Masih saja para CeBi menyinyir, baik dari kalangan BongORI (Kâfir Harbî, SEPILIS, dan Zindiq) maupun ngustad-ngustad Pesbuk dari BongLAF (Muslim Harbî) yang berfatwa menyesatkan-nyesatkan Ummat Islâm yang Sholât Shubuh berjamâ‘ah di lapangan dan jalanan pada hari Ahad 7 April 2019 kemarin.
Mereka mempertanyakan sunnah siapa sholât di lapangan itu, karena menurutnya, sunnah-nya Nabî ﷺ sholât itu di dalam bangunan Masjid.
❔ Benarkah begitu, benarkah harus sholât di di dalam bangunan Masjid…?
Maka mari kita lihat apa kata Baginda Nabî ﷺ tentang apa itu Masjid?
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لأَحَدٍ قَبْلِي ، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً ، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
(arti) _“Aku diberikan 5 hal yang tidak diberikan kepada orang (nabî) yang sebelumku: ⑴ Aku ditolong melawan musuh-musuhku dengan ketakutan mereka sejauh sebulan perjalanan. ⑵ dijadikan Bumi untukku sebagai Masjid dan suci, maka di mana saja salah seorang dari ummatku mendapati waktu sholât hendaklah ia sholât. ⑶ dihalâlkan bagiku ghônimah (harta rampasan perang) yang tak pernah dihalâlkan bagi seseorang pun sebelumku, ⑷ aku diberikan syafâ‘at, dan ⑸ para nabî sebelumku diutus untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh ummat manusia.”_ [HR al-Bukhôrî no 335, 438; Muslim no 521; an-Nasâ-î no 432; Ahmad no 2606, 13745, 20337, 20352, 20463; ad-Dârimî no 1429, 2510].
Jadi…
⇛ Bumi ini seluruhnya adalah Masjid bagi ummatnya Rosûlullôh, Nabî Muhammad ﷺ.
Hal ini dipertegas lagi dalam riwayat yang lain.
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
(arti) _“Seluruh Bumi adalah Masjid kecuali kuburan dan wc.”_ [HR at-Tirmidzî no 317; Abû Dâwud no 492; Ibnu Mâjah no 745; ad-Dârimî no 1430; Ahmad no 11358, 11362, 11483].
Tentunya kita semua tahu bahwa Sholât Shubuh kemarin itu adalah situasi khusus, karena begitu sangat banyak yang datang dari luar DKI. Kebanyakan memang yang Sholât Shubuh di lapangan atau di jalanan kemarin adalah yang datang dari luar daerah, atau tinggalnya di daerah Bogor - Tangerang - Bekasi - Depok - Karawang, bahkan tak sedikit yang dari luar kota seperti Bandung, Cirebon, bahkan luar pulau seperti dari Sumatera Barat yang datang. Jadi mereka saat menemukan waktu sholât tiba…
⚠ Maka tiada alasan untuk menganggap bahwa lapangan jalanan dan lapangan di sekitar GBK bukanlah Masjid berdasarkan keumuman arti dari kedua hadîts mulia di atas…!
❔ Lalu bagaimana dengan laki-laki Muslim, bukankah laki-laki harus sholât berjamâ‘ah di Masjid?
Begini…
▫ Pertama, soal apa yang disebut sebagai Masjid, maka jelas bahwa Bumi itu keseluruhannya adalah Masjid kecuali kuburan dan wc sudah dijawab di atas.
▫ Kedua, jumhur (mayoritas) ‘ulamâ’ itu mengatakan bahwa sholât berjamâ‘ah di Masjid itu hukumnya adalah "sunnah" (dalam arti: dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak berdosa, namun kehilangan keutamaan).
⚠ Itu adalah pendapat mayoritas ‘ulamâ’ madzhab, termasuk juga dari Madzhab Hanbali. Sedangkan mayoritas kaum Muslimîn di Nusantara ini madzhabnya adalah Madzhab asy-Syâfi‘î, di mana di dalam fatwa-fatwa Madzhab asy-Syâfi‘î bahwa sholât berjamâ‘ah di Masjid bagi laki-laki itu dihukumi sebagai "sunnah".
▫ Ketiga, kalaupun mengambil pendapat para ‘ulamâ’ yang merojihkan wajibnya sholât berjamâ‘ah di Masjid -yang menjadi pendapatnya para ‘ulamâ’ di Sa‘ûdi, antara lain Syaikh ‘Abdul-‘Azîz ibn Bâz رحمه الله- akan tetapi meskipun begitu para ‘ulamâ’ tersebut tidak lantas menjadikannya sebagai syarat sah atau tidaknya sholât. Sholât tetap sah! [lihat: https://islamqa.info/ar/40113 ].
