Kitab Rujukan

Kitab Rujukan - Kajian Medina
Kitab Rujukan

oleh : Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Salah satu keunikan Ilmu Fiqih secara khusus dan ilmu-ilmu syariah secara umum adalah ketersediaan kitab rujukan yang melimpah-ruah. Setiap mahzab fiqih bahkan memiliki berjilid-jilid kitab yang menjadi sumber utama dalam rujukan serta menjadi simbol dari mazhab itu.

Coba saja install maktabah syamilah, kita akan menemukan beitu banyak kitab di dalamnya. Semua adalah warisan emas para ulama kita di masa lalu.

Saya mencoba mendata kitab-kitab itu berdasarkan masing-masing mazhab, lalu diurutkan berdasarkan pengarang dan tahun hidupnya. Sehingga susunan kitab-kitab itu dari atas ke bawah sejalan dengan waktu.

Dan penyusunan seperti ini menarik, mengingat antara satu kitab dengan kitab lainnya seringkali ada hubungan benang merah yang kuat.

1. Syarah dan Hawasy

Hubungan itu biasanya terkait dengan penjelasan, dimana sebuah kitab yang dijadikan rujukan oleh suatu mazhab lantas diberi penjelasan yang cukup banyak, sehingga menjadi sebuah kitab baru.

Ada syarah yang mana setiap kata dalam kitab aslinya akan diberi penjelasan. Dan ada Hawasy, dimana penjelasannya tidak per kata, sehingga ada sebagian yang dijelaskan dan ada yang tidak dijelaskan.

Baik syarah atau Hawasy akan melahirkan nama kitab baru, yang asalnya hanya satu jilid, setelah diberi syarah atau hawasy menjadi berjilid-jilid. Bahkan satu kitab kadang diberi syarah dan hawasy oleh beberapa orang, sehingga melahirkan kitab penjelasan dalam beberapa versi.

Untuk contoh satu kitab disyarah oleh banyak kitab lain, sebutlah misalnya kitab legendaris : Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Abu Syuja' Al-Ashfahani (w. 593 H)

Kitab itu cuma kitab yang tipis, tapi kemudian dibuatkan syarahnya oleh beberapa ulama berikutnya. Di antaranya :

a. Ibu Daqiq Al-'Id (w. 702 H) dengan judul Tuhfatul Labib fi Syarhi At-Taqrib.

b. Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni (w. 829 H) dengan judul Kifayatul Akhyar.

c. Muhammad bin Qasim Al-Ghazi (w. 918 H) dengan judul Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Al-Fazhi At-Taqrib. Kitab ini kemudian ada hawasy seperti karya Al-Baijuri, Al-Qalyubi, Al-Barmawi dan Al-Azizi.

d. Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) dengan judul Al-Iqna' fi Hilli Alfazhi Abi Syuja'. Kitab ini kemudian juga ada hawasy seperti karya A-Bujairimi, Al-Ajhuri dan An-Nabrawi.

e. Dr. Mushthafa Dib Al-Bugha di zaman modern juga menulis kitab yang melengkapinya dengan dalil-dalil. Judulnya At-Tadzhib min Adillati Al-Ghayah wa At-Taqrib.

2. Mukhtashar

Dan proses kebalikannya juga kerap terjadi, dimana satu kitab yang tebal kemudian dibuatkan ringkasannya (mukhtashar), sehingga muncul kitab baru yang lebih ringan dan lebih tipis.

Lucunya, kadang hasil ringkasan itu kemudian oleh orang lain yang hidup berikutnya, justru dibuatkan lagi syarah (penjelasan).

3. Makhthuthath

Pada masanya disepanjang tahun-tahun hijiriyah, kitab-kitab itu hanya ditulis dengan tangan, baik oleh penyusunnya atau pun oleh murid-muridnya. Dan kadang juga disalin ulang oleh para warraq.

Maklumlah di masa itu belum ada komputer yang bisa mendesain layout dan setting yang seperti kita di zaman modern. Dan juga belum ada alat cetak masal.

Yang menarik dari semua itu, kitab-kitab itu umumnya masih terawat rapi di berbagai perpustakaan Islam. Ada juga yang jadi koleksi museum di negara barat. Hal itu karena negeri Islam dahulu pernah dijajah oleh Barat. Wujudnya masih ada yang berbentuk makhtuthath atau sering disebut dengan manuskrip.

Manuskrip-manuskrip inilah yang kemudian sering dijadikan objek penelitian oleh para mahasiswa, dosen dan para peneliti profesional. Upaya ini sering disebut dengan istilah tahqiq.

Hasil tahqiq ini kemudian diujikan dalam ujian tesis atau disertasi di berbagai kampus Islam. Dan kalau bagus, biasanya diterbitkan oleh para penerbit dan dijual di berbagai toko kitab.

4. Toko Kitab

Yang biasanya ada di tangan kita umumnya adalah kitab-kitab yang sudah selesai ditahqiq, lalu diterbitkan dan dijual di berbagai toko kitab.

Keunggulannya, kitab-kitab ini sudah ditahqiq dan diberi penjelasan disana-sini, termasuk juga sudah ditakhrij hadits-haditsnya, dibuatkan daftar isi yang memudahkan, juga sudah diteliti teksnya yang mungkin hilang atau berbeda dalam beberapa koleksi. Semua itu tentu sangat membantu dan memudahkan kita yang belajar di masa seakarang.

Kertas dan covernya pun biasanya sudah jauh lebih baik dari pada naskah asli yang masih manuskrip.

Kitab dan Muslim Negeriku

Memang di negeri kita ini, kitab-kitab itu tidak terlalu banyak tersedia. Mungkin salah satu sebabnya karena tidak ada yang beli. Jadi tokok kitab memang tidak menjualnya.

Bukan apa-apa, sebab muslim di negeri kita ini paling besar jumlahnya dibandingkan dengan negara manapun, tapi rata-rata memang buta huruf, maksudnya tidak bisa bahasa Arab. Rata-rata hanya mengandalkan buku-buku terjemahan. Jadi buat apa beli kitab kalau tidak paham membacanya.

Malah masih banyak ustadz-ustadz dan para penceramah yang tiap hari naik turun panggung, keluar masuk TV, ceramah dan berorasi, namun ternyata juga tidak bisa berbahasa Arab.

Lagian, kitab-kitab berbahasa Arab ini rata-rata merupakan kitab literatur, bukan macam komik atau novel populer yang siapa saja bisa menikmatinya. Tidak mentang-mentang pernah belajar bahasa Arab, lantas bisa memahaminya.

Ibaratnya, kitab-kitab ini adalah manual book ilmu kedokteran dalam bahasa Inggris. Tidak mentang-mentang Anda pintar bahasa Inggris lantas paham isinya. Anda kudu jadi mahasiswa fakultas kedokteran dulu untuk merasa butuh buku itu.

Demikian juga kitab-kitab berbahasa Arab. Bukanlah novel romance kisah mahasiswa merantau ke Mesir lalu jatuh cinta, kawin dan rebutan calon bini.

Ahmad Sarwat
7 Juli pukul 11.55 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.