Ulama Besar Bisakah Salah Dalam Akidah?

Ulama Besar Bisakah Salah Dalam Akidah? - Kajian Medina
Ulama Besar Bisakah Salah Dalam Akidah?

Seperti di gambar ini, dengan entengnya seorang pendaku salafi mengatakan bahwa ulama besar yang keilmuannya diakui seluruh ulama dan saking hebatnya mereka tak mungkin karyanya diabaikan begitu saja oleh penuntut ilmu keislaman dari mazhab apapun, seperti Imam a-Baihaqi, Imam An-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai tokoh yang wafat dalam keadaan akidahnya bermasalah.

Pertanyaannya, bisakah ulama besar salah dalam akidah? Jawabannya tegas: memang bisa. Siapapun yang levelnya masih bukan Nabi, bisa salah paham dalam akidah. Misalnya saja:

Muqatil bin Sulaiman, pakar tafsir terkemuka yang wafat pada 150 H. Ia mengatakan bahwa Allah punya daging, darah dan anggota tubuh lain-lain. Seorang mujassim tulen.

Mujahid bin Jabr, seorang Tabi'in terkemuka murid dari Sahabat Ibnu Abbas. Beliau adalah Imam besar. Tapi dalam satu hal beliau berkata bahwa Allah akan mendudukkan Nabi Muhammad bersama-Nya di Arasy. Ide bahwa Allah duduk bersama makhluk ini sangat-sangat bermasalah sebab ini mengarah pada tajsim dan tasybih yang tak bisa ditakwil lagi. Bila perkataan Mujahid itu valid dari beliau seperti diyakini sebagian ulama, maka berarti akidahnya bermasalah. Ada tokoh hadis terkemuka bernama al-Khallal yang membuat bab khusus yang menukil banyak sekali tokoh ahli hadis yang tak segan menyesatkan bahkan mengafirkan siapapun yang tak membenarkan pernyataan Imam Mujahid tersebut, seperti saya ini misalnya. Mereka semua adalah orang-orang ghuluw (ekstrem) dan bermasalah dalam akidah.

Ada lagi Ibnu Taymiyah, tokoh besar yang paling kontroversial sepanjang masa. Siapa yang tak mengakui kehebatannya? Tapi akidah beliau banyak bermasalah. Tak mau menafikan sifat jismiyah dari Allah, membenarkan orang yang mengatakan Allah punya berat badan, mengatakan ada hal-hal baru yang tak berawal mula dan seabrek masalah lain dalam pokok akidah.

Ada seabrek nama lain yang bisa disebut. Tak sedikit para ahli hadis, tak terkecuali periwayat dalam sanad Imam Bukhari, yang bermasalah. Ada yang Jabariyah, Qadariyah, Syiah dan lain-lain yang dibahas dalam ilmu kritik hadis.

Siapa yang menyatakan mereka semua punya pendapat yang salah? Ulama lain setelah mereka tentunya yang juga ahli tafsir, ahli hadits, ahli fikih, BUKAN SAYA loh ya. Jangan salah fokus soal ini.

Lalu kalau ulama, sejak masa salaf, saling berbeda pendapat dan saling menyalahkan, bahkan dalam hal akidah, lalu siapa yang mau diambil sebagai pedoman? Jawabannya akan kembali pada kecenderungan masing-masing orang.

Bagi para pendaku salafi modern seperti di gambar, ulama besar seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi bahkan Al-Baihaqi adalah yang salah sedangkan nama-nama yang saya singgung di atas adalah benar sebenar-benarnya. Bahkan mungkin mereka tak dapat menahan diri untuk menyesatkan atau mungkin mengafirkan saya ketika membaca tulisan ini. Sedangkan bagi saya dan mayoritas Ahlussunnah wal Jama'ah (yang tak lain dan tak bukan secara faktual selama seribu tahun terakhir berafiliasi pada Asy'ariyah-Maturidiyah), maka Imam Baihaqi dan lain-lain itulah yang benar.

Kalau sudah saling klaim begini, maka semua harus kembali pada pedoman pokok, yakni Al-Qur’an dan Hadits yang shahih. Karena itulah, Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa dalam bahasan Akidah satu-satunya dalil hanyalah al-Qur’an atau hadits shahih saja, bukan ucapan sahabat, bukan ucapan Tabi'in, dan apalagi orang lain yang kesemuanya tidak ada yang ma'shum (terjaga dari salah). Berakidah tak boleh taklid atau ikut-ikutan, pada siapapun kecuali Allah dan Rasulullah saja. Siapapun yang menyatakan sesuatu yang berbeda dari keduanya atau membuat-buat, menambah-nambah, mengeluarkan dari konteks asalnya, maka lempar saja ucapannya ke tembok.

Misalnya, Allah dan Rasul menyatakan sifat 'Uluw bagi Allah lalu ditambah-tambah dengan menetapkan arah fisikal dan tempat fisikal bagi Dzat Allah. Tambahan ini bid'ah. Allah mengatakan bahwa dirinya Istawa atas Arsy, lalu ditambah dan diplintir menjadi Allah duduk di atas Arasy dan Arasy merasakan berat badan Allah. Allah mengatakan bahwa Ia punya Yad, 'ain, wajh dan lain-lain yang diucapkan dalam konteks tertentu secara spesifik, lalu ditambah dan diplintir konteksnya menjadi Allah punya beberapa anggota badan. Semua ini juga bid'ah yang selayaknya dilempar ke tembok, siapapun yang bilang.

Demikian seterusnya, seluruh elemen akidah harus berdasar pada ayat dan hadits. Tak boleh ada akidah yang dibangun hanya berdasarkan fanatisme pada pernyataan tokoh A, tokoh B, tokoh C atau tokoh Z.

Ini semua sudah jelas kecuali bagi sekumpulan orang yang punya asumsi salah. Misalnya, orang yang berasumsi bahwa seluruh tokoh salaf itu sepakat soal akidah, bahwa salaf pasti ma'shum dan lain-lain yang sama sekali tak berdasarkan fakta dan pastinya tak berdasarkan satupun ayat atau hadis. Ini semua hanya asumsi yang muncul dari klaim sepihak atau kurang baca. Biasanya yang begini ini hanya membaca buku-buku kalangannya sendiri saja lalu percaya mentah-mentah seolah buku-buku itu al-Qur’an yang tak mungkin salah. Ketika orang semacam ini berdiskusi, maka hanya ancaman dan vonis menyalahi tokoh-tokoh yang mampu ia keluarkan. Mereka murni berdasarkan fanatisme buta tapi tak mau disebut fanatik atau taklid sebab merasa sudah tahu dalil (dalil dalam arti = browsing di google lalu copas).

Ayo kita murnikan akidah dengan al-Qur’an dan hadits shahih. Jangan membuat-buat dan jangan fanatik.

Ulama Besar Bisakah Salah Dalam Akidah? - Kajