Ibnu Taimiyyah dan Biji Tasbih

Ibnu Taimiyyah dan Biji Tasbih - Kajian Medina
Ibnu Taimiyyah dan biji tasbih

Di Haramain (Madinah dan Mekah) sangat banyak kita jumpai para penjual biji tasbih dengan beraneka bentuk, warna dan harga. Para jama’ah haji dan umrah terkhusus asal Indonesia, kerap menjadikan biji tasbih sebagai pilihan untuk oleh-oleh mereka. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kerajaan Saudi Arabia (KSA), apalagi Haramain, merupakan salah satu kiblat ilmu saat ini, terutama dakwah Salafi. fenomena ini tidak lepas dari fatwa para ulama Haramain yang membolehkan hal ini (biji tasbih), seperti syaikh Ibnu Utsaimin dan selain beliau.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- (w.728 H), sebagai salah satu referensi pokok para ulama Saudi pun membolehkan berdzikir dengan biji tasbih, bahkan memandang sebagai perkara yang baik. Dalam kitab “Majmu’ Fatawa” (22/506)beliau (Syaikhul Islam) –rahimahullah- berkata :

وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: {سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ} . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ.

“Menghitung ucapan “subhanallah” (Maha Suci Allah) dengan jari-jari tangan hukumnya sunah sebagaimana dinyatakan oleh Nabi ﷺ kepada para wanita : “Bertasbilah kalian dan hitunglah dengan jari-jemari kalian. Karena sesungguhnya ia (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan diminta bicara nanti di hari Kiamat.” Adapun menghitung (dzikir) dengan biji kurma, batu kecil/kerikil, atau yang semisalnya MERUPAKAN PERBUATAN YANG BAGUS. Dari kalangan sahabat – semoga Allah meridhai mereka - telah ada yang mengamalkan hal itu. Nabi sendiri pernah melihat ummul mu’minin bertasbih dengan menggunakan batu kecil/kerikil dan beliau menyetujuinya atas perbuatan tersebut. Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah bahwa beliau juga bertasbih dengannya.”

Menurut anda, layakkah pendapat Ibnu Taimiyyah di atas untuk diikuti ? Apakah Ibnu Taimiyyah mendasarkan fatwanya di atas kepada ilmu/dalil ? Jika anda memilih mengikuti pendapat beliau serta mengakui bahwa beliau berfatwa dengan ilmu (baca : dalil), maka selesai masalahnya. Namun Jika anda memilih untuk tidak mengikuti pendapat beliau, atau menuduh beliau berfatwa tanpa ilmu/dalil, itu artinya anda telah membuat sebuah kesimpulan bahwa : "Tidak semua pendapat beliau benar dan layak untuk diikuti”.

Jika demikian, seharusnya hal ini juga berlaku pada orang lain dan dalam masalah yang lain. Artinya, jika ada orang lain tidak mengikuti beliau dalam masalah tertentu, maka dia seperti anda. Layak untuk dihormati dan dimengerti sebagaimana anda juga ingin diperlakukan seperti itu. Karena – sesuai kesimpulan anda sendiri-, bahwa pendapat Ibnu Taimiyyah tidak mutlak benar dan tidak mutlak harus diikuti. Kadang benar dan kadang salah sebagaimana para ulama yang lain. Karena kebenaran mutlak yang wajib diikuti hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.

Berbeda dalam masalah furu’iyyah (cabang agama) baik dalam hal aqidah atau ibadah merupakan perkara yang biasa. Jangan sampai saling menyesatkan, saling mengeluarkan dari lingkup ahlus sunnah, apalagi sampai taraf permusuhan dan pertikaian.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan meninggikan derajatnya di Surga-Nya. Amin Ya Rabbal ‘alamin....

Salam persahabatan....

_@Abdullah Al-Jirani

*****

Abdullah Al Jirani
18 Oktober pukul 08.26 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.