Bid'ah kah Tradisi Masyarakat Saat 'Id al-Fithri?

Bid'ah kah Tradisi Masyarakat Saat 'Id al-Fithri? - Kajian Medina

𝐁𝐢𝐝‘𝐚𝐡 𝐤𝐚𝐡 𝐓𝐫𝐚𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐌𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐒𝐚𝐚𝐭 ‘𝐈̄𝐝 𝐚𝐥-𝐅𝐢𝐭𝐡𝐫𝐢?

① Tradisi saling kunjung-mengunjungi

Di dalam al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah XXXI/117, disebutkan:

التَّزَاوُرُ مَشْرُوعٌ فِي الإْسْلاَمِ ، وَقَدْ وَرَدَ مَا يَدُل عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الزِّيَارَةِ فِي الْعِيدِ ، فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ  دَخَل عَلَيَّ رَسُول اللَّهِ ﷺ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثٍ . فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّل وَجْهَهُ ، وَدَخَل أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي ، وَقَال مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ ؟ فَأَقْبَل عَلَيْهِ رَسُول اللَّهِ ﷺ فَقَال : دَعْهُمَا زَادَ فِي رِوَايَةِ هِشَامٍ : يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُل قَوْمٍ عِيدًا ، وَهَذَا عِيدُنَا ⑴

قَال فِي الْفَتْحِ : قَوْلُهُ : وَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ : وَفِي رِوَايَةِ هِشَامٍ بْنِ عُرْوَةَ ، دَخَل عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ ، وَكَأَنَّهُ جَاءَ زَائِرًا لَهَا بَعْدَ أَنْ دَخَل النَّبِيُّ ﷺ بَيْتَهُ ⑵

(arti) _“Saling kunjung-mengunjungi adalah kegiatan yang disyari‘atkan di dalam Islām. Telah warid dalīl yang menunjukkan akan masyrū‘nya berkunjung (ziyaroh) pada hari raya ‘Īd, bahwa diriwayatkan dari ‘Ā-isyah رضي الله عنها, ia berkata: "Rosūlullōh ﷺ masuk menemuiku sementara di sisiku ada 2 orang Jāriya yang sedang bersenandung nyanyian tentang Bu‘āts. Lalu Beliau berbaring miring di atas tikar dan memalingkan wajahnya. Lantas masuklah Abū Bakr dan ia mencelaku seraya berkata: "Seruling Syaithōn ada di dekat Nabī ﷺ?". Rosūlullōh ﷺ menoleh kepada Abū Bakr seraya berkata: "Biarkanlah keduanya.". Tambahan lafazh pada riwayat Hisyām (ibn ‘Urwah): "Wahai Abū Bakr, sungguh pada setiap kaum itu terdapat hari raya ‘Īd, dan inilah hari raya ‘Īd kita!"." ⑴ (Al-Hafizh Ibnu Hajar) Berkata dalam al-Fath: "Perkataan ‘Ā-isyah: Datanglah Abū Bakr, dan dalam riwayat Hisyām ibn ‘Urwah: Abū Bakr masuk menemuiku, seolah-olah (menunjukkan) bahwa Abū Bakr datang berkunjung kepada ‘Ā-isyah setelah Nabīﷺ  memasuki rumah beliau." ⑵.”_

⑴ HR al-Bukhōrī- Muslim.

⑵ Fat-hul-Bāri II/442.

⇨ Silahkan saling berkunjung ke rumah kerabat karena tradisi masyarakat Nusantara di hari raya ‘Īd ini berasal dari Sunnah. Alhamdulillāh.

