya. (QS. Al-Baqarah : 158)
Apa yang bisa kita simpulkan ketika Allah bilang : tidak ada dosa? Berarti boleh, halal dan kalau mau silahkan kerjakan. Wajibkah? Tidak ada kewajiban untuk melakukan sa'i yang kita temukan dalam ayat ini.
Lalu hukumnya sunnah kah? Rukun, bukan sunnah.
Catatan :
1. Kita tidak perlu 'kembali' kepada Al-Quran, sebab kita tidak pernah meninggalkan Al-Quran, walau sedetik pun walau sejengkal pun. Kembali itu hanya berlaku bagi mereka yang murtad saja.
2. Yang harus kita lakukan adalah duduk bersimpuh, belajar dan menekuni Ilmu-ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) dari para ulama Al-Quran yang memang original dan diakui keilmuannya.
3. Bahwa Al-Quran sendiri sejak awal terbuka atas terjadinya perbedaan pendapat dalam kita menarik kesimpulan hukumnya. Sebab qiraatnya saja sudah berbeda, padahal sumbernya asli dari Allah SWT secara mutawatir.
Ahmad Sarwat
26 Juli pukul 07.45 ·
#Ahmad Sarwat