Ikhtiyath Kalimat Tauhid

Ikhtiyath Kalimat Tauhid - Kajian Medina
✒️ Gus Zia Ul-Haq

🔰 Ikhtiyath kalimat Tauhid.

Mengapa kita jarang sekali temukan lambang-lambang bertuliskan kalimat Tauhid di acara-acara lingkungan pesantren ?

Lihat saja saat ada pagelaran imtihan, haflah, haul, pawai ta'aruf, istighotsah, maulid akbar, atau sejenisnya. Jarang sekali kita lihat kalimat tauhid tercetak di bendera, spanduk, kaos, peci, koko, sorban, kaca mobil apalagi ikat kepala.

Mengapa ?
Bukankah kalimat tauhid itu luhur?
Apakah kalangan pesantren kurang ghirah keislamannya ?
Apakah mereka tidak bangga dengan ketauhidannya ?
Atau jangan-jangan mereka tidak suka kalimat tauhid ?

Sebelum Anda menerka yang tidak-tidak, ada satu hal yang musti dipahami.

Justru para Kiai dan Santri itu jauh lebih akrab dengan kalimat Tauhid daripada anda yang setiap hari pakai ikat kepala / topi bertuliskan kalimat Tauhid.

Selain dikumandangan 5 kali sehari saat Adzan, kalimat Tauhid juga diwiridkan dan diendapkan di alam bawah sadar mereka secara berjama'ah tiap usai shalat.

Afdhaludz-dzikri fa'lam annahu;
Laa ilaaha illallaah.
Diwiridkan serempak oleh Imam dan makmum, ada yang 40x, 70x atau 100x, kemudian diakhiri dengan; 'Muhammadur-rasuulullaah'. Dikerjakan minimal 5 kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil tambahan.

Kalau demikian, mengapa jarang sekali terlihat simbol-simbol kalimat Tauhid di gelaran-gelaran mereka ?

Saya tidak berminat membahas pergerakan simbol kalimat Tauhid yang lagi ramai belakangan. Tidak pula hendak membahas penggunaan bendera Tauhid sejak masa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, para sahabat, hingga peran politisnya di masa kini. Ini hanya tulisan ringan yang sekedar menguak satu 'tradisi' kaum pesantren berkaitan dengan pelabelan kalimat Tauhid. Yaitu tradisi ikhtiyath; kehati-hatian fikih.

Ikhtiyath bisa kita sebut sebagai tradisi moral kalangan santri dalam berfikih. Ikhtiyath inilah yang membuat mereka membuat kobokan kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk masjid, santriwati memilih pakai Mukenah terusan daripada Mukenah potongan, pelafalan niat shalat sebelum Takbirotul Ihrom ketika shalat, melafalkan niat puasa setelah Taraweh, memakai sandal khusus dari toilet ke tempat shalat dan lainnya.

Apalagi dalam kaitannya dengan kalimat Tauhid.

Ada kehati-hatian fikih bagi kalangan santri agar tidak sembrono meletakkan kalimat suci (Tauhid) tersebut di sembarang tempat.

Bagi Santri, kalimat Tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, terinjak atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis, seperti kamar mandi / toilet, tempat sampah atau selokan.

Jika ia dicetak di sandangan semisal kaos, baju, topi, cincin atau bandana, dikuatirkan bisa bercampur Najis ketika dicuci.

Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu.

Jika dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu syahriyah, baju almamater dan lainnya.

Apalagi jika dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebut, kalimat Tauhid bisa sangat rawan terabaikan.

Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya. Semisal panji peperangan yang tentu akan dijaga kibarannya hidup atau mati.

Sebagaimana kisah dramatis Sayyidina Ja'far at-Thayyar. Atau bendera kerajaan yang tentu akan dirawat dan dimuliakan, sebagaimana bisa kita lihat di kasunanan Cirebon.

Almarhum simbah Kiai Zainal Abidin termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara Tauhid. Beliau selalu tutup mata jika lewat Jalan Magelang yang di kiri kanannya penuh patung-patung 'makhluk bernyawa'.