② Tradisi ziyaroh kubur

Di dalam al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah XXXI/118 disebutkan:

تُسْتَحَبُّ فِي الْعِيدِ زِيَارَةُ الْقُبُورِ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِهَا وَالدُّعَاءُ لَهُمْ ، لِحَدِيثِ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَفِي رِوَايَةٍ : فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآْخِرَةَ ، وَحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا : زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْت . وَكَرِهَ زِيَارَتَهَا ابْنُ سِيرِينَ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَالشَّعْبِي

(arti) _“Dianjurkan berziyaroh kubur pada hari raya ‘Īd, mengucapkan salām untuk penghuni kubur, dan berdo'a bagi mereka, dengan dalīl hadīts: "Aku pernah melarang kalian dari berziyaroh kubur, kini berziyarohlah". Dalam riwayat lain: "…karena berziyaroh kubur dapat mengingatkan tentang Ākhirot". Lalu ada hadīts Abū Huroiroh yang marfu’: "Berziyaroh kuburlah kalian karena ia dapat mengingatkan tentang kematian". Sementara Ibnu Sīrīn, Ibrōhīm an-Nakho‘ī, dan asy-Sya‘bī memakruhkan berziyaroh kubur (ketika hari ‘Īd).”_

⇨ Silahkan berziyaroh kubur -selama tata caranya dilakukan sesuai dengan Sunnah Nabī ﷺ- di hari raya ‘Īd, insyā’Allōh bukan bid‘ah.

③ Tradisi takbiran beramai-ramai

Takbiran di hari raya boleh dilakukan sendiri-sendiri atau berjamā‘ah, dan ini merupakan pendapat sebagian ‘ulamā’ Salafush-Shōlih – bahkan sebagian ‘ulamā’ ada yang menyatakan ini sebagai pendapat jumhur (mayoritas) ‘ulamā’ berdasarkan beberapa alasan, di antaranya :

⑴. Perintah bertakbir dalam QS al-Baqoroh (2) ayat 185 itu shifatnya muthlaq, tidak dibatasi oleh sesuatu apapun. Di dalam qoidah ushul fiqh, dalīl yang muthlaq di‘amalkan sesuai kemuthlaqkannya sampai ada dalīl lain yang mentaqyid (membatasi)nya. Sehingga diperbolehkan bertakbir secara Bersendirian ataupun berjamā‘ah. Siapa saja yang mengeluarkan QS al-Baqoroh ayat 185 dari kemuthlaqkannya -dengan membatasi hanya bertakbir sendiri-sendiri- maka ia dituntut untuk mendatangkan dalīl yang shohīh dan shorih (jelas) yang mengeluarkan dari makna asalnya.

Adapun pihak yang meng‘amalkan ayat di atas sesuai kemuthlaqkannya, maka jangan ditanya dalīl lagi, karena mereka telah ber‘amal berdasarkan atas dalīl.

❗ Yang perlu ditanya dalīl itu justru orang yang membatasi takbiran harus sendiri-sendiri, BUKAN yang takbiran beramai-ramai.

⑵. Hadīts

Adapun hadīts Ummu Athiyyah رضي الله تعالى عنها beliau mengatakan:

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ العِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ البِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا ، حَتَّى نُخْرِجَ الحُيَّضَ، فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ ، فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ، وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ اليَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

(arti) _“Pada hari raya ‘Īd kami diperintahkan untuk keluar sampai-sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga para perempuan yang sedang haidh. Mereka duduk di belakang barisan kaum laki-laki dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdo'a mengikuti do'anya kaum laki-laki dengan mengharap barokah dan kesucian hari raya tersebut.”_ [HR al-Bukhōriy no 971].

Sisi pendalīlan dari riwayat di atas, pada kalimat "(mereka para perempuan) mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki", di mana makna yang zhohir (tampak) dari kalimat ini adalah bertakbir dilakukan secara bersama-sama (jamā‘āh). Adapun di dalam qoidah ushul fiqh, suatu dalīl yang memiliki makna zhohir, maka ia dipahami dan di‘amalkan sesuai dengan zhohirnya - tidak diperbolehkan bagi kita untuk keluar dari makna zhohirnya sampai ada dalīl lain yang mengeluarkannya dari makna asal kepada makna yang lain.

Imām al-Bukhōriy رحمه الله تعالى meriwayatkan secara mu’allaq dari Shohābat ‘Abdullōh ibn ‘Umar رضي الله عنهما:

يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ المَسْجِدِ ، فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا

(arti) _“Sungguh beliau bertakbir di atas menaranya di Mina, maka orang-orang di Masjid mendengar hal itu, lalu mereka bertakbir, dan bertakbir pula orang-orang di pasar sehingga Mina goncang dan bergerak (maksudnya: gegap gempita) dengan suara takbir.”_ [lihat: Shohīh al-Bukhōriy II/20].

