by. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Maksudnya bukan usia sudah kepala delapan, tapi beliau adalah Kepala LAPAN. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Namanya Dr. Thomas Djamaludin. Beliau memang ilmuwan yang ambil S1 di ITB dan selesai S2 -S3 di Kiyoto Jepang.
Yang saya kagumi dari Beliau adalah menjawab kenapa kita di Indonesia lebih awal memasuki waktu shubuh ketimbang di Saudi atau negeri sub tropis.
Ketika matahari masih berposisi minus 20 derajat di balik bumi, berkas cahayanya sudah lebih dulu menerpa atmosfir kita. Sementara di Saudi atau negeri sub tropis lainnya, sama sekali belum kelihatan.
Kok bisa beda?
Karena atmosfir kita di khatulistiwa lebih tinggi (baca: lebih tebal). Semakin menjauhi khatulistiwa ke arah kutub, ketinggian atmosfir akan semakin rendah alias semakin tipis.
Mirip fenomena terbitnya matahari dalam pandangan kita, melihatnya dari puncak gunung dibandingkan dari kaki gunung. Yang posisinya di puncak gunung akan lebih dulu mendapatkan sinar matahari dari pada yang di kaki gunung.
Fajar shubuh itu pada hakikatnya berkas sinar matahari yang menerangi atmosfir. Semakin tinggi atau semakin tebal lapisan atmosfir, semakin awal terkena sinarnya. Sebaliknya, bila lapisan atmosfir semakin rendah, semakin lama datangnya fajar.
Itulah kenapa orang di Saudi shubuhnya rada siangan, sedangkan kita shubuhnya duluan. Soalnya atmosfir mereka lebih rendah ketebalannya.
Kok ketebalan atmosfir bisa beda?
Ini ada pengaruhnya dengan rotasi bumi pada porosnya. Gerakan sentripugal yang dihasilkan membuat atmosfir lebih banyak bertumpuk di garis khatulistiwa ketimbang di daerah kutub.
Maka jadi lucu kalau orang Saudi atau yang ngajinya copy paste dari gurunya di Saudi, kalau suka menyalahkan jadwal shubuh kita di Indonesia. Tuduhannya bahwa jadwal shubuh kita keliru karena dianggap terlalu awal.
Padahal memang sudah tampak fajarnya, sebab atmosfir kita lebih tinggi, lebih tebal dan lebih cepat terkena berkas cahaya matahari.
Terimasih Prof atas sharing ilmunya.
Ahmad Sarwat
9 Juli pukul 19.05 ·
#Ahmad Sarwat