Sebenarnya ketika kita orang awam yang bukan mujtahid belajar ilmu Ushul Fiqih, sama sekali tidak dimaksudkan untuk bisa nantinya melakukan ijtihad sebagaimana yang dilakukan oleh para fuqaha dan mujtahid. Sama sekali tidak.
Kita belajar ilmu Ushul Fiqih sebenarnya dalam rangka mengapresiasi dan mengagumi bagaimana canggihnya kerja para ulama dalam melakukan istimbath hukum fiqhiyah dari sumber-sumbernya. Sebatas itu saja.
Kalau kita yang melakukan istimbath sendiri, jelas tidak mampu dan juga tidak boleh. Sebab kita bukan siapa-siapa, bukan mujtahid dan satu pun syarat dasar sebagai mujtahid tidak kita miliki.
Saya suka mengibaratkan kita sebagai anak-anak SD melakukan studi tour ke pabrik mobil modern. Ada sesi dimana kita diajak masuk ke dalam pabrik dan menyaksikan bagaimana lengan-lengan robot secara otomatis mencetak plat menjadi body mobil, lalu menonton bagaimana teknik melebur logam dengan suhu ribuan derajat, mengecor dan mencetaknya menjadi blok mesin, sasis, gardan, dan seterusnya.
Lalu kita diajak menyaksikan bagaimana ribuan komponen dirangkai (assembly) secara presisi menjadi mobil yang siap dikendarai.
Keluar pabrik dan pulang dari study tour, apakah anak-anak SD itu langsung pada bisa bikin mobil sendiri? Tentu saja tidak bisa. Masak study tour mencetak insinyur? Gak mungkin lah.
Nah ketika kita belajar ilmu Ushul Fiqih, kita lagi ikut paket study tour ke pabrik mobil. Cuma itu aja sih.
Tetapi setidaknya, di dalam kepala anak-anak SD itu sudah tertanam beberapa hal penting :
1. Mereka jadi punya penghargaan khusus kepada pabrikan mobil, tidak menyepelekan dan seenaknya saja ngomong sembarangan.
2. Mereka sudah tidak lagi menyangka bahwa mobil itu bisa dibikin hanya pakai tepung terigu, telor, miyak dan meses. Kalau itu sih bukan mobil tapi bikin donat.
3. Kalau mau bisa bikin mobil, sekolah yang rajin dan jangan putus sekolah. Siapa tahu nanti kalau sudah besar, bisa jadi insinyur kerja di pabrikan mobil sebagai desainer mobil terbaru dan tercanggih.
4. Mereka juga tahu apa bedanya mobil betulan keluaran pabrik dengan mobil-mobilan. Sehingga tidak ngaku-ngaku jadi ulama, eh jadi pabrikan mobil, padahal yang dibikinnya cuma mobil-mobilan dari kulit Jeruk Bali.
So, pintu ijtihad memang tidak pernah tertutup. Masalahnya, apakah kita bisa masuk dan diperkenankan?
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
4 Februari pukul 02.44 ·
#Ahmad Sarwat