Kriteria Dasar Menafsirkan Al-Quran

Kriteria Dasar Menafsirkan Al-Quran - Kajian Medina
Kriteria Dasar Menafsirkan Al-Quran

Oleh Ahmad Sarwat, Lc.MA

Al-Quran kitab suci, tidak bisa dikotori oleh tangan-tangan kotor jahiliyah. Kesucian Al-Quran dijamin Allah SWT di dalam Al-Quran sendiri.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)

Bahkan justru Al-Quran sendiri yang menantang orang Arab untuk bisa membuat tandingan yang seperti Al-Quran. Namun tidak mampu mereka jawab tangtangan itu. Dan di masa sekarang, tiap kali ada upaya orang memalsukan Al-Quran, selalu ketahuan dan justru malah dipermalukan.

Jadi kita sebenarnya tidak perlu khawatir atau takut kalau muncul Al-Quran palsu. Usaha semacam itu sudah sejak dulu dilakukan orang dan tak satu pun yang berhasil menyesatkan umat Islam. Upaya memalsu Al-Quran adalah upaya terbodoh yang pernah dilakukan orang.

Mereka yang sedikit pintar pasti tidak akan memalsukan Al-Quran, karena toh percuma saja. Yang bisa dilakukan sebenarnya mengacaukan umat Islam dalam upaya memahami isi kandungan Al-Quran. Jadi yang diserang bukan Al-Qurannya, melainkan cara menafsirkannya atau cara memahaminya. Dan itu memang upaya mudah, karena dalam urusan bagaimana memahami Al-Quran memang tidak ada proteksi atau jaminan dari Allah SWT bahwa penafsirannya tidak menyimpang.

Maka disitulah orang-orang jahiliyah bermain, mereka mulai mengubah modusnya, tidak lagi memalsukan Al-Quran, tetapi mengotak-atik dan mengobok-obok tafsir Al-Quran.

Sehingga sering terjadi suatu ayat diplintir kesana-kemari oleh mereka dengan alasan kebebasan dalam menafsirkan Al-Quran.

Mazhab kebebasan atau freedoom dalam menafsirkan Al-Quran ini kemudian merebak bagai fenomena penyebaran virus Korona. Mulailah orang-orang yang tidak punya kapasitas dan otoritas dalam menafsirkan Al-Quran bicara ngawur seenaknya dan semaunya. Dan seringkali orang macam ini seringkali dimanfaatkan demi untuk kepentingan pihak tertentu.

Lalu bagaimana cara mengantisipasinya?

Para ulama ahli tafsir sebenarnya sejak lama sudah membuat semacam syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Kalau dalam ilmu hadits kita mengenal hadits shahih, dhaif atau maudhu' maka dalam tafsir kira-kira seperti itu juga.

Dalam ilmu hadits ada istilah adil dan dhabith, yang mana seorang perawi kalau tidak adil dan tidah dhabith maka haditsnya kita buang. Dan dalam ilmu tafsir juga ada syarat-syarat semacam itu juga. Kalau seseorang tidak memenuhi syarat dan kriteria yang baku dalam menafsirkan Al-Quran, maka tafsirannya kita buang ke tong sampah sebagai kotoran yang harus dijauhi.

Lalu apa saya syarat dan kriteria baku dan standar yang harus dimiliki oleh orang yang ingin menafsirkan Al-Quran? Saya menukilkan apa yang diuraikan oleh Dr. Manna' Al-Qaththan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran berikut :

1. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.

Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.

Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.

Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.

Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.

Tentang kekuatan dan kedudukanhadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.

Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.

Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in

Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.

Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.

Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.

Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.
Kriteria Dasar Menafsirkan Al-Quran - Kajian Medina
Ahmad Sarwat
27 Januari 2020 (5 jam ·)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.