Beliau selalu berpaling kalau ada tanda palang salib, juga tidak berkenan dengan atribut-atribut semacam akik atau yang identik dengan perjimatan. Ngregeti Iman, kata beliau. Kalimat Tauhid tidak lagi berkibar di spanduk atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.

Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Qur'an. Bahkan saya menyaksikan sendiri, dingklik (tatakan kayu) yang biasa digunakan untuk membaca Qur'an pun beliau muliakan. Pernah suatu kali hendak shalat jama'ah Isya di bulan Ramadhan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakangku. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke sampingku agar tidak kubelakangi.

Bahkan tulisan 'almunawwir' pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, kami membuat stiker kecil bertulis 'almunawwir community'. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor atau body sepeda motor.

Nah, menurut penuturan Kang Tahrir, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama 'almunawwir' kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, 'almunawwir' adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan Ulama' besar ahli Qur'an Nusantara, simbah Kiai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad -rahimahullah-.

Demikian hati-hatinya sikap beliau terhadap nama 'almunawwir'. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Qur'an, hadits Nabi dan kalimat Tauhid. Maka bagi teman-teman yang sedang hobi menunjukkan identitas keislaman dengan atribut berlabel kalimat Tauhid, mohon dijaga dengan baik agar benda-benda tersebut tidak tercampakkan.

Wallahu ta'ala a'lam bisshowabb.

___________°

🔰 Beberapa pendapat Ulama' mengenai kalimat Tauhid yang dijadikan pola pada pakaian dan sebagainya.

Dalam kitab Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarh al-Minhaj, Syihabuddin ar-Ramli (w. 1004 H) melarang bahkan mengharamkan membawa tulisan nama Allah ke dalam kamar mandi, bahkan jika nama Allah tersebut tertulis di mata uang sekalipun, apalagi pada kaos dan topi.

Kalimat tauhid adalah lafal yang dimuliakan dalam Islam. Persoalan menuliskan kalimat yang dimuliakan dalam Islam dalam benda-benda yang rawan diletakkan di tempat yang tidak terhormat telah dibahas para Ulama' sejak lama.

Pada umumnya, para Ulama' MELARANG demi menjaga kemuliaan kalimat tersebut.

Di antara yang melarang adalah Imam Al-Zaila’I Al-Hanafi -rahimahullah- (w. 742 H.),

وَيُكْرَهُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى مَا يُفْرَشُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَرْكِ التَّعْظِيمِ، وَكَذَا عَلَى الْمَحَارِيبِ وَالْجُدْرَانِ لِمَا يُخَافُ مِنْ سُقُوطِ الْكِتَابَةِ، وَكَذَا عَلَى الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ

Makruh menulis Al-Qur'an dan nama-nama Allah Taala di atas benda yang dijadikan alas karena terdapat tindakan yang tidak menghormatinya. Begitu pula menuliskannya di mihrab dan tembok karena dikhawatirkan tulisan tersebut akan terjatuh. Begitu pula menuliskannya di uang dinar dan dirham.
[ Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanz Al-Daqaqiq, jilid 1, hal. 58 ]

Imam Ibnu Al-Humam Al-Hanafi -rahimahullah- (w. 861 H.) mengatakan,

تكره كتابة القرآن وأسماء الله تعالى على الدراهم والمحاريب والجدران وما يفرش" انتهى.
Makruh menulis Al-Quran dan nama-nama Allah di atas uang dirham, mihrab, tembok dan kain yang dijadikan alas.

[ Fath Al-Qadir, jilid 1, hal. 169 ]

Imam Al-Dardiri Al-Maliki -rahimahullah- (w. 1230 H.) mengatakan,

وظاهره أن النقش مكروه ، ولو قرآنا [أي على القبور] ، وينبغي الحرمة؛ لأنه يؤدي إلى امتهانه . كذا ذكروا . ومثله : نقش القرآن وأسماء الله في الجدران" انتهى.

Secara zahir, mengukir tersebut hukumnya makruh, walaupun ayat Al-Quran, maksudnya mengukir di atas kuburan, dan pantas jika dihukumi haram. Hal itu karena dapat membuat Al-Quran direndahkan. Begitulah yang disebutkan para ulama. Dan hukumnya seperti mengukir di kuburan, adalah mengukir Al-Quran dan nama-nama Allah di tembok.

