IKHLAS ITU (JUGA) PAMRIH
Tak ada seorang pun di bawah kolong langit yang melakukan kebaikan dengan tanpa pamrih. Tidak Anda, tidak para orang tua kepada anaknya, tidak sufi sekelas Rabiah ‘Adawiyah, atau apalagi hanya sekumpulan manusia yang merasa sangat terhormat akibat sematan gelar pahlawan tanpa tanda jasa seperti saya (yang bahkan demi kenaikan honorarium mesti berdemonstrasi dulu).
Itulah yang membedakan antara kebaikan (ihsan) yang dilakukan manusia (makhluq) dan yang dianugerahkan oleh Allah (Khaliq). Menurut Imam Al-Razi, hanya Allah saja, dalam kapasitas sebagai Pemelihara semesta (Rabb), yang sama sekali tidak memiliki pamrih. Sementara perbuatan baik kita, dalam kapasitas sebagai Murabbi, umpamanya, selalu demi keuntungan diri sendiri. Semua itu kalau bukan agar memperoleh balasan (tsawab) maka untuk mendapat pujian (tsana’).
Benarkah demikian?
Bukankah Allah sendiri pernah bilang, dalam QS. Ad-Dzariyat ayat 56, “Wa maa kholaqtul jinna wal insa illa li ya’budun”? Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku? Bukankah ini membuktikan adanya tendensi dan atau pamrih Allah dalam menciptakan makhluk? Bahwa Dia menginginkan Diri-Nya disembah?
Tidak. Kita tentu ingat pada sebuah hadits (qudsy) yang diriwayatkan Imam Muslim. Allah berfirman:
“Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku.”
Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa. Dia tak membutuhkan siapapun, termasuk pada penyembahan dan atau ibadah kita, dan sebaliknya segala sesuatu bergantung kepada-Nya.
Artinya, ayat tentang “manusia dan jin tidak diciptakan kecuali untuk menyembah Allah” tidak sekaligus berarti bahwa Allah memerlukan disembah. Sebaliknya, melalui ayat tersebut, Allah sebetulnya menjelaskan tujuan penciptaan manusia dan jin; semacam orientasi yang mesti selalu dicamkan oleh manusia dan jin demi kepentingan mereka sendiri. Alih-alih menyatakan bahwa Allah butuh disembah, Allah sebenarnya justru memberi tahu bahwa untuk meraih kebahagiaan yang paripurna, manusia dan jin haruslah menyembah Allah dengan sempurna.
Ini bersesuaian dengan sebuah riwayat dari Wahb bin Munabbah yang dikutip Imam Al-Qurthubi. Allah berfirman:
“Wahai anak Adam. Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak menciptakanmu untuk mengambil untung darimu. Tetapi Aku menciptakanmu agar kau dapat mengambil untung dari-Ku.”
Alhasil, Allah mustahil punya pamrih, sebab hal itu memberi makna bahwa Dia butuh pada yang lain. Di sisi berbeda, kitalah (manusia) yang tidak mungkin tidak berpamrih, sebab justru ini menunjukkan esensi kita sebagai makhluk yang lemah, yang senantiasa butuh pada yang lain, apalagi kepada Tuhan. Untuk sekedar dapat hidup saja kita perlu makan; untuk makan kita butuh bahan-bahan yang mesti dibeli; agar mampu membeli kita mesti bekerja; dan sebagainya dan seterusnya.
Dalam kerangka besar kebutuhan pada yang lain itulah terletak pamrih manusia. Untuk apa orang bekerja? Untuk menghidupi diri, menafkahi anak istri, dan sebagainya. Untuk apa orang beribadah? Bisa jadi jawabannya sama; untuk menghidupi diri, menafkahi anak istri, dan seterusnya.
Lha kok bisa?
Bisa saja. Ambil misal, ibadah mencari ilmu. Hari-hari ini, berapa orang yang berkuliah tidak untuk mendapat ijazah? Hari-hari ini, berapa orang yang tidak khawatir anaknya kelak tidak memperoleh pekerjaan lantaran status sekolahnya hanya berakreditasi C? Hari-hari ini, siapa orang yang tidak memasukkan anaknya ke pesantren supaya anaknya bisa jadi ustadz atau dapat gelar Hafizh-Hafizhah?
Barangkali masih banyak. Dan semoga Anda termasuk di antaranya; orang-orang yang betul-betul menghayati ikrar dalam doa iftitah yang dibaca hampir tiap kali shalat; inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil 'alamin (sesungguhnya shalat-ku, ibadah-ku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah).
Berikutnya, kita tinggal bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah benar-benar tulus mengucapkan itu?
Kalau mau jujur, rasa-rasanya yang seperti itu tidak mungkin. Kenapa? Sebab, lagi-lagi mengutip Imam Al-Razi, tak ada makhluk yang tidak berpamrih. Orang beribadah dengan alasan semata karena Allah sekalipun (ikhlas), pasti memiliki pamrih. Paling tidak pamrih berupa harapan memperoleh Ridha-Nya.
