Dari 8 asnaf penerima zakat yang disebutkan dalam surat At-Taubah : 60, yang tersisa sekarang tinggal 7 asnaf saja. Sebab 1 dari 7 itu untuk budak yang di masa sekarang sudah tidak ada lagi.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60)
Bolehkah budak diqiyaskan dengan pembantu rumah tangga?
Jelas tidak boleh budak diqiyas dengan pembantu rumah tangga. Sebab tidak ada benang merah dan tidak ada kesamaan 'illat antara budak dan pembantu rumah tangga.
Pertama : budak itu diperjual-belikan secara legal seperti hewan, sedangkan pembantu tetap manusia yang haram diperjual-belikan seperti hewan.
Kedua : Dalam hukum syariah, seorang budak jtidak punya hak milik atas harta. Semua kerja budak milik tuannya. Sedangkan pembantu rumah tangga punya hak memiliki harta. Majikan wajib memberinya gaji yang cukup serta hak untuk menggunakan uangnya.
Ketiga : Dalam fiqih shalat, budak laki-laki termasuk orang tidak wajib shalat Jumat. Sedangkan pembantu laki-laki tetap wajib shalat Jumat.
Keempat : Dalam fiqih pernikahan, budak perempuan yang dimiliki memang boleh disetubuhi, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS. Al-Mukminun : 5-6)
Sedangkan pembantu rumah tangga, tidak boleh disetubuhi oleh majikannya. Intinya tidak boleh mengqiyaskan budak dengan apa pun. Budak ya budak, begitulah hukumnya.
Lalu bagaimana dengan mustahik yang lainnya? Aoakah tidak boleh juga untuk diyas?
Semua sepakat bahwa yang dimaksud dengan asnaf 'fi sabilillah' di masa kenabian hanya khusus buat prajurit yang mau ikut perang secara fisik. Misalnya unutk bekal perjalanan, beli senjata, kuda, baju besi, bekal anak istri selama ditinggal perang berbulan-bulan dan segala keperluan untuk perang syar'i dalam arti pertempuran fisik.
Lalu di masa kita sekarang, dimana tidak ada perang secara fisik, bisa kah 'fi sabilillah' di ayat itu kemudian diqiyaskan menjadi segala perjuangan dan upaya halal di jalan Allah?
Pastinya para ulama kontemporer berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Qordowi misalnya membolehkan tapi dengan syarat tertentu. Jadinya untuk membiayai dakwah Islam di negeri minoritas seperti bangun Islamic Center. Sebab ada kesamaan 'illat dengan perang secara fisik di masa kenabian, yaitu sama-sama menyebarkan Islam ke negeri yang belum memeluk Islam.
Tapi kalau mengacu kepada budak yang tidak boleh diqiyaskan, seharusnya fi sabilillah juga tidak boleh diqiyaskan menjadi apapun menjadi selain perang. Kalau demikian, maka berkurang lagi satu asnaf, yaitu untuk jihad perang fisik.
Wallahu a'lam bishshawab.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
22 Mei pukul 06.16 ·
#Ahmad Sarwat