Fiqih di Zaman Nabi SAW

Fiqih di Zaman Nabi SAW - Kajian Medina
Fiqih di Zaman Nabi SAW

Meski pun di masa Rasulullah SAW sudah ada kata fiqih (فِقه), namun penggunaannya tidak sebagaimana yang kita kenal di masa sekarang. Kalau di masa sekarang, fiqih adalah nama salah satu cabang ilmu keislaman yang membatasi pada urusan hukum-hukum agama seperti wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Namun kata fiqih (فِقه) di masa Rasulullah SAW dan masa generasi pertama Islam, maksudnya adalah ilmu-ilmu agama secara keseluruhan. Hal ini wajar karena di masa kenabian dan shahabat, ilmu-ilmu agama masih belum tumbuh cabang-cabangnya, masih jadi satu induk keilmuan secara umum. Dan mereka yang menguasai ilmu-ilmu agama secara keseluruhan disebut orang yang faqih.

Seorang faqih (فَقِيه) adalah orang memiliki ilmu yang mendalam dalam agamanya dari teks-teks agama yang ada dan ia mampu menyimpulkan menjadi hukum-hukum, pelajaran-pelajaran, faidah yang terkandung dalam teks agama tersebut. Disebutkan dalam salah satu hadits shahih bahwa ciri luar seorang ahli fiqih adalah :

إِنَّ طُولَ صَلاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرِ خُطبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِن فِقهِهِ

Panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khutbahnya adalah bagian dari fiqihnya (HR. Muslim)

Jadi makna fiqih di masa pertama Islam mencakup seluruh masalah dalam agama Islam, baik yang mencakup masalah akidah, ibadah, muamalat dan lain-lain. Karenanya, Abu Hanifah menamai tulisannya tentang akidah dengan ’Al-Fiqh Al-Akbar’ (الفقه الأكبر).

Implementasi Fiqih Sudah Ada Sejak Zaman Nabi

Seperti yang diuraikan di atas, bahwa fiqih adalah bagaimana kita memahami teks syariah, baik Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga dapat ditarik kesimpulan hukum. Dengan pengertian seperti ini, jelas bahwa di masa Rasulullah SAW sudah ada fenomena fiqih dan ilmunya.

Buktinya, tidak semua shahabat Nabi SAW adalah orang yang punya tingkat pemahaman yang mendalam. Sebagian dari mereka adalah orang-orang awam, yang tidak bisa begitu saja mengamalkan isi Al-Quran, kalau tidak bertanya dulu kepada mereka yang ahli fiqih, baik Rasulullah SAW atau shahabat yang punya ilmunya.

Hanya sebagian saja dari shahabat Nabi SAW yang termasuk ke dalam kategori ahli fiqih. Sebagiannya lagi meski tetap berstatus shahabat, namun tidak dikategorikan sebagai ahli di bidang Ilmu Fiqih.

Yang paling utama tentu adalah keempat shahabat yang menjadi khalifah rasyidah, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Al-Affan dan Ali bin Abi Thalib ridhwanullahi 'alaihim. Dan justru karena kefaqihannya itulah mereka dijadikan khalifatu-rasulillah.

Selain itu juga ada Abdullah bin Al-Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud serta Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Meski mereka tidak menjadi khalifah, namun Ilmu Fiqih mereka diakui oleh banyak shahabat dan para tabi'in sesudah mereka.

a. Ijtihad Nabi SAW

Kita mencatat bahwa Rasulullah SAW pun berijtihad dalam beberapa wilayah dimana tidak ada wahyu yang turun, atau setidaknya ketika wahyu terlambat turun. Misalnya tentang hukum tawanan dalam Perang Badar, juga tentang posisi umat Islam dalam perang itu. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah melakukan apa yang menjadi intisari dari fiqih, yaitu berijtihad.

Dan dalam kesehariannya, ijtihad banyak diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat. Misalnya, ketika ada yang bertanya tentang hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan. Beliau SAW tidak langsung menjawab hukumnya dengan kata iya atau tidak. Beliau SAW malah balik bertanya tentang hukum berkumur ketika sedang berpuasa, apakah membatalkan atau tidak.

Ketika shahabat itu menjawab tidak, maka Beliau SAW membuatkan benang merah, bahwa kalau berkumur saja tidak membatalkan, maka begitu juga dengan mencium istri, hukumnya tidak membatalkan.

Ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ahli ilmu ke Yaman, beliau SAW menguji terlebih dahulu shahabatnya itu dengan pertanyaan : فَإِن لَم تَجِد فيِ سُنَّةِ رَسُولِ الله وَلاَ فيِ كتِابِ الله ؟

”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara mereka bila tidak ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah?”.

Maka Muadz pun menjawab bahwa dirinya akan melakukan ijtihad. Dengan demikian, maka pada hakikatnya fiqih sudah ada di masa Rasulullah SAW dan beliau sendiri mengajarkannya dan juga langsung melakukannya. Dan demikian juga dengan para shahabat.

b. Ijtihad Shahabat

Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ridhwanullahi ’alaihim ajma’in tidaklah diangkat menjadi khalifah pengganti Rasulullah SAW, kecuali karena mereka adalah ahli fiqih. Dari mereka itulah kita menemukan begitu banyak hasil ijtihad, yang belum kita temukan di masa Rasulullah SAW.