Bahkan di dalam Madzhab Hanbali, sholât berjamâ‘ah itu bisa pula dilakukan di selain dalam bangunan Masjid sebagaimana yang dikatakan oleh Imâm Ibnu Qudamah حمه الله [lihat: http://bit.ly/2jGt5jS ].
⇛ Jadi, yang wajib (atau setidaknya sunnah yang ditekankan) itu adalah sholât berjamâ‘ahnya, adapun dua orang sekalipun sudah dihukumi sebagai berjamâ‘ah [lihat: http://bit.ly/2jFPg9K ].
❔ Apakah shoff sholât laki-laki dan perempuan sejajar itu boleh?
Begini, awalnya panitia sudah memisahkan dan membagi antara shoff laki-laki dengan shoff perempuan. Namun karena ternyata yang hadir melebihi perkiraan, bahkan melebihi kapasitas, akhirnya Stadion GBK pun petjaaah! Jadi kondisinya adalah darurat. Sholât menjadi di mana-mana, ada yang di jalanan, ada yang di pelataran GBK, bahkan ada yang di tribun.
Maka bagaimana para ‘ulamâ’ menyikapi hal ini?
Perhatikan…
📍 Kata Imâm Yahyâ ibn Syarof an-Nawawî رحمه الله:
إذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَبِجَنْبِهِ امْرَأَةٌ لَمْ تَبْطُلْ طلاته وَلَا صَلَاتُهَا سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا هذا مذهبا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَكْثَرُونَ
(arti) _“Apabila seorang laki-laki sholât dalam kondisi di sampingnya ada seorang perempuan, sholât keduanya tidak batal, baik dia (laki-laki) tadi sebagai imâm ataupun sebagai ma’mûm. Ini merupakan pendapat madzhab kami (asy-Syâfi‘î) dan merupakan pendapat Imâm Mâlik serta kebanyakan para ‘ulamâ’.”_ [lihat: Majmû‘ Syarhul-Muhadzdzab III/252].
وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَوَاقِفَ الْمَذْكُورَةَ كُلَّهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فَإِنْ خَالَفُوهَا كُرِهَ وَصَحَّتْ الصَّلَاةُ لِمَا ذَكَرَهُ المصنف وكذا لو صلي الامام اعلا مِنْ الْمَأْمُومِ وَعَكْسَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَكَذَا إذَا تَقَدَّمَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى صُفُوفِ الرِّجَالِ بِحَيْثُ لَمْ تَتَقَدَّمْ عَلَى الْإِمَامِ أَوْ وَقَفَتْ بِجَنْبِ الْإِمَامِ أَوْ بِجَنْبِ مَأْمُومٍ صَحَّتْ صَلَاتُهَا وَصَلَاةُ الرِّجَالِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا
(arti) _“Kesimpulannya, sungguh posisi-poisisi shoff yang telah disebutkan semuanya bersifat anjuran. Jika mereka menyelisihinya, maka hal itu dimakruhkan, akan tetapi sholâtnya tetap sah sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh pengarang (Imâm asy-Syîrôdzî). Demikian juga kalau seorang imâm (posisinya) lebih tinggi dari ma’mûm atau sebaliknya tanpa ada hajat (,maka sholâtnya tetap sah tapi dimakruhkan). Demikian juga jika (posisi) seorang perempuan di depan shoff laki-laki, akan tetapi tidak di depan imâm, atau berdiri di samping imâm, atau di samping ma’mûm laki-laki, sholât perempuan dan laki-laki tersebut sah tanpa ada perbedaan pendapat di sisi kami.”_ [lihat: al-Majmû‘ Syarhul-Muhadzdzab IV/297].