Imām Ibnu Hajar رحمه الله تعالى mengatakan:

وَصَلَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مِنْ رِوَايَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ السُّوقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا وَوَصَلَهُ أَبُو عُبَيْدٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ بِلَفْظِ التَّعْلِيقِ وَمِنْ طَرِيقِهِ الْبَيْهَقِيُّ

(arti) _“Riwayat ini telah dimaushulkan (disambung sanadnya) oleh Sa‘īd ibn Manshūr dari riwayat ‘Ubayd ibn ‘Umayr, ia berkata: "Sungguh beliau bertakbir di atas menaranya di Mina, maka orang-orang di Masjid mendengar hal itu, lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang di pasar sehingga Mina goncang dan bergerak (maksudnya: gegap gempita) dengan suara takbir", dan hal ini telah dimaushulkan oleh Abū ‘Ubayd dari sisi yang lain dengan lafazh ta‘līq, dan juga al-Bayhaqiy juga telah meriwayatkan dari jalurnya.”_ [lihat: Fat-hul-Bāri II/462].

Ucapan Ibnu Hajar رحمه الله تعالى: "al-Bayhaqiy juga telah meriwayatkan dari jalurnya" maksudnya adalah bahwa Imām al-Bayhaqiy telah meriwayatkan atsar dari ‘Umar di atas, dari jalur periwayatan Abū ‘Ubayd, sebagaimana beliau berkata dalam Sunan al-BayhaqīIII/312: "Abū ‘Abdillāh al-Hafizh telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abū Bakr ibn Ishāq telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Abū ‘Ubayd berkata: Yahyā ibn Sa‘īd telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Juraij dari Atho’ dari ‘Ubayd ibn ‘Umayr dari ‘Umar … - kemudian beliau menyebutkan riwayat di atas."

Kemudian, Imām Ibnu Hajar رحمه الله تعالى mengatakan:

وَقَوْلُهُ تَرْتَجُّ بِتَثْقِيلِ الْجِيمِ أَيْ تَضْطَرِبُ وَتَتَحَرَّكُ وَهِيَ مُبَالَغَةٌ فِي اجْتِمَاعِ رفع الْأَصْوَات

(arti) _“Ucapannya "tartajju" dengan tatsqīl di huruf jim, artinya: goncang dan bergerak. Dan ini maknanya menunjukkan berlebihan di dalam berkumpul/berjamā‘ah di dalam mengeraskan suara.”_ [lihat: Fat-hul-Bāri II/462].

Al-Imām Muhammad ibn Idrīs asy-Syāfi‘ī رحمه الله تعالى mengatakan:

فاذاراواهلال شوال احببت ان يكبر الناس جماعة و فرادي في المسجدوالاسواق والطرق والمنازل و مسافرين ومقيمين في كل حال واين كانوا و ان يظهروا التكبير

(arti) _“Maka apabila mereka melihat hilal bulan Syawwal, aku sangat menganjurkan agar manusia bertakbir secara BERJAMA'AH ataupun SENDIRI-SENDIRI di Masjid, pasar-pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, musafir maupun muqim, di seluruh keadaan dan di manapun mereka berada untuk menampakkan takbir.”_ [lihat: al-Umm I/231].

Imām asy-Syāfi‘ī رحمه الله تعالى  juga mengatakan:

ويستحب الانفرادفي التكبير حالة المشي للمصلي و اما تكبير جماعة وهم جالسون في المصلي فهذا هوالذي استحسن

(arti) _“Dianjurkan sendiri-sendiri dalam takbir dalam keadaan berjalan bagi orang yang akan sholāt. Adapun takbir SECARA BERJAMĀ‘AH dan mereka DALAM KONDISI DUDUK di Musholā, maka ini perkara yang baik.”_ [lihat: Bulghotus-Salik I/304].

