LIPIA vs Al-Azhar

LIPIA vs Al-Azhar - Kajian Medina
LIPIA vs AL-AZHAR

Para ustadz di Rumah Fiqih Indonesia itu rata-rata lulusan LIPIA dan bukan lulusan dari Al-Azhar Mesir. Tapi fikrah dan konten yang dibawakan justru sejalan dengan Al-Azhar Mesir.

Misalnya yang paling mendasar adalah urusan bermazhab. Para ustadz di RFI selalu mengajarkan keharusan bermazhab, bahkan cenderung secara pribadi bermazhab Syafi'i.

Padahal semua tahu bahwa LIPIA itu milik Kerajaan Saudi Arabia. Semua juga tahu bahwa manhaj di Saudi itu beda dengan di Al-Azhar. Setidaknya tidak bermazhab, tetapi kembali kepada Quran Sunnah.

Mengapa bisa demikian?

Sebagai bagian dari lulusan LIPIA dan juga pendiri Rumah Fiqih Indonesia, saya punya penjelasan sekaligus klarifikasi.

Manhaj LIPIA sebenarnya mazhab Al-Azhar juga. Banyak dosennya dari Al-Azhar.

MAnhaj disini maksudnya bukan manhaj salaf sebagaimana yang banyak didengungkan banyak kalangan. Manhaj disini maksudnya kurikulum perkuliahan.

LIPIA yang sudah berdiri sejak tahun 1980 sebagai tempat kursus bahasa Arab, kemudian membuka fakultas Syariah jurusan Perbandingan Mazhab. Jurusan ini seperti belati bermata dua. Di satu sisi menguntungkan dan di sisi lain merugikan.

Yang bilang merugikan diantaranya Syeikh Dr. Hasan Hitou, ulama mazhab Syafi'i asal Suriah yang mendirikan Jami'ah Al-Imam Asy-Syafi'i di Cianjur Jawa Barat. Ketika ngobrol dengan saya dan teman-teman ustadz Rumah Fiqih Indoneisa suatu hari di Cianjur, Beliau menuding bahwa jurusan Perbandingan Mazhab itu hanya kamuflase saja. Intinya justru ingin merusak dan menjauhkan antum dari mazhab fiqih para ulama.

Menurut Beliau, kalian ini sejak dulu sudah bermazhab Syafi'i, lalu datanglah LIPIA mengenalkan bermacam-macam mazhab lainnya. Maka kalian mulai tidak lagi mermazhab Syafi'i, karena dikenalkan dengan mazhab-mazhab lainnya.

Namun saya sendiri sebagai pelakunya justru merasakan sebaliknya. Kita ini dulu justru tidak bermazhab Syafi'i, bahkan bermazhab pun tidak. Kita ini muslim modern perkotaan yang kenyang dengan dakwah anti mazhab sejak zaman awal. Setidaknya sejak munculnya gerakan tajdid yang dipelopori oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lainnya di Timur Tengah sana.

Sejak itu kita ini sudah tidak bermazhab, bahkan cenderung rada anti mazhab. Nyaris berbagai macam organisasi kemasyarakat yang berdiri, umumnya menjadi corong besar seruan anti mazhab.

Bertahun-tahun dakwah anti mazhab itu berjalan dan hasilnya kita jadi generasi anti mazhab, atau setidaknya generasi tidak bermazhab. Kalau ditanya mazhabnya apa, pasti gak bisa jawab.

Kalau nggak percaya, coba saja tanyakan ke jamaah pengajian atau para aktifis dakwah. Kalau perlu tanyakan kepada para ustadz yang suka ceramah, bahkan sering nongol di youtube itu. Antum bermazhab apa?

Dari 100 orang aktifis dakwah yang saya tanyakan, yang jawab cuma 1 orang. Selebihnya yang 99 orang, diam saja tidak menjawab. Malah ada yang bertanya, Mazhab itu yang suka dukun-dukun dan maulidan itu ya, ustadz?

Nah, kan. Mereka ini aktifis dakwah lho. Sebagiannya malah sudah punya binaan, sudah jadi murabbi, sudah jadi ustadz bahkan penceramah kondang laris manis yang jawal ceramah penuh 3 tahun ke depan. Tapi giliran ditanya mazhab fiqih apa, dia malah tergagap diam seribu bahasa.

Lalu sebagian dari kami masuk LIPIA, diawali dengan i'dad luhgawi 2 tahun, lanjut ke takmili 1 tahun, baru kemudian masuk Fakultas Syariah 4 tahun. Disitulah kami ini untuk pertama kali mengenal siapa itu Al-Imam Asy-Syafi'i dan tiga imam lainnya. Disitulah kita tahu bahwa tidak boleh seorang yang tidak punya kapasitas ilmu untuk berijtihad sendiri.

Salah satu kitab wajib yang dipelajari sejak mustawa 1 hingga mustawa 8 adalah kitab karya Ibnu Qudamah, yaitu Raudhatun Nazhir. Justru kitab karya ulama Hambali inilah yang secara tegas MEWAJIBKAN kita bermazhab dan haram beriijtihad sendiri.

Namun terus terang saja, bab tentang ijtihad ini baru dibahas di mustawa 8 alias level terakhir.

Lalu tentang kenapa ustadz RFI pada bermazhab Syafi'i, ini faktor kebetulan saja. Kebetulan memang mereka sejak kecil mengaji di pesantren atau majelis taklim dengan manhaj Syafi'i. Lalu di LIPIA ketemu dengan para dosen Mesir dari Al-Azhar yang ternyata juga banyak yang bermazhab Syafi'i.

Kalau pun tidak bermazhab Syafi'i, tapi mereka sangat hormat dan tinggi penghargaannya kepada mazhab Syafi'i. Kita-kita ini malah terkesima dengan semua itu. Dan disitulah ke-Azhar-annya kita temukan.

Disitulah kita menjadi abnaul azhar, meski dengan seragam LIPIA.

Lalu kita pun berkesimpulan : kalau begitu mazhab kita ini sudah canggih banget ya. Kita aja yang selama ini dibutakan oleh dakwah anti mazhab. Rupanya kita ini adalah bagian dari korban sia-sia (colateral damage) dakwah pembaharuan atau gerakan tajdid. Luarnya kelihatan menarik, tapi dalamnya ternyata merusak keilmuan para ulama.

Justru pencerahan ini kita temukannya malah di LIPIA. Maka buat kita, adanya LIPIA dengan fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab tidak merugikan, malah menguntungkan. Namun signalnya tidak terlalu kuat.

Signal itu kita perkuat dengan mendirikan Rumah Fiqih Indonesia. Kita mengkaji lebih dalam, diskusi, ceramah, menulis, rekaman, siaran dan seterusnya.

Ahmad Sarwat
16 Oktober pukul 10.09 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.