Berbilang Mathla', Masing-Masing Negara Memiliki Ru'yah Sendiri-Sendiri

Berbilang Mathla', Masing-Masing Negara Memiliki Ru'yah Sendiri-Sendiri - Kajian Medina
Untuk Indonesia hari rayanya besok, Rabu 5 Juli 2019 (sesuai pengumuman kementrian agama), TIDAK ikut Saudi hari ini. Karena tiap negara dan yang berdekatan dengannya, memiliki mathla' (tempat keluar) Hilal Syawal sendiri-sendiri. Jadi untuk teman-teman yang di Indonesia tidak perlu bingung, cukup ikut pemerintah RI. Kalau kami ikut Saudi karena sedang di Saudi. Silahkan simak pembahasan tahun lalu berikut. Semoga bermanfaat.

Abdullah Al Jirani
4 Juni pukul 07.50 ·

BERBILANG MATHLA’, MASING-MASING NEGERA MEMILIKI RU’YAH SENDIRI-SENDIRI

Oleh : Abdullah Al Jirani
*****
Imam An-Nawawi –rahimahullah- membuat judul bab dalam “Shahih Muslim” (2/765, terbitan Dar Ihyaut Turats Al-‘Arabi – Beirut) yang berbunyi :

صحيح مسلم (2/ 765)
بَابُ بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوُا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ

“Bab penjelasan, sesungguhnya setiap negeri memiliki ru’yah sendiri-sendiri. Dan seungguhnya apabila mereka melihat hilal di suatu negeri, hukumnya tidak tetap (tidak berlaku) bagi negeri yang jauh dari mereka.”

Imam Muslim –rahimahullah- (w. 676 H) telah meriwayatkan sebuah hadits dari Kuraib –radhiallahu ‘anhu- :

صحيح مسلم (2/ 765)
28 - (1087) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ، وَابْنُ حُجْرٍ، - قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ الْآخَرُونَ: - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَرْمَلَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: " لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dari Kuraib, sesungguhnya Ummu Al-Fadhl bintu Al-Harits mengutusnya kepada Mu’awiyyah di negeri Syam. Beliau berkata : “Akupun tiba di Syam, dan aku tunaikan kebutuhannya (ummu Al-Fadhl). Saat aku di Syam, tampaklah hilal Ramadhan kepadaku. Aku melihat hilal Jum’at malam. Kemudian aku datang ke Madinah di akhir bulan. Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas –radhiallahu ‘anhuma-, kemudian beliau menyebutkan hilal, lalu bertanya : “Kapan kalian melihat hilal ?” Aku menjawab : “Kami melihat Jum’at malam.” Beliau bertanya : “Kamu melihatnya ?” Aku jawab : “Ya, dan manusia juga melihatnya. Maka manusia (penduduk Syam) berpuasa dan Mu’awiyyah pun berpuasa (dengan hilal tersebut).” Ibnu Abbas berkata : “Akan tetapi kami melihatnya Sabtu malam. Maka kami terus puasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal Syawwal).” Aku bertanya : “Apakah tidak cukup ru’yahnya Mu’awiyah dan puasanya (untuk kalian)?” Beliau menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kami.” [ H.R Muslim : 1087 ].

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) berkata :

شرح النووي على مسلم (7/ 197)
فِيهِ حَدِيثُ كُرَيْبٍ عَنِ بن عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ الدَّلَالَةِ لِلتَّرْجَمَةِ وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا أَنَّ الرُّؤْيَةَ لَا تَعُمُّ النَّاسَ بَلْ تَخْتَصُّ بِمَنْ قَرُبَ عَلَى مَسَافَةٍ لَا تُقْصَرُ فِيهَا الصَّلَاةُ وَقِيلَ إِنِ اتَّفَقَ الْمَطْلَعُ لَزِمَهُمْ وَقِيلَ إِنِ اتَّفَقَ الْإِقْلِيمُ وَإِلَّا فَلَا

“Di dalam bab ini terdapat hadits Kuraib dari Ibnu Abbas, dan ia (hadits ini) sangat jelas penunjukkannya untuk bab. Dan yang shahih (benar) menurut para ashab kami (para fuqaha’ Syafi’iyyah), sesungguhnya ru’yah tidak menyeluruh untuk semua manusia. Bahkan khusus untuk orang yang dekat di atas jarak yang shalat tidak boleh diqashar (diringkas). Ada yang mengatakan : Jika sama matlaknya, maka mengharuskan. Ada yang mengatakan : Jika sama iklimnya (daerahnya), maka mengharuskan. Kalau tidak maka tidak mengharuskan.” [Syarh Shahih Muslim : 7/197].

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) berkata :

المجموع شرح المهذب (6/ 273)
إذَا رَأَوْا الْهِلَالَ فِي رَمَضَانَ فِي بَلَدٍ وَلَمْ يَرَوْهُ فِي غَيْرِهِ فَإِنْ تَقَارَبَ البلدان فحكمهما حكم بَلَدٌ وَاحِدٌ وَيَلْزَمُ أَهْلُ الْبَلَدِ الْآخَرِ الصَّوْمُ بِلَا خِلَافٍ. وَإِنْ تَبَاعَدَا فَوَجْهَانِ مَشْهُورَانِ فِي الطَّرِيقَتَيْنِ (أَصَحُّهُمَا) لَا يَجِبُ الصَّوْمُ عَلَى أَهْلِ البلد الاخرى وَبِهَذَا قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَآخَرُونَ وَصَحَّحَهُ الْعَبْدَرِيُّ وَالرَّافِعِيُّ وَالْأَكْثَرُونَ

“Apabila mereka melihat hilal di bulan Ramadhan di suatu negara dan mereka tidak melihatnya di negera lain, maka jika dua negara berdekatan, maka hukum keduanya seperti hukum satu negara. Wajib bagi penduduk negara yang lain untuk berpuasa tanpa ada perselisihan. Jika keduanya berjauhan, maka ada dua pendapat yang masyhur di dua metode. Yang paling shahih dari keduanya : tidak wajib berpuasa atas penduduk negara yang lain. Dan pendapat ini telah dipastikan oleh pengarang (Asy-Syiraji), Syaikh Abu Hamid, Al-Bandaniji, dan yang selain mereka. dishahihkan pula oleh Al-‘Abdari, Ar-Rafi’i, dan mayoritas (ulama’ Syafi’iyyah).” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/273].

Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.

Abdullah Al Jirani
26 Agustus 2018

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.