📍 Kata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah رحمه الله:
وقوف المرأة خلف صف الرجال سنة مأمور بها ، ولو وقفت في صف الرجال لكان ذلك مكروهاً ، وهل تبطل صلاة من يحاذيها ؟ فيه قولان للعلماء في مذهب أحمد وغيره … أحدهما: تبطل ، كقول أبي حنيفة وهو اختيار أبي بكر وأبي حفص من أصحاب أحمد . والثاني : لا تبطل ، كقول مالك والشافعي ، وهو قول ابن حامد والقاضي وغيرهما
(arti) _“Posisi shoff perempuan di belakang laki-laki adalah aturan yang diperintahkan, sehingga ketika perempuan ini berdiri di shoff laki-laki (sejajar dengan laki-laki) maka statusnya adalah dibenci. Apakah sholât laki-laki yang berada di sampingnya itu menjadi batal? Ada dua pendapat dalam madzhab Hanbali dan madzhab yang lainnya … Pendapat pertama, sholât laki-laki yang ada di sampingnya batal, ini pendapat Abû Hanifah dan pendapat yang dipilih oleh Abû Bakr dan Abû Hafsh dari kalangan ‘ulamâ’ Hanbali. Pendapat kedua, sholâtnya tidak batal. Ini adalah pendapat Mâlik, asy-Syâfi‘î, pendapat yang dipilih Abû Hâmid, al-Qôdhî dan yang selainnya.”_ [lihat: al-Fatâwa al-Kubro II/325].
📍 Kata Syaikh ‘Abdul-‘Azîz ibn Bâz رحمه الله ketika ditanya tentang sholât di Masjidil Harôm yang tercampur shoff perempuan dengan laki-laki:
الصلاة صحيحة والحمد لله وهذا يقع كثيراً في المسجد الحرام والمسجد النبوي عند زحمة الناس وقت الحج ، يختلط الرجال بالنساء ، فالصلاة صحيحة ، ولكن يجب على النساء أن يتأخرن عن الرجال ، وليس لهن أن يتقدمن بين الرجال ، أو أمام الرجال لكن إذا وقع ذلك بسبب الزحام ، فالصلاة صحيحة ، ولا يضر ذلك ، والحمد لله
(arti) _“Sholâtnya sah, dan segala pujian bagi Allôh. Inilah yang terjadi di Masjidil-Harôm dan Masjidil-Nabawî ketika musim hajji. Laki-laki dan perempuan tercampur. Sholâtnya sah, namun perempuan lebih baik ada di belakang laki-laki, mereka tidak berdiri bersebelahan dengan laki-laki. Sholâtnya sah dan itu tidak ada kerusakan atas hal itu, dan segala pujian bagi Allôh.”_ [lihat: https://binbaz.org.sa/old/30184 ].
📍 Kata Syaikh Muhammad ibn Shôlih al-‘Utsaimîn رحمه الله:
كون النساء يقمن صفاً أمام الرجال فإن هذا بلا شك خلاف السنة ، لأن السنة أن يكون النساء متأخرات عن الرجال ، لكن الضرورة أحياناً تحكم على الإنسان بما لا يريد ، فإذا كان أمام المصلي صف من النساء ، أو طائفة من النساء فإن الصلاة خلفهن إذا أمن الإنسان على نفسه الفتنة جائزة، ولهذا من عبارات الفقهاء قولهم : صف تام من النساء لا يمنع اقتداء من خلفهن من الرجال : صف تام من النساء لا يمنع اقتداء من خلفهن من الرجال
(arti) _“Posisi perempuan yang berada di depan laki-laki semacam ini kita yakini bertentangan dengan Sunnah. Karena yang sesuai Sunnah, perempuan itu di belakang laki-laki. Namun dalam kondisi darurat memaksa seseorang untuk melakukan di luar keinginannya. Karena itu, jika di depan laki-laki ada shoff perempuan, atau beberapa perempuan, maka status sholât laki-laki yang berada di belakang mereka hukumnya boleh jika aman dari munculnya fitnah dalam dirinya. Di antara ungkapan ‘ulamâ’ fiqh dalam masalah ini: Shoff perempuan di depan laki-laki tidaklah menghalangi laki-laki di belakangnya untuk menjadi ma’mum (dalam sholât berjamâ‘ah).”_ [lihat: Majmu’ Fatâwa wa Rosa-il Ibnu al-‘Utsaimîn, vol XV].
Jauh berbeda bukan agama di tangan para ‘ulamâ’ sungguhan dibanding dengan para CeBi BongLAF Ngustad Pesbuk yang hobby berfatwa liar? Apalagi dibanding para CeBi BongORI yang sholât pun entahlah, yang kemaren-kemaren nggak peduli dengan agama sekarang tetiba ngurusin shoff sholât…
☠ Maka bisa dipastikan bahwa para CeBi itu telah ngawur, bahkan dengan keji telah menuduh Ummat Islâm telah sesat, padahal diri mereka lah yang berbicara dengan tanpa ‘ilmu.
Demikian, semoga dapat dipahami.
هدانا الله و إياكم أجمعين
Arsyad Syahrial
8 April pukul 08.44 ·
#Arsyad Syahrial