Pengumpulan Mushaf di Masa Abu Bakar

Adanya pengumpulan sekian banyak shuhuf dan diikat menjadi satu bundel, tidak lain adalah hasil ijtihad Umar bin Al-Khattab di masa khilafah Abu Bakar radhiyallahuanhuma. Sebelumnya mushaf Al-Quran hanya berupa tulisan yang berserakan di kulit, pelepah kurma, batu, kayu dan lainnya. Nabi SAW sendiri tidak pernah memerintahkan penulisan Al-Quran dalam satu bundel.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu menyebutkan tentang jasa Abu Bakar dalam pengumpulan mushaf, sebagaimana disebutkan dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

أعظم الناس أجراً في المصاحف أبو بكر رحمة الله على أبي بكر هو أول من جمع بين اللوحين

Orang yang paling besar pahalanya dalam masalah mushaf adalah Abu Bakar. Semoga Allah merahmatinya, beliaulah yang pertama kali menghimpun Al-Quran dalam dua covernya.

Shalat Tarawih Berjamaah di Masa Umar

Dihidupkannya kembali shalat tarawih berjamaah di masjid adalah hasil ijtihad Umar, setelah sebelumnya shalat itu tidak pernah diadakan sejak bertahun-tahun sejak Rasulullah SAW pertama kali melakukannya yang hanya tiga malam saja.

صَلىَّ النَّبِيُّ فيِ المـَسجِدِ ذَاتَ لَيلَةٍ فَصَلىَّ بِصَلاَتِهِ نَاسُ ثُمَّ صَلىَّ مِنَ القَابِلَةِ وَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجتَمَعُوا مِنَ اللَّيلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَم يَخرُج إِلَيهِم رَسُولُ الله . فَلَمَّا أَصبَحَ قَالَ : قَد رَأَيتُ الَّذِي صَنَعتُم فَلَم يَمنَعنيِ مِنَ الخُرُوجِ إِلَيكُم إِلاَّ أَنيِّ خَشِيتُ أَن تُفتَرَضَ عَلَيكُم ـ قال: وَذَلِكَ فيِ رَمَضَان

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksanakan shalat, kemudian orang-orang shalat mengikuti beliau. Kemudian Beliau SAW shalat lagi pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat, namun Rasulullah SAW tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya, Rasulullah SAW berkata, “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali lantaran Akau khawatir shalat itu diwajibkan.” Perawi hadits berkata, "Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para shahabat yang lahir setelah peristiwa itu tidak mengalami adanya shalat tarawih berjamaah di masjid. Keadaan itu terus berlangsung sampai beliau SAW wafat menemui Allah SWT. Dua tahun selama masa pemerintahan Abu Bakar radhiyallahuanhu juga tidak ada yang menjalankan shalat tarawih berjamaah di masjid.

Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahuanhu yang menghidupkan lagi sunnah tersebut seraya mengomentari,”Ini adalah sebaik-baik bid'ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yaitu sesuatu yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali. Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.

Pemakaian Rasam Utsmani di Masa Utsman

Ijtihad di masa Utsman adalah distandarisasikannya tulisan atau rasam mushaf Al-Quran dan disebut secara resmi dengan istilah rasam Utsmani. Dengan catatan apabila ada perbedaan qiraat yang bersumber asli dari Rasulllah SAW, yang mana berarti itu memang juga bersumber dari Allah SWT, maka tetap diadaptasi tulisannya sesuai dengan qiraatnya yang berbeda-beda.

Sehingga kemudian dipatenkan 6 macam mushaf yang berbeda satu sama lain, karena mengadaptasi qiraat yang berbeda tersebut. Masing-masingnya kemudian dikirim ke berbagai negeri yang disesuaikan dengan ragam qiraat yang diajarkan oleh para aguru qiraat masing-masing.

Di masa kepemimpinan Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu kita juga menemukan banyak sekali ijtihad yang mereka lakukan. Semua membuktikan bahwa baik di masa Rasulullah SAW maupun di masa para shahabat, fiqih sudah dipakai dan dijalankan. Ini menegaskan bahwa fiqih bukan sesuatu yang baru datang kemudian.

c. Ijtihad di Masa Berikutnya

Kemudian di masa berikutnya, apa yang menjadi ijtihad selama ini kemudian disusun sedemikian rupa, dibuatkan kaidah-kaidahnya, dan dibuatkan pula contoh-contoh hasilnya dalam kitab yang tersusun rapi. Maka kemudian orang mengenal hal tersebut sebagai sebuah cabang ilmu, yang kita kenal dengan Ilmu Fiqih. Masa ini adalah masa dimana keempat imam mazhab itu hidup, mereka mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk menyusun bangunan Ilmu Fiqih secara modern.

Kemudian selama 14 abad berikutnya hingga sekarang ini, Ilmu Fiqih menjadi referensi hukum yang sangat lengkap dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Ini karena Fiqih memiliki sifat universal dan komprehensip, sebab syariat Islam merupakan agama terakhir di bumi.

Ahmad Sarwat
4 Juli pukul 10.43 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.