TAFSIRAN YANG MENGECILKAN KUASA ALLAH
Kadang seorang mukmin yang shalih berniat baik dan berusaha mengagungkan Allah, akan tetapi tanpa sadar sebenarnya tafsirannya malah mengecilkan kuasa Allah. Kita bisa melihat contoh sederhananya dalam kasus tafsir ayat berikut:
وَمَا قَدَرُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ وَٱلۡأَرۡضُ جَمِیعࣰا قَبۡضَتُهُۥ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ وَٱلسَّمَـٰوَ ٰتُ مَطۡوِیَّـٰتُۢ بِیَمِینِهِۦۚ سُبۡحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا یُشۡرِكُونَ
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan." [Surat Az-Zumar: 67]
Betapa banyak muslim yang memahami ayat di atas secara literal dan menghubungkannya dengan kemahabesaran Allah dalam arti bahwa Allah itu sosok yang berukuran besar sekali sehingga bumi saja ada di genggamannya dan langit yang lebih besar lagi digulung dengan tangan kanan-Nya. Pemahaman tajsim seperti ini sejatinya justru mengecilkan kekuasaan Allah.
Bukannya mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, pendekatan tajsim malah membuat seakan-akan Allah adalah raksasa besar. Tentu tidak ada orang waras yang mau menuhankan raksasa, sebesar apapun raksasa itu. Jangankan yang ukurannya sekedar bisa menggenggam bumi yang diameternya hanya 6.371 KM itu, yang bisa menggenggam milyaran galaxy pun masih tak layak disembah. Seluruh sosok raksasa (entitas fisik berukuran besar) hanya layak jadi objek penelitian sains, sama sekali tak layak dipertuhankan, tak peduli sekuat apa dia. Selain jadi objek penelitian, entitas fisik berukuran raksasa juga hanya pas dijadikan karakter pahlawan di layar kaca idola anak kecil, hitung-hitung sebagai saingan ultraman, haha.
Yang juga tafsiran aneh bin ajaib, ada salah satu versi riwayat hadis yang bercerita tentang seorang Yahudi yang sok mengajari Rasulullah. Dia bilang:
يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْجِبَالَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْخَلَائِقَ عَلَى إِصْبَعٍ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ
'Hai Muhammad, Allah memegang langit di atas satu jari, dan seluruh bumi dengan satu jari, dan seluruh gunung dengan satu jari, dan semua pohon hanya dengan satu jari, dan seluruh makhluk yang ada hanya dengan satu jari, lantas berkata 'Akulah Sang Raja.' (HR. Bukhari)
Mendengar ucapan Yahudi tersebut, Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi serinya. Beliau kemudian membacakan ayat Az-Zumar: 67 di atas. Dilihat bagaimana pun, ayat tersebut menolak ucapan Si Yahudi sebab Allah mengawali ayat itu dengan pernyataan tegas:
وَمَا قَدَرُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِ
"Mereka (orang-orang kafir) tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya".
Orang yang disebut tidak mengagungkan Allah selayaknya itu adalah semua orang kafir, termasuk si Yahudi tadi. Kalau memang mengagungkan Allah secara layak, tentu memeluk Islam.
Yang aneh dari hadis ini adalah sebagian perawi menyatakan bahwa Rasulullah tertawa dalam rangka kagum dan membenarkan ucapan Si Yahudi tadi. Tentu saja tafsiran perawi ini malah mengecilkan kekuasaan Allah, meskipun mungkin niatnya sebaliknya. Tak ada yang spesial kalau cuma meletakkan langit, bumi, gunung, pohon dan makhluk hidup masing-masing dalam satu jari dalam artian jari sebagai organ fisik, kecuali apabila kata jari di situ tidak dipahami sebagai organ tetapi kiasan kekuasaan.
Lalu bagaimana tafsiran yang tepat? Sebenarnya ayat dan hadis itu sederhana dan mudah dipahami. Konteksnya hendak menjelaskan betapa hebatnya kuasa Allah hingga digambarkan bahwa bumi dan langit begitu remeh baginya. Ayat dan hadis itu sama dengan sebuah hadis yang menyatakan bahwa hati manusia dibolak-balik di antara jari-jemari Tuhan. Maksudnya bukan benar-benar ada organ jari yang sedang menggerakkan organ hati (jantung) manusia, tapi kiasan bahwa hati manusia sepenuhnya dalam kontrol Allah. Bumi, langit dan semua hal memang berada dalam kontrol dan kekuasaan Allah.
Dengan pemahaman semacam ini, hilang sudah pemahaman tajsim yang membayangkan seolah Allah mempunyai organ berupa tangan atau jari yang punya ukuran tertentu. Hilang juga bayangan entitas raksasa sebab tak ada jisim di sana. Hilang juga pikiran takyif semisal kalau bumi digenggam satu tangan, maka artinya matahari yang radiusnya seukuran 696.340 km sudah terlalu besar untuk digenggam tangan tersebut. Kalau matahari juga bisa digenggam, maka artinya bumi terlalu kecil untuk disebut digenggam sehingga ayatnya akan tampak salah. Takyif yang selalu konyol dan berujung kontradiksi seperti ini hanya muncul dari pikiran tajsim.
Dengan memaknai secara global (tafwidh atau takwil ijmali), yang dipahami dari ayat itu adalah kemahakuasaan Allah yang layak bagi-Nya, yakni kemahakuasaan yang tak terbatas ukuran atau ruang. Mau sebesar apapun objeknya, mau bumi, tata surya, galaxy atau apa pun juga sebagai contoh, semuanya remeh bagi Allah. Itu pesan indah dan sempurna dari ayat tersebut.
Tetapi sayangnya keindaan pesan itu akan terasa kurang lengkap bagi otak mujassimah yang selalu mengkhayalkan adanya sosok yang punya dimensi panjang, lebar dan tinggi yang mereka sembah. Siapa pun yang berani berkata bahwa Allah tidak punya ukuran panjang, lebar dan tinggi, maka akan langsung dituding meniadakan wujud Allah, menta'thil sifat Allah atau dibilang Jahmiyah. Padahal yang ditiadakan sejatinya adalah paham tajsim di pikiran mereka yang selalu mengecilkan kuasa Allah itu. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifati.
Semoga bermanfaat.
Abdul Wahab Ahmad
6 Oktober 2020 pada 21.52 ·