Oleh : Abdullah Al Jirani
Waktu pelaksanaan salat witir dimulai setelah salat Isya’ sampai sebelum munculnya fajar sadiq sebagai tanda masuknya salat Subuh. Apabila seorang memiliki penghalang untuk melaksanakan di waktunya, seperti karena ketiduran atau lupa, maka dibolehkan untuk mengqadha’nya (menggantinya) di luar waktunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ، أَوْ نَسِيَهُ، فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
“Barang siapa yang ketiduran dari (salat) witirnya atau lupa, maka hendaknya dia menunaikannya apabila ingat.” [ HR. Abu Dawud : 1431 dari Abu Sa’id Al-Khudri ].
Dalam lafadz At-Tirmidzi dari sahabat Zaid bin Aslam, beliau bersabda :
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ فَلْيُصَلِّ إِذَا أَصْبَحَ
“Barang siapa yang ketiduran dari (salat) witirnya, hendaknya dia menunaikan(nya) apabila masuk waktu salat Subuh.” [ HR. At-Tirmidzi : 466 ].
Salat Witir, sebagaimana salat-salat yang lain yang memiliki waktu yang sudah tertentu. Kaidahnya, setiap salat yang memiliki waktu-waktu khusus (sudah ditentukan), maka boleh diqadha’ di luar waktunya. Adapun salat yang pelaksanaannya karena adanya suatu sebab, seperti salat gerhana, salat istisqa’, salat Tahiyatul masjid, maka tidak disyari’atkan untuk diqadha’ saat sebabnya telah hilang.
Dalam kitab “Asna Al-Mathalib fi Syarhi Raudhah Ath-Thalib” (1/207) karya Imam Zakariya Al-Anshari –rahimahullah- (wafat : 926 H)disebutkan :
(فَرْعٌ يَقْضِي) نَدْبًا (مِنْ النَّوَافِلِ مَا لَهُ وَقْتٌ) مَخْصُوصٌ، وَإِنْ لَمْ يُشْرَعْ لَهُ جَمَاعَةٌ (كَالْعِيدِ، وَالضُّحَى وَرَوَاتِبِ الْفَرَائِضِ) طَالَ الزَّمَانُ، أَوْ قَصُرَ لِعُمُومِ خَبَرِ مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ، أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا؛ وَلِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «قَضَى بَعْدَ الشَّمْسِ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ وَبَعْدَ الْعَصْرِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ» رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ وَلِخَبَرِ أَبِي دَاوُد بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ «مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ أَوْ سُنَّتِهِ فَلْيُصَلِّهِ إذَا ذَكَرَهُ» ؛ وَلِأَنَّ ذَلِكَ مُؤَقَّتٌ كَالْفَرْضِ (لَا مَا يُفْعَلُ لِعَارِضٍ كَالْكُسُوفَيْنِ، وَالِاسْتِسْقَاءِ، وَالتَّحِيَّةِ) فَلَا يَقْضِي إذَا فَعَلَهُ لِعَارِضٍ، وَقَدْ زَالَ
“Cabang masalah : Dianjurkan untuk mengqadha’ berbagai salat nafilah/sunah yang memiliki waktu khusus (tertentu), walaupun tidak disyari’atkan untuk dilakukan secara berjama’ah seperti salat Ied, Dhuha, dan rawatib salat fardhu, walaupun waktunya telah berjalan lama atau pendek berdasarkan keumuman hadits “Barang siapa yang ketiduran dari salat atau lupa darinya hendaknya dia tunaikan di waktu ingat”. Dan juga karena “nabi –shallallahu ‘alaihii wa sallam- telah mengqadha’ dua rekaat salat (qabliyah) fajar/subuh setelah Matahari (terbit) dan mengqadha’ salat ba’diyah Dzuhur setelah masuk waktu Ashar”, keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya. Dan juga berdasarkan hadits di dalam Sunan Abu Dawud : “Barang siapa yang ketiduran dari witirnya atau (salat) sunahnya, hendaknya dia lakukan ketika ingat." Hal ini karena ia telah ditentukan waktunya sebagaimana salat fardhu, tidak seperti salat yang dilakukan karena ada sebab yang muncul seperti salat gerhana Matahari/Bulan, istisqa’ (minta hujan), dan tahiyatul masjid, maka tidak disyari’atkan untuk diqadha’ apabila dilakukan karena adanya sebab yang muncul, lalu sebab itu telah hilang.” - selesai penukilan -
Kesimpulannya, segala salat yang memiliki waktu khusus yang telah ditentukan, boleh diqadha’ di luar waktunya. Baik salat di sini salat wajib atau salat nafilah seperti witir, salat sunah rawatib, atau yang lainnya. Adapun salat yang punya sebab, seperti salat gerhana, tahiyatul masjid, dan yang sejenisnya, maka tidak disyari’atkan untuk diqadha’ saat sebabnya telah hilang. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.
Abdullah Al Jirani
24 April pukul 07.54 ·
#Abdullah Al Jirani