Hikmah Dalam Bermadzhab dan Mengamalkannya

Hikmah Dalam Bermadzhab dan Mengamalkannya - Kajian Medina
HIKMAH DALAM BERMADZHAB DAN MENGAMALKANNYA

Beberapa hari kemarin, kami mendapat kiriman kalimat yang merupakan curhatan seorang. Karena kisahnya sering terjadi dan dialami oleh kawan-kawan, ada baiknya akan kami beri tanggapan seperlunya agar lebih berfaidah. Curhatan tersebut berbunyi demikian :“Gara-gara imam tidak baca basmalah dengan jahr (keras), sebagian makmum ada yang mengulang salatnya, ada juga yang marah-marah sampai imam tersebut tidak dijadikan imam lagi di mushala kampungnya....ini sebuah kisah nyata yang disampaikan temanku.” (dinukil secara makna)
--------------------
Tanggapan :

Dari kisah di atas bisa disimpulkan, bahwa mengeraskan basmalah dalam salat jahriyyah (salat yang dikeraskan bacaan imamnya seperti salat Maghrib, Isya’ dan Subuh)telah menjadi amalan masyarakat tersebut yang mungkin sudah berlangsung lama, bahkan bisa jadi telah turun temurun puluhan atau ratusan tahun. Amalan ini tidak salah. Karena amalan ini, merupakan amalan yang didasarkan kepada pendapat madzhab Syafi’i yang merupakan madzhab terbesar yang dianut oleh masyarakat di Indonesia. Hampir tidak ada daerah, kecuali memang demikian amalan penduduknya. Dari ujung Indonesia barat sampai ujung Indonesia timur, dari desa sampai kota. Daerah kami sendiri, juga demikian amalannya. Sejak kecil, yang namanya basmalah ya dikeraskan. Fakta ini merupakan perkara yang tidak dipungkiri oleh siapapun.

Dalam madzhab Syafi’i, basmalah termasuk dari bagian surat Al-Fatihah. Artinya, seorang yang dalam salat tidak membaca basmalah, maka salatnya tidak sah. Karena membaca surat Al-Fatihah termasuk salah satu rukun salat. Nabi ﷺ bersabda : “Tidak ada salat bagi seorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah.” (Al-Hadis).

Kalau tiba-tiba ada imam yang “tidak mengeraskan basmalah”, maka masyarakat tahunya imam “tidak baca basmalah”. Walaupun hakikatnya imam membaca basmalah, hanya saja tidak dikeraskan. Rumus mereka itu sederhana, “tidak terdengar” = “tidak baca”, dan sebaliknya “Terdengar”= “Membaca”. Kalau memang membaca basmalah, seharusnya juga terdengar sebagaimana terdengarnya “Alhamdulillah rabbil ‘alamin...”dst. Ya bagaimana lagi, namanya juga masyarakat awam. Sehingga wajar jika mereka mengulangi salatnya karena menyakini hal itu tidak sah. Wajar jika mereka tidak mau bermakmum dengan imam yang seperti ini. Dan wajar pula jika akhirnya mereka tidak lagi memakai imam yang seperti ini.

Ini pentingnya kita mengerti tentang fiqh dakwah. Sebelum kita masuk di suatu masyarakat, kita perlu mempelajari latar belakang masyarakat tersebut. Jika masyarakat di tempat tersebut sudah terlanjur sejak dulu berpegang dengan madzhab Syafi’i, tidak seyogyanya seorang masuk di situ untuk mengajarkan atau mengamalkan fiqh madzhab lain. Karena yang seperti ini, biasanya bahkan kemungkinan besar, akan berpotensi terjadinya fitnah di tengah-tengah masyarakat tersebut. Jika anda ternyata berpendapat basmalah itu disirrkan (dilirihkan) mengikuti madzhab Hambali, sebaiknya anda harus mengalah dengan mengeraskan basmalah ketika diminta jadi imam dalam rangka untuk menolak kerusakan atau mudharat yang ada. Kaidahnya sangat jelas :

دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ

“Menolak kerusakan itu lebih diutamakan dari mengambil manfaat.”

Bagi yang berpendapat dilirihkan, melirihkan basmalah merupakan kemaslahatan. Akan tetapi jika hal itu dilakukan akan menimbulkan fitnah, maka mencegah terjadinya fitnah lebih diutamakan dari keinginan untuk menggapai kemaslahatan. Karena fitnah, merupakan salah satu bentuk kerusakan. Kita tidak bisa hanya bermodal semangat bahwa “pendapat yang saya yang benar” dan bersikeras untuk memaksakannya di suatu tempat yang tidak berpendapat demikian. Ini bukan hikmah.