[ Al-Syarh Al-Kabir, jilid 1, hal. 425 ]

Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ulaisy Al-Maliki -rahimahullah- (w. 1299 H.) mengatakan,

وَيَنْبَغِي حُرْمَةُ نَقْشِ الْقُرْآنِ، وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى مُطْلَقًا لِتَأْدِيَتِهِ إلَى الِامْتِهَانِ، وَكَذَا نَقْشُهَا عَلَى الْحِيطَانِ
Pantas jika diharamkan menuliskan Al-Quran dan nama-nama Allah Taala, secara mutlak, karena dapat membuatnya direndahkan. Begitu pula menuliskannya di tembok.

[ Minah Al-Jalil, jilid 1, hal. 517 ]

Imam Al-Nawawi Al-Syafi’i -rahimahullah- (w. 676 H.) mengatakan,

ويكره كتابته على الحيطان، سواء المسجد وغيره، وعلى الثياب انتهى
Makruh menulis Al-Quran di tembok, baik tembok masjid maupun lainnya, dan makruh pula menulis Al-Quran di pakaian.

[ Raudhah Al-Thalibin, jilid 1, hal. 80 ]

Para Ulama' dari berbagai mazhab di atas cenderung menghukumi Makhruh, dan ada pula yang menghukumi Haram. Berbeda dengan Ulama' Salafi (Wahabi) yang cenderung melarang (mutlak Haram) menuliskan Al-Qur'an atau kalimat mulia di kaos.

Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajjid pernah ditanya tentang banyaknya kaos bertuliskan lafadz Allah di Inggris. Lalu bagaimana hukum memakai kaos tersebut yang seringkali dibawa ke kamar mandi ?
Dalam fatwa bertema hukum memakai kaos yang bertuliskan lafzul jalalah, ia menulis,

إن هذه القمصان لا يجوز شراؤها ولا لبسها ويجب الإنكار على من يلبسها ، لأن في هذا التصرف وهو كتابة لفظ الجلالة عليها استخفافاً بهذا اللفظ ، وهو يؤدي بلا شك إلى اهانته ، إما بإلقائه في أماكن يجب أن يصان عنها كالحمامات - وبالأخص إذا اتسخ وأريد غسله - أو غير ذلك من صور الاهانة ، ثم إن في البعد عن شراء هذه القمصان منك ومن المسلمين الآخرين تضييقاً لدائرة شراء هذه القمصان مما يضطر المنتجين - إذا كان هدفهم تجارياً - إلى البعد عن هذه الكتابة . والله أعلم

Kaos-kaos tersebut tidak boleh dibeli, tidak boleh dipakai. Wajib menegakkan nahi munkar kepada orang yang memakainya. Karena, perbuatan tersebut, yaitu menulis lafal Allah yang agung di kaos, termasuk perbuatan merendahkan kemuliaan lafal tersebut. Hal itu tanpa diragukan dapat membuat lafal tersebut dihinakan. Ada kalanya, ia akan ditaruh di tempat yang harusnya tulisan tersebut dijaga darinya seperti toilet. Khususnya, ketika kaos itu kotor dan hendak dicuci atau bentuk perendahan lainnya. Kemudian, menjauhkan diri anda dan umat Islam dari membeli kaos-kaos tersebut untuk mempersempit perputarannya adalah cara yang dapat menekan para produsen pembuat kaos, jika tujuan mereka hanya murni ekonomi, sehingga mereka juga akan menjauhkan diri dari menulis lafal mulia tersebut pada kaos.

Demikian adalah beberapa pendapat Ulama' tentang hukum membuat dan membeli kaos bertuliskan kalimat yang mulia (kalimah thayyibah).

Kebanyakan Ulama' menghukumi Makhruh. Sebagian lagi menghukumi Haram. Penilaian mereka semata-mata untuk menjaga kemuliaan kalimah yang dimuliakan dalam Islam.

Wallahu ta'ala a'lam bisshowabb.

Pendapat Ulama Tentang Kaos Tauhid - Kajian Medina

Feri Hendriawan
28 September pukul 08.04 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.