Pesantren Rumah Fiqih

Pesantren Rumah Fiqih - Kajian Medina
Pesantren Rumah Fiqih

Ustadz tidak mendirikan pesantren?

Begitu seorang teman bertanya kepada saya. Saya jawab bahwa pesantren sudah cukup banyak, maka kalau saya bikin pesantren, tidak terlalu banyak pengaruhnya. Ibarat menaburi laut dengan garam.

Tapi ternyata saya tetap mendirikan pesantren, meski pesantren yang rada unik dan beda dengan pesantren yang kebanyakannya.

Saya tidak mendirikan pesantren kelas anak SMP/SMA. Alasannya selain karena terlalu lama hasilnya, dan yang paling penting justr karena mereka belum tentu niat jadi ulama.

Buat saya, pesantren itu tidak diukur dari adanya kolam renang ukuran olympiade, atau kamar ber-AC, atau Wi-Fi nya kencang atau nggak. Juga bukan berapa macam eskul yang digelar, atau berapa banyak piala kejuaraan ini itu yang dipajang. Bukan semua itu.

Tapi diukur dari berapa banyak ulama ahli ilmu yang bisa dilahirkan serta sebanyak mana ilmu mereka disebarkan. Seberapa banyak kitab yang berhasil ditulis oleh santrinya, seberapa bnayak siaran video, tv dan radio yang bisa diakses umat untuk mengerti ilmu agama.

1. Hanya Yang Berminat Saja

Mengingat kebanyakan trend para orang tua / wali santri hari ini, ketika memasukkan anak mereka ke pesantren bukan lagi ingin menjadikan anaknya sebagai ulama, dalam arti ahli semua cabang ilmu syariah. Tetapi sekedar biar tidak tawuran, dapat hal-hal positif dan atmosfir yang islami. Tidak lebih dari sebatas itu saja.

Masih ditambah lagi bias-bias penggunaan istilah ulama yang mulai menjamur. Misalnya ada yang bilang ulama itu tidak harus menguasai ilmu syariah, jadi pebisnis pun bisa disebut ulama. Halah pokoknya macam-macam lah.

Padahal dalam pandangan saya, terserah setuju atau tidak tidak, biar bagaimana pun pesantren itu tempat paling ideal untuk mencetak ulama, dalam arti mereka yang jadi pakar dalam berbagai cabang ilmu keislaman.

Jadi daripada makan ati, sudah capek-capek bikin pesantren, tapi lulusannya malah kuliah di kampus umum, mending tidak usah bikin pesantren saja. Bukan berarti mereka salah, tapi bagi saya pesantren itu tempat mendidik para ulama, bukan sekedar komplek karantina anak dari pengaruh buruk pergaulan. zaman now

Makanya saya tidak berminat bikin pesantren sendiri, biar orang lain yang bikin pesantren, saya tunggu hasilnya saja.

2. Pilih Santri Dari Seleksi

Untuk santri saya memang setuju dengan pesantren, tapi masih harus diseleksi lagi. Para santri lulusan pesantren itu kan minatnya masih macam-macam, ada yang mau kuliah di umum, ada yang mau ngajar TPA, kawin, pulang kampung, jadi PNS, artis, atlet dan sebagainya.

Nah, saya seleksi, mereka yang sejak awal punya niat dan azam kuat untuk mendalami ilmu agama, dengan sendirinya terseleksi. Biasanya mereka akan meneruskan kuliah agama, masuk ke LIPIA atau AL-Azhar.

3. Fokus Kepada Yang Sudah Kuliah Syariah

Maka saya fokus ke mereka saja, yang sudah sejak awal jelas-jelas punya minat dan niat kesana. Yang tidak punya minat, meski dari pesantren, bisa baca kitab kuning, bisa ceramah, tidak saya fokuskan.

Yang kuliah di Azhar Mesir, agak susah membinanya, karena kendala jarak. Yang paling masuk akal adalah yang kuliah di LIPIA. Mereka inilah yang bisa saya jadikan 'mahasantri' di pesantren saya. Alasannya lain, karena saya pun juga lulusan LIPIA, maka lebih mudah bagi saya mengaksesnya.

4. Fokus Yang Berniat dan Berminat

Tapi mahasiswa LIPIA pun masih perlu diseleksi lagi, karena tidak semuanya punya minat dan niat untuk jadi ulama. Ada yang kuliah cuma sekedar dapat gelar Lc saja, bahkan ada yang hanya istifadah memanfaatkan belajar bahasa Arab. Tidak pernah kuliah yang serius ikuti manhaj dan kurikulumnya.

Maka saya khususkan mahasiswa LIPIA yang sudah duduk di fakultas Syariah saja. Itu pun yang minatnya kuat untuk menuntut ilmu agama, pinter, dan kemaruk dengan ilmu. ber-tafarrugh dengan menuntu ilmu, tidak disibukkan dengan rapat mahasiswa, kegiatan organisais, apalagi demo, ngajar TPA, atau sibuk ngeles anak SD.

Jadi hanya yang sudah terseleksi berkali-kali saja yang saya jadikan 'santrii' di Rumah Fiqih Indonesia. Jumlah tidak jadi masalah. Sebab ukurannya bukan jumlah, tetapi kafaah alias kapasitas, Saya mau jadikan mereka ulama, ahli ilmu, siap jadi peneriwa warisan dari Rasulullah SAW.

Programnya bagaimana menjadikan mereka ahli di bidang berbagai ilmu keislaman, pandai ceramah, rajin menulis, sukses studi sampai doktor, banyak berkiprah dalam menyebarkan ilmu agama.

Ahmad Sarwat
16 September (5 jam ·)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.