Para ulama’ Hambali yang berpendapat basmalah dilirihkan saja, mereka mengeraskannya saat berada di suatu masyarakat yang sudah terbiasa mengeraskannya dalam rangka untuk mencegah terjadinya fitnah di tempat tersebut. Dulu, pernah ada imam masjid Haram, Mekah, yang datang ke Indonesia. Saat diminta untuk jadi imam di masjid Istiqlal – Jakarta, beliau mengeraskan basmalahnya. Padahal beliau berpendapat dilirihkan. Demikian juga para ulama’ Yaman. Tapi kenapa hikmah-hikmah seperti ini luput dari sebagian orang yang ada di negeri ini ?

Oleh karena itu, sangatlah tepat nasihat para ulama’ Salaf dan khalaf agar seorang mempelajari dan mengamalkan fiqh sesuai dengan fiqh madzhab yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri di mana dia tinggal. Sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi –rahimahullah- , sesungguhnya Muhammad bin Al-Qadhi Abu Ya’la –rahimahullah- berkata :

جاء رجل من ميَّافارقين إلى والدي ليتفقه عليه، فقال: أنت شافعيٌّ، وأهل بلدك شافعية، فكيف تشتغل بمذهب أحمد؟ قال: قد أحببته لأجلك. فقال: يا ولدي ما هو مصلحة. تبقى وحدك في بلدك ما لكَ من تذاكره، ولا تذكر له درسًا، وتقع بينكم خصومات، وأنت وحيد لا يطيب عَيْشُك.

“Ada seorang datang dari daerah Mayyafariqin* kepada bapakku (Al-Qadhi Abu Ya’la yang bermadzhab Hambali) untuk belajar kepada beliau. Bapakku berkata : “Kamu bermadzhab Syafi’i, dan penduduk negerimu bermadzhab Syafi’i. Lalu bagaimana kamu akan menyibukkan diri (belajar) madzhab Imam Ahmad (Hambali) ??”. Laki-laki itu menjawab : “Sungguh aku menyukaiinya (madzhab Hambali) karena anda.” Bapakku berkata : “Wahai anakku ! hal itu bukanlah suatu kemaslahatan. Kamu akan tinggal di negerimu sendirian. Kamu tidak akan bisa belajar dan mengajarkannya (madzhab Hambali). Akan terjadi pertikaian diantara kalian. Kamu seorang diri, hidupmu tidak akan baik.” [Tarikh Al-Islam : 10/383, cetakan Darul Al-Gharb Al-Islami th 2003].

Ulama’ salafy, Syaikh Salih Al-Fauzan –hafidzahullah- juga menasihatkan : “Apabila penduduk suatu negeri di atas madzhab yang shahih, yaitu salah satu madzhab dari madzhab Ahlus Sunnah, maka JANGANLAH DIA MEMISAHKAN diri darinya. Di atas madzhab yang shahih, dari madzhab Ahlus Sunnah, seperti Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Hanabillah, dan Malikiyyah. Madzhab-madzhab ini, Alhamdulillah madzhab sunniyyah dan (direkomendasikan) untuk dipelajari. Maka JANGANLAH SEORANG KELUAR dari (madzhab) mereka, JANGANLAH MEMISAHKAN diri dari mereka, dan JANGAN MEMBUAT KEKACAUAN kepada mereka. “

Dengan mempelajari dan mengamalkan madzhab yang dianut oleh mayoritas penduduk suatu negeri, akan lebih mudah merealisasikan hikmah, meminimalisir fitnah, dan dakwah akan lebih mudah diterima. Jika anda berpendapat dilirihkan, lalu anda diminta jadi imam di masyarakat yang berpendapat dikeraskan, hendaknya anda mengeraskannya dan salat anda tetap sah. Jika anda tidak mau mengeraskannya, lebih baik anda jadi makmum saja.

Yang lebih parah, seorang yang tiba-tiba masuk ke suatu daerah yang masyarakatnya telah mengamalkan pendapat madzhab Syafi’i, lalu dia langsung menjudge bahwa mengeraskan basmalah hukumnya bid’ah, dan setiap bid’ah dan pelakunya sesat dan masuk Neraka. Karena dia menyakini dirinya saja yang paling sesuai sunah dan mengikuti kebenaran. Adapun seluruh pendapat yang menyelisihi pendapatnya, berarti salah dan sesat. Yang seperti ini hanya akan merusak dakwah dan menimbulkan banyak fitnah di tengah-tengah masyarakat muslimin. Semangat saja tidak cukup bagi seorang untuk beramal, tapi dibutuhkan ilmu dan hikmah sebagai pondasinya.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita sekalian. Amin...

Disusun oleh : Abdullah Al Jirani
-------
* Kota Aramiyyah yang dulu dinamakan Maypharkath . Merupakan salah satu kota penting dari negeri Bakr Jazirah. Terletak di telaga paling atas di sungai Tigris, Irak, dekat dengan daerah Amida.

****
Foto : Memory masjid Quba

Abdullah Al Jirani
17 Juni pukul 07.54 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.