Demikian secara jelas dan tegas al-Imām asy-Syāfi‘ī رحمه الله تعالى memperbolehkan untuk bertakbir secara berjamā‘ah.

⇨ Adat takbiran -baik sendiri-sendiri atau berjamā‘ah- di Masjid-Masjid atau takbir keliling yang sudah jadi tradisi di negeri kita ini merupakan suatu perkara yang baik, karena sudah bersandar kepada dalīl dan mengikuti fatwa seorang mujtahid muthlaq sekelas al-Imām Muhammad ibn Idrīs asy-Syāfi‘ī رحمه الله تعالى.

Apakah berani menyatakan Imām asy-Syāfi‘ī telah mengadakan bid‘ah dalam agama?

Atau berani mengatakan beliau tidak punya sandaran dalīl dari al-Qur-ān dan as-Sunnah?

Kalau sampai berani berkata demikian, maka benarlah ucapan: "Semoga Allōh ﷻ merahmati seorang yang mengetahui kadar dirinya". 

Jika anda ternyata punya pendapat lain, cukup bagi anda untuk berlapang dada dan menghormati mereka yang meng‘amalkannya. Jangan sampai masalah furu’iyyah yang bersifat ijtihādiyyah menjadi sebab untuk saling mencela dan bermusuhan, apalagi menyesatkan – dan inilah madzhabnya para Salafush-Shōlih yang sesungguhnya.

Adapun mengikuti adat setempat yang telah berjalan adalah merupakan perkara yang lebih baik sepanjang ia bukan termasuk pelanggaran agama, sebagaimana kata Imām Ibnu ‘Aqil al-Hanbaliy رحمه الله تعالى: 

لا ينبغي الخروج من عادات الناس

(arti) _“Tidak sepantasnya untuk keluar dari adat manusia (selama tidak melanggar ketentuan syari’at).”_

④ Tradisi memberikan uang hadiah kepada anak kecil

Fatwa al-Lajnah ad-Dā-imah lil-Buhūts wal-Iftā’:

الحمد لله

"لا حرج في ذلك ، بل هو من محاسن العادات ، وإدخال السرور على المسلم ، كبيراً كان أو صغيراً ، وأمر رغب فيه الشرع المطهر . 

وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم" انتهى . 

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء . 

الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز ... الشيخ عبد العزيز آل الشيخ ... الشيخ صالح الفوزان ... الشيخ بكر أبو زيد . 

"فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء ٢٦/٢٤٧

Alhamdulillāh

Hal itu tidak mengapa. Bahkan itu termasuk kebiasaan yang baik, memberi kegembiraan kepada orang Islām, baik dewasa maupun anak-anak. Di mana hal itu termasuk perkara yang dianjurkan oleh agama.

Hanya Allōh sumber segala kekuatan. Semoga sholāwat dan salām selalu Allōh berikan kepada Baginda Nabī Muhammad ﷺ beserta keluarga dan para Shohābat-nya.

Al-Lajnah ad-Dā-imah lil-Buhūts wal-Iftā’

Syaikh ‘Abdul-‘Azīz ibn ‘Abdullah ibn Bāz (Ketua),

Syaikh ‘Abdul-‘Azīz Ālusy-Syaikh (Sekretaris),

Syaikh Shōlih al-Fawzān, Syaikh Bakr Abū Zayd (Anggota).

⇨ Memberikan uang kepada anak-anak di hari ‘Īd itu BUKAN shodaqoh, tetapi ia adalah hadiah. Jadi anak-anak itu bukan meminta-meminta. Sama sekali tidak!

⚠ Tentunya karena ia adalah hadiah, maka tujuan memberi hadiah itu adalah agar saling mencintai, sehingga adab dari hadiah itu adalah saling memberi. Jadi apabila anak kita diberi hadiah oleh orang, maka kita pun hendaknya memberikan anak orang hadiah.

⑤ Tradisi mengucapkan "minal-‘ā-idīn wal-fā-izīn"

Perlu diketahui bahwa ucapan "مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ" itu adalah kependekan dari:

جعلنا الله وإياكم من العائدين إلى الفطرة وجعلنا من الفائزين بالجنة والنجاة من النار 

(arti) _“Semoga Allôh menjadikan kita semua termasuk ke dalam orang-orang yang kembali kepada fithroh, mendapat kemenangan berupa masuk Syurga dan selamat dari Neraka.”_

❔ Apakah menyingkatnya menjadi "minal-‘ā-idīn wal-fā-izīn" itu salah dan akan menjadi buruk?

Jawabannya tidak, karena di dalam ‘ilmu Balaghoh pada bahasa ‘Arab, ada teknik yang namanya ījāz (إيجاز) dengan idhmār (إضمار), hadzf (حذف), dan ibhām (إبهام), yang mirip dengan teknik reduction dalam gramatika dan retorika bahasa-bahasa rumpun Indo-Eropa seperti bahasa: Albanian, Anatolian, Armenian, Balto-Slavic, Celtic, Germanic, Hellenic, Indo-Iranian, dan Italic.

Contoh mudahnya adalah perkataan: "Erdoğan disappointed" atau "Razan shot dead" yang biasa ditemui di headline media masa, di mana copula dengan tense yang lengkapnya sengaja dibuang (tidak disebutkan), sehingga jikalau itu dimaknai secara dangkal, maka kedua kalimat tersebut adalah kalimat yang tidak lengkap, tidak jelas, sehingga bisa jadi dikatakan sebagai "tidak ada asal-usulnya". Namun demikian, para pembaca berita tidak akan menyimpulkan aneh-aneh dari keduanya contoh "Erdoğan Disappointed" atau "Razan Shot Dead" tersebut, karena mereka tahu apa yang dimaksud sebenarnya. Maka begitu pula dengan kalimat "minal ‘ā-idīn wal-fā-izīn" tersebut yang merupakan penyingkatan dari do'a: "ja‘alanāllōh wa iyyakum minal-‘ā-idīn ilāl fithroh wa ja‘alanā minal-fā-izīn bil-jannah wan-najāt minan-nār".

Ucapan "minal-‘ā-idīn wal-fā-izīn" itu pada dasarnya adalah sebuah do'a yang juga sering diucapkan oleh orang-orang lokal ‘Arab, sebagaimana yang biasa didengar langsung oleh para da‘i atau asatidz yang sekolah dan tentunya bergaul dengan masyarakat lokal asli di ‘Arab sana. Adapun kalau tidak bergaul dengan masyarakat lokal ‘Arab karena bergaulnya hanya dengan sesama anak Indo saja, dan mainnya kurang jauh hanya seputar kampus dan tempat kost saja, maka tentunya ya tidak tahu.

❌ Karenanya, tidak perlu mempermasalahkan ucapan "minal-‘ā-idīn wal-fā-izīn" itu dengan berandai-andai atau bahkan memaknainya dengan makna-makna yang buruk.

⇨ Intinya:

✓ Tidak perlu mempersulit masyarakat dengan melarang mereka mengucapkan ucapan "minal-‘ā-idīn wal-fā-izīn" dan mengharuskan ucapannya hanya: "taqobbalallōhu minnā wa minkum". Karena ini perkaranya adalah tentang do'a, mendo'akan sesama Muslim agar kembali fitroh dan mendapatkan kemenangan (Syurga-Nya) setelah berpuasa dan qiyamul-layl selama sebulan penuh di bulan Romadhōn. Adapun yang namanya do'a itu dengan bahasa apa pun asalkan maknanya baik maka ia boleh, sebab do'a ini adalah termasuk dalam bab Fadho-ilul A‘mal (keutamaan ‘amalan) atau di luar masalah ahkam (halāl dan harōm) dan di luar masalah ‘aqīdah sehingga ada banyak keleluasaan di sini. Bahkan bukankah berdo'a dalam bahasa apapun diperbolehkan?

✓ Adapun bagi yang mau mengucapkan "minal-‘ā-idīn wal-fā-izīn", maka hendaknya tahu apa lengkapnya do'a tersebut berikut dengan artinya.

Demikian, والله أعلمُ بالـصـواب

Arsyad Syahrial

10 Mei 2021 pada 09.55  · 

Related Posts

There is no other posts in this category.

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.