Lihatlah orang-orang macam Rabiah 'Adawiyah, yang tak ingin surga dan tak takut neraka itu. Tanyakan kepada mereka, bagaimana apabila sikap mereka tersebut tidak mendapat respon sama sekali dari Allah? Bagaimana jika cinta mereka kepada Allah bertepuk sebelah tangan? Bagaimana jika mereka benar-benar dimasukkan ke dalam neraka, dan dijauhkan dari surga, ditambah tidak memperoleh ridha dari-Nya? Mereka pasti bakal ngeri membayangkan hal itu.
Pamrih, dan pamrih ada dua. Pamrih duniawi serta pamrih ukhrawi.
Suatu kali, Nabi Saw mengunjungi salah seorang sahabat yang didera sakit. Beliau bertanya, “Saat-saat seperti ini, apa yang kau harapkan dari Allah?”
“Aku berharap Allah menumpahkan seluruh rasa sakit di dunia saja, tidak di akhirat,” jawabnya.
“Jangan begitu,” sergah Nabi. “Mohonlah kebaikan untuk dunia dan akhiratmu. Sebab kalau betul Allah menimpakan seluruh rasa sakit untukmu di dunia ini, kau bakal tak sanggup menghadapinya.” Nabi lantas berdoa untuk sang sahabat, dan tak lama kemudian ia sembuh.
Dari sini kemudian lahir doa sapu jagad, yang berbunyi Rabbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaban nar. Dan permohonan macam inilah sebetulnya yang membedakan antara kaum muslimin dan kaum musyrik arab.
Kaum musyrik bukanlah kawanan atheis yang enggan berdoa kepada Tuhan. Mereka hanya sekelompok orang yang meragukan kebangkitan dan atau kehidupan sesudah mati. Maka mereka memohon, “Ya Allah, karuniakanlah onta, kambing, dan banyak budak. Anugerahilah kami hujan lebat, dan berilah musuh kami kemarau panjang!” Dus, apa yang mereka pinta selalu berorientasi duniawi, tak pernah sama sekali menyinggung soal ampunan dan atau kebahagiaan di akhirat.
Itulah sebabnya kemudian turun ayat seperti dalam QS. Ali Imran ayat 77, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat.”
Atau dalam QS. As-Syura ayat 20, yang artinya:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”
Dari sini kita tahu, orang yang hanya memiliki pamrih duniawi belaka, tak akan dapat bagian di akhirat.
Apakah hal ini hanya berlaku bagi kaum musyrik arab saja? Menurut sebagian pendapat, tidak! Orang mukmin pun, yang orientasinya hanya duniawi, kelak juga tidak memperoleh bagiannya di akhirat. Paling tidak, seperti disebut Imam Al-Razi, kaum mukmin jenis ini tidak mendapat bagian di akhirat, kecuali memenuhi tiga hal: (1) ia bertaubat; (2) ia diampuni oleh Allah; atau (3) ia hanya tidak mendapat bagian yang sama dengan orang-orang yang berpamrih akhirat. Yang lain dapat mobil, dia cuma dapat mobil-mobilan, mungkin...
Apakah itu berarti kita hanya harus memiliki pamrih akhirat saja?
Tidak seperti itu juga. Maka baca kembali hadits Riwayat Imam Qaffal tentang kunjungan Nabi pada sahabat yang telah dikutip sebelumnya. Di situ disebutkan bahwa Nabi melarang sahabatnya dari hanya mementingkan perkara ukhrawi. Kenapa? Sebab yang duniawi juga penting. Dan yang duniawi ini kelak juga dapat digunakan sebagai kendaraan bagi kepentingan akhirat.
“Bayangkanlah,” kata Imam Al-Razi. “Saat Allah mengirim ujian sakit, kebanyakan manusia akan kehilangan konsentrasi. Saat seseorang mulai disibukkan dengan rasa perih yang menghujam tubuhnya, ia kehilangan momentum untuk melakukan taat dan atau mengingat Tuhan.” Karenanya, bagi Imam Al-Razi, permohonan yang spesifik hanya untuk kepentingan akhirat saja, bukan sekaligus yang duniawi, sebetulnya tidak diperkenankan.
Demikianlah, kepentingan duniawi yang tidak tersalurkan kadang dapat menghambat keberhasilan pamrih akhirat. Apabila istri Anda bakal cemberut menahun akibat tidak menerima uang belanja, dan Anda dibikin kerepotan untuk tidak memikirkan itu, sehingga ujung-ujungnya Anda jadi tak sempat berdzikir sama sekali, maka yang Anda perlukan bukan ‘Uzlah (menyepi dari kehidupan duniawi). Anda harusnya bekerja!!!
Wallahu a’lam bis shawab.
Rumah Cahaya,
Lukman Hakim Husnan
Lukman Hakim Husnan bersama Bem Stiq Al-Lathifiyyah dan 3 lainnya.
20 Agustus pukul 10.11 ·
#Lukman Hakim Husnan