Oleh : Abdullah Al Jirani
Marketplace adalah lokasi/tempat jual beli secara online (e-commerce) yang berupa website atau aplikasi, dimana seller (penjual) mengiklankan produknya di tempat tersebut. Saat mendapatkan orderan dari customer, pihak seller akan mengirimkan barang pesanan setelah pihak customer mengirimkan uangnya ke rekening makerplace yang dikenal dengan istilah Rekber (rekening bersama atau escrow ). Setelah barang sampai ke tangan customer, baru uang pembelian akan dikirim/dicairkan oleh pihak marketplace ke seller.
Penahanan sementara pencairan uang pembelian oleh pihak marketplace kepada seller sampai barang yang dipesan benar-benar diterima dan sesuai dengan pesanan customer, merupakan bentuk perlindungan (garansi) dari pihak marketplace kepada pembeli agar bisa berbelanja dengan aman. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan seperti : barang tidak dikirim, atau kiriman tidak sesuai dengan pesanan, dan yang lainnya. Jika hal ini disepakati oleh penjual dan pembeli, maka sah dan mengikat.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin terikat dengans syarat-syarat mereka.”[HR. At-Tirmidzi : 3594].
Dalam sistem jual beli seperti ini, ada dua transaksi. Pertama : seller (penjual) dengan customer (pembeli), dan kedua : pihak seller dengan marketplace selaku pihak yang menjual jasa marketing (penjualan) kepada seller. Sehingga pihak yang bertransaksi ada tiga yaitu penjual, pembeli dan pihak penyedia jasa (marketplace).
Jual beli antara seller (penjual) dengan pembeli berbentuk akad jual beli tidak tunai (Al-bai’ ilal ajal/muajjal). Dimana barang pesanan dikirim terlebih dahulu kepada pembeli (tunai), sementara harga baru diterima oleh penjual setelah barang diterima oleh pembeli. Dalam hal ini, penjual berhak mendapatkan margin (laba). Sistem jual beli dengan bentuk seperti ini hukumnya BOLEH.
Dalil bolehnya jual beli tidak tunai, sebuah hadits dari sahabat Shuhaib –radhiallahu ‘anhu- beliau berkta, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ، لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ
“Ada tiga hal yang mengandung berkah : Jual beli secara tidak tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampurkan gandum dengan jewawut untuk dimakan di rumah, bukan untuk dijual.” [HR. Ibnu Majah : 2289].
Hadits di atas statusnya dhaif (lemah), karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Shalih bin Shuhaib seorang yang majhul dan Abdurrahim bin Dawud haditsnya tidak terjaga. Namun begitu, kandungan maknanya telah disepakati oleh para ulama’ (ijma’).
Imam Ibnu Bathal –rahimahullah- (wafat : 449 H) berkata :
العلماء مجمعون على جواز البيع بالنسيئة لأن النبى (صلى الله عليه وسلم) اشترى الشعير من اليهودى نسيئة. وقال ابن عباس: البيع بالنسيئة فى كتاب الله وقرأ: (يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين...
“Para ulama’ telah sepakat, akan bolehnya jual beli dengan ditunda pembayarannya. Karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah membeli gandum dari seorang Yahudi dengan ditunda pembayarannnya (tidak tunai). Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhu- berkata : (Bolehnya) Jual beli tidak tunai tercantum di dalam Al-Qrur’an. Lalu beliau membaca firman Allah : (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai....”[Syarhu Shahih Al-Bukhari : 6/286, Maktabah Ar-Rusyd – KSA th 1423 H].
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- (wafat : 852 H) berkata :
وَأَمَّا الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ فَجَائِزٌ اتِّفَاقًا
“Adapun jual beli tidak tunai, maka boleh menurut kesepakatan (ulama’).” [Fathul Bari : 5/66, Darul Ma’rifah – Beirut].
Dibolehkannya sistem jual beli tidak tunai ini, juga merupakan fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) no 04/DSN-MUI/2000 tentang jual beli sistem murabahah, dan hasil keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fikih Organisasi Kerjasama Islam/OKI) No. 51 (2/6) 1990. Majma’ Fiqh Al-Islami menyatakan :
تجوز الزيادة في الثمن المؤجل عن الثمن الحال، كما يجوز ذكر ثمن المبيع نقداً، وثمنه بالأقساط لمدد معلومة
“Dibolehkan adanya tambahan di dalam harga yang (dibayar) secara tidak tunai dari harga tunai. Sebagaimana dibolehkan untuk menyebutkan harga barang yang dijual secara tunai, lalu pembayarannya dilakukan secara tidak tunai untuk waktu yang jelas.”
Adapun transaksi antara penjual dengan marketplace, berbentuk akad ijarah (sewa). Dimana marketplace menyewakan jasa lapaknya kepada penjual, atau sebagai marketing (pemasaran produknya kepada pembeli). Dalam prakteknya, saat ini marketplace tidak meminta upah dari penjual atas jasa lapaknya (gratis). Akan tetapi mereka hanya mengambil keuntungan dari jasa periklanan. Dimana jika penjual ingin iklannya selalu di posisi teratas, maka penjual akan dikenakan biaya iklan. Dan juga mungkin dari sisi yang lain pihak marketplace masih bisa mendapatkan penghasilan.
Akad ijarah merupakan akad yang diperbolehkan sebagaimana tertuang dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) no : 52/DSN-MUI/III/2006 tentang akah wakalah bil Ujrah. Dalilnya, sebuah hadits dimana nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : “Berikanlah upah ajir (orang yang disewa/pekerja) sebelum keringatnya kering.”[HR. Ibnu Majah].
Akad ijarah ini telah kami bahas sedikit lebih luas di artekel kami yang berjudul “HUKUM GO FOOD”. Silahkan dirujuk bagi yang belum membacanya.
Jika ternyata saldo yang mengendap di rekening marketplace dilakukan pembungaan (ribawi) secara sengaja dan dimanfaatkan oleh mereka, maka ini salah satu bentuk kesalahan dan ketidakamanahan yang dilakukan oleh pihal lapak dan dosanya akan ditanggung oleh mereka. Akan tetapi tidak ada hubungannya secara langsung terhadap keabsahan transaksi antara penjual dan pembeli.
Promo subsidi ongkir (ongkos kirim) atau gratis ongkir, merupakan strategi promosi dari marketplace untuk menarik calon pembeli. Hal ini juga dibolehkan, selama tidak ada persyaratan saldo mengendap. Sehingga tidak masuk dalam hutang piutang yang mengandung manfaat. Dan faktanya, persyaratan ini tidak ada.
Kesimpulan : Hukum jual beli di marketplace hukumnya BOLEH. Wallahu a’lam bish shawab.
Demikian pemabahasan kali ini. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan keilmuan kita sekalian. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Solo, 26 Jumadil Awal 1440 H
Abdullah Al Jirani
1 Februari pukul 10.21 ·
#Abdullah Al Jirani