Waliyul-Amr dan Batas Keta'atan Kepada Pemimpin

Waliyul-Amr dan Batas Keta'atan Kepada Pemimpin - Kajian Medina
Waliyul-Amr & Batas Keta'atan Kepada Pemimpin

Siapakah Waliyul-Amri?

Salah satu perkara yang dianggap sebagai perkara penting menilai kemanhajtan seseorang oleh GPK Kokohiyyun adalah tentang apakah meng-ulîl amri-kan penguasa sekuler atau tidak, di mana menurut GPK Kokohiyyun itu siapapun yang berkuasa, baik muslim atau bahkan kâfir sekalipun, berhukum dengan hukum الله ataupun sekuler, maka ia di-ulîl amri-kan secara syar‘i oleh mereka.

❓ Pertanyaannya: apakah benar pemahaman yang seperti itu?
Jawabannya ada pada ayat suci tentang perintah الله Subhânahu wa Ta‘âlâ untuk menta'ati ulîl amri tersebut…

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(arti) “Wahai orang-orang mu’min, ta'atilah Allôh dan ta'atilah Rosûl-(Nya), dan ulîl amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allôh (al-Qur-ân) dan Rosûl (as-Sunnah) apabila kamu benar-benar berîmân kepada Allôh dan Hari Âkhirot. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya.” [QS an-Nisâ’ (4) ayat 59].

❗ Perhatikan faidah penting dari ayat suci tersebut:
① Siapa yang الله seru pada ayat suci tersebut?
⇛ Yaitu adalah "آمَنُوا" – orang-orang yang berîmân. Artinya, terminologi ulîl amri hanyalah untuk orang-orang mu’min saja - tidak ada ceritanya ulîl amri yang kâfir.
② Kata "أَطِيعُوا" (ta'atilah) diberikan hanya pada الله dan Rosûl-Nya ﷺ, tetapi tidak pada ulîl amri. Apa maksudnya?
⇛ Artinya, keta'atan kepada الله dan Rosûl-Nya itu muthlaq, sedangkan keta'atan kepada ulîl amri itu bersyarat (tidak muthlaq), yaitu tidak boleh ta'at dalam hal kemaksiyatan terhadap الله dan Rosûl-Nya.

📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
(arti) “Seorang muslim wajib ta'at dan mendengar (kepada penguasa kaum muslimin) dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) selama perintah tersebut bukan dalam kemaksiyatan (terhadap Allôh). Namun jika ia diperintahkan dalam hal maksiyat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh ta'at.” [HR al-Bukhôrî no 7144 dan Muslim no 1839; Abû Dâwud no 2626; at-Tirmidzî no 1707; an-Nasâ-î no 4206; Ahmad no 5996].
③ Siapa yang boleh jadi "ulîl amri"?
⇛ Yaitu "مِنكُمْ" – dari kalian, di mana jelas maksud dari "kalian" itu adalah kalangan orang mu’min, karena yang diseru oleh الله pada ayat tersebut adalah orang berîmân.
Jadi tidak ada ceritanya (tidak mungkin bisa) yang namanya ulîl amri itu orang kuffâr, sebab ia harus dari kalangan orang yang berîmân (mu’min).
⚠ Kemudian, sangat penting juga adalah:
④ Ulîl amri itu harus memimpin dengan Kitâbullôh dan as-Sunnah.
⇛ Dasarnya adalah perintah pada ayat suci di atas, yaitu: apabila terjadi perbedaan pendapat, maka harus mengembalikannya kepada al-Qur-ân dan as-Sunnah.
Hal ini juga adalah sebagaimana yang perintahkan oleh Rosûlullôh ﷺ.

📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ - حَسِبْتُهَا قَالَتْ - أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
(arti) “Apabila seorang budak yang cacat anggota tubuhnya dan sangat hitam kulitnya ditunjuk untuk memerintah kalian dengan Kitâb Allôh Yang Maha Tinggi, maka dengarkanlah dan ta'atilah dia.” [HR Muslim no 1298, 1838; Ahmad no 16049, 22147; 26002, 26004, 26008].
Di dalam riwayat lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
(arti) “Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allôh meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak hitam dari Habasyah yang cacat hidung atau telinganya, maka dengarlah dan ta'atilah dia selama ia memimpin kalian dengan Kitâbullôh.” [HR at-Tirmidzî no 1706; an-Nasâ-î no 4192; Ibnu Mâjah no 2861; Ahmad no 16052, 22150, 25999, 26001, 26005, 26007, 26009].
Kata "al-amr" di mana alif-lam-ta’rif pada kata itu menunjukkan sesuatu yang sudah dikenal, yaitu "ad-dîn", makanya ulîl amri itu mencakup dua profesi, yaitu: umarô’ dan ‘ulamâ’. ‘Ulamâ’ karena mereka yang ahli agama atau si-"amr" itu tadi, dan umarô’ kalau ia mengurus kepentingan agama. Akan tetapi kalau ia tidak melaksanakan tugas sebagai pemimpin agama, maka ia hilang dari kata al-amr itu.
Dasarnya adalah firman الله Subhânahu wa Ta‘âlâ pada QS as-Sajadah ayat 24.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
(arti) “Dan Kami jadikan di antara mereka (para nabî) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [QS as-Sajadah (32) ayat 24].
⚠️ Undang-undang dasar yang seorang ulîl amri berkhidmat atasnya haruslah Kitâbullôh, bukan kepada undang-undang dasar buatan manusia, apalagi undang-undang dasar tersebut menyelisihi al-Qur-ân dan as-Sunnah.

📍 Kata Imâm Yahyâ ibn Syaraf an-Nawawî رحمه الله:
فَأَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَاعَةِ وَلِيِّ الْأَمْرِ وَلَوْ كَانَ بِهَذِهِ الْخَسَاسَةِ مَا دَامَ يَقُودُنَا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَدْيَانِهِمْ وَأَخْلَاقِهِمْ وَلَا يُشَقُّ عَلَيْهِمُ الْعَصَا بَلْ إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُمُ الْمُنْكَرَاتُ وُعِظُوا وَذُكِّرُوا
(arti) "(Rosûlullôh) ﷺ memerintahkan untuk ta'at kepada walîyul-amri meskipun dengan kondisi tubuh sejelek itu (dibuat cacat hidung dan telinganya) selama ia menuntun kita dengan Kitâb Allôh Ta‘âlâ. Para ‘ulamâ’ mengatakan bahwa maknanya adalah selama mereka berpedoman pada Islâm dan menyeru kepada Kitâb Allôh Ta‘âlâ. Terlepas bagaimana pun keadaan diri (fisik) mereka, dan sikap beragama, dan akhlâq mereka. Tidak boleh memisahkan diri dari mereka. Kalau tampak kemungkaran pada diri mereka, maka hendaklah mereka dinasihati dan diingatkan." [lihat: Syarh Shohîh Muslim IX/47].

📍 Kata Imâm Muhammad ibn ‘Alî asy-Syaukânî رحمه الله:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
(arti) "Ulîl amri adalah para imâm, penguasa, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar‘i, bukan kekuasaan thôghûtiyah." [lihat: Fat-hul-Qodîr I/556].
Para ‘ulamâ’ kemudian menyimpulkan bahwa:
⑴. Yang namanya ulîl amri secara syar‘i hanyalah dari kalangan orang-orang yang berîmân (mu’min) saja.
⑵. Keta'atan kepada ulîl amri tidaklah muthlaq, namun bersyarat, yaitu selama bukan dalam perkara maksiyat terhadap الله dan Rosûl-Nya ﷺ.
⑶. Ulîl amri wajib menjadikan Syari‘at Islâm sebagai undang-undang dasar di dalam pemerintahannya.
Jika ketiga syarat itu tidak dipenuhi, maka penguasa bukanlah ulîl amri secara syar‘i, tetapi cukup disebut sebagai "penguasa" saja.

❓ Lalu apakah apabila tidak mengulîl-amrikan berkonsekwensi memberontak?
Jelas tidak…!
☠ Itu tuduhan konyol yang berasal dari waham igauan GPK Kokohiyyun itu saja.
⇨ Tidak ada hubungan antara tidak ta'at dengan konsekwensi memberontak.
Keta'atan kepada ulîl amri itu adalah bagian dari keta'atan kepada الله dan Rosûl-Nya, sehingga kalau pempimpin itu membuat keputusan maka wajib dita'ati, baik dalam keadaan suka maupun tidak suka. Kecuali itu adalah perkara maksiyat kepada الله dan Rosûl-Nya, maka tidak wajib untuk ta'at.
❗ Dasarnya adalah perintah Baginda Nabî ﷺ untuk menta'ati aturan selama aturan itu tidak melanggar syari‘at.

📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ ‏–‏ زَادَ أَحْمَدُ : إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً –‏ وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ : الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
(arti) “Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum Muslimîn.” – Ahmad menambahkan: “Kecuali perdamaian yang mensyaratkan penghalâlan yang harôm dan pengharôman yang halâl.” – Sulaymân ibn Dâwud menambahkan: “Muslimîn itu ta'at kepada persyaratan.” [HR Abû Dâwud no 3594].
Atau dalam riwayat yang lain:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
(arti) “Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum Muslimîn kecuali perdamaian yang menghalâlkan yang harôm atau mengharômkan yang halâl, dan kaum Muslimîn boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharômkan yang halâl atau menghalâlkan yang harôm.” [HR at-Tirmidzî no 1352].
Atau dalam riwayat lain:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
(arti) “Perdamaian di antara kaum Muslimîn itu diperbolehkan kecuali perdamaian untuk mengharômkan yang halâl atau menghalâlkan yang harôm.” [HR Ibnu Mâjah no 2353].
Adapun jika penguasa membuat keputusan / hukum yang menyelisihi syari‘at, bahkan maksiyat, maka tidak wajib untuk dita'ati – bahkan wajib untuk melakukan amar ma‘rûf nahyi munkar sesuai dengan kemampuan masing-masing.

📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
(arti) “Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tak mampu maka hendaknya dengan lisannya, dan jika ia tak mampu juga maka dengan (penentangan di dalam) hati sanubarinya, dan itulah selemah-lemahnya îmân.” [HR Muslim no 49; Abû Dâwud no 1140, 4340; at-Tirmidzî no 2172; an-Nasâ-î no 5008, 5009; Ibnu Mâjah no 1275, 4013; Ahmad no 10651, 10723, 11034, 11068, 11090, 11442].
⚠️ Keta'atan kepada penguasa sekuler, apalagi kâfir, alasannya hanyalah atas dasar kemaslahatan semata, bukan atas dasar agama.

Imârotus-Sufahâ’

Dalam sebuah riwayat, Rosûlullôh ﷺ pernah menasihati Shohâbat Ka‘ab ibn ‘Ujroh رضي الله عنه dengan sebuah nasihat tentang bagaimana menyikapi imârotus-sufahâ’, yaitu pemerintahan orang-orang yang dungu.

📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ … أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
(arti) “Semoga Allôh melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang dungu … (yaitu) para penguasa negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan di atas sunnahku. Siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka serta menolong mereka dalam kezhôlimannya, maka dia bukanlah golonganku dan aku bukan pula termasuk dari golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di telagaku. Siapa saja yang tidak membenarkan kedustaan mereka serta tidak menolong kezhôlimannya, maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka, serta mereka akan mendatangiku di telagaku.” [HR Ahmad no 13919, 14746].
Perhatikan…!

❓ Apakah ciri dari imârotus-sufahâ’ itu…?
Yaitu para penguasa negara yang:
☠ Tidak mengikuti petunjuk Rosûlullôh.
☠ Tidak berjalan di atas sunnahnya Rosûlullôh.
☠ Suka berdusta.
☠ Berlaku zhôlim.

❗Ternyata Baginda Nabî ﷺ memohon perlindung untuk ummatnya dari imârotus-sufahâ’. Bahkan Baginda Nabî melarang ummatnya untuk membenarkan kedustaan dan menolong kezhôliman yang dilakukan oleh imârotus-sufahâ’ tersebut…!

❓ Bagaimana kalau ada yang nekad membenarkan kedustaan dan menjadi pendukung kezhôlimannya imârotus-sufahâ’ itu…?
Maka…

🔥 Baginda Nabî ﷺ menyatakan bahwa para pembela dan pendukung, apalagi antek, dari imârotus-sufahâ’ itu bukanlah ummat Beliau dan takkan menemui Beliau di al-Haudh kelak…!!!

⚡ Tidak main-main konsekwensi dari menjadi pendukung, membela-bela, apalagi jadi antek-antek dari imârotus-sufahâ’ itu, yaitu: dikeluarkan dari ummatnya Baginda Nabî ﷺ…!!!

⚠️ Bukan hanya pelaku kebid‘ahan saja yang dilarang mendekati al-Haudh-nya Baginda Nabî, tetapi para penjilat imârotus-sufahâ’ juga!

☠ Jadi percuma saja berbusa-busa mulutnya mengatakan atau pegal jarinya mengetikkan "memurnikan Tauhîd, menebar cahaya Sunnah, dengan pemahaman Salafush-Shôlih", akan tetapi kenyataannya malah membenarkan kedustaan, menjadi pendukung kezhôliman, bahkan bangga jadi penjilat telapak kaki imârotus-sufahâ’.

⚠ Menta'ati penguasa itu ada guidelines-nya.
Apa guidelinesnya?
① Guideline 1: Keta'atan itu harus sejalan dengan keta'atan kepada الله dan Rosûl-Nya ﷺ sebagaimana telah diulas sebelumnya.
⚠️ Keta'atan kepada siapapun itu bersyarat, yaitu harus mengikut kepada Kitâbullôh dan as-Sunnah.

❓ Maka pertanyaannya:
✗ Apakah mungkin penguasa yang tidak menegakkan hukum الله dan tidak mengatur urusan Dunia dengan syari‘at yang الله turunkan lalu didapuk sebagai "ulil amri secara syar‘i"?
✗ Apakah mungkin penguasa yang mendasarkan kekuasaannya pada Wetboek buatan Kolonial Belanda lantas dikatakan sebagai "amirul mu’minîn"?
Lalu bagaimana sikap terhadap penguasa itu tidak berhukum dengan Hukum الله dan mengatur urusan duniawi dengan syari‘at yang diturunkan oleh الله…?
Maka masuk kepada guidelines kedua…
② Guideline 2: Kepatuhan hanya terhadap hal-hal yang ma‘rûf (baik).
Dalîl-nya adalah sebuah hadîts yang diriwayat dari Kholîfah ‘Alî ibn Abî Thôlib رضي الله عنه.

📌 Kata Kholîfah ‘Alî رضي الله عنه mengisahkan:
بَعَثَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً ، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ ، فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ تُطِيعُونِي قَالُوا بَلَى‏ ، قَالَ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ، ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا ، فَجَمَعُوا حَطَبًا فَأَوْقَدُوا ، فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ، قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِرَارًا مِنَ النَّارِ ، أَفَنَدْخُلُهَا ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتِ النَّار ُ، وَسَكَنَ غَضَبُهُ ، فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏:‏ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
(arti) “Nabî ﷺ pernah mengutus sebuah ekspedisi tempur dan mengangkat Shohâbat dari kalangan al-Anshôr (‘Abdullôh ibn Hudzafah) sebagai komandan mereka, dan Beliau memerintahkan mereka untuk menta'atinya. Selanjutnya (di dalam perjalanan), dia ('Abdullôh ibn Hudzafah) menjadi marah dan mengatakan: "Bukankah Rosûlullôh ﷺ telah memerintahkan kalian untuk menta'atiku?", "Ya" jawab mereka. Dia ('Abdullôh ibn Hudzafah) mengatakan: "Karena itu, aku ingin kalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api unggun, kemudian kalian masuk ke dalamnya!". Mereka pun lalu mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api. Tatkala mereka mau memasukinya, satu sama lainnya saling memandang. Sebagian mengatakan: "Bukankah kita mengikuti Nabî ﷺ untuk menjauhkan diri dari api, lalu mengapa sekarang kita malah mau memasukinya?". Tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba api unggun itu padam dan kemarahannya (‘Abdullôh ibn Hudzafah) pun mereda. Maka hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Nabî ﷺ, lantas Beliau mengatakan: "Kalaulah mereka memasukinya, niscaya mereka tidak bisa keluar dari api tersebut selama-lamanya!"” [HR al-Bukhôrî no 7145; Muslim no 1840; Ahmad no 588, 969].
Perhatikan…!

❗ Walaupun ‘Abdullôh ibn Hudzafah رضي الله عنه adalah komandan pasukan ekspedisi tempur yang ditunjuk langsung oleh Baginda Nabî ﷺ, yang artinya ‘Abdullôh ibn Hudzafah tidak mungkin tak berhukum dengan Hukum الله dan mengatur urusan duniawi tidak dengan syari‘at yang diturunkan oleh الله kepada Baginda Nabî, tetapi ketika ia memerintahkan suatu kemaksiyatan, maka tidak boleh untuk ta'at!

☠ Maka apalagi jika penguasa yang memerintahkan kezhôliman itu adalah seorang pendusta lagi suka berbuat kefâjiran yang mendasarkan kekuasaannya pada Wetboek buatan Kolonial Belanda…???
⚠️ Kuncinya adalah: "tiada keta'atan dalam kemaksiyatan terhadap الله, keta'atan hanyalah dalam perkara yang ma‘rûf (baik) saja".

📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
(arti) “Tiada keta'atan dalam kemaksiyatan. Keta'atan hanyalah dalam hal yang ma‘rûf (baik).” [HR al-Bukhôrî no 7257; Muslim no 1840; Abû Dâwud no 2625; an-Nasâ-î no 4205; Ahmad no 686].
Jadi kalau itu peraturan adalah peraturan keselamatan tranportasi, peraturan keamanan konstruksi bangunan, peraturan kesehatan dan keselamatan kerja, peraturan ketertiban dan keamanan lingkungan, peraturan perlindungan konsumen, dlsb, maka wajib untuk dita'ati.

🚫 Namun kalau kita disuruh untuk bermaksiyat, misalnya: melegalisasi pelacuran, perjudian, dan peredaran khomr, apalagi mencampuradukkan per‘ibadahan dengan orang kuffâr, maka wajib untuk menentangnya – di mana penentangan itu setidaknya adalah dengan menyuarakan ketidaksetujuan melalui lisan dan tulisan, bukan malahan langsung pasang posisi "selemah-lemah îmân".
Demikian, semoga dapat dipahami. - والله أعلمُ بالـصـواب

❤ Kita berdo'a:
اللهم إني أعوذبك من إمارةِ الصبيان والسفهاء
{allôhumma innî a-‘ûdzubika min imârotish-shibyân was-sufahâ’}
(arti) "Wahai Allôh, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan lagi bodoh."
ver 20191205

ARSYAD SYAHRIAL·SELASA, 04 DESEMBER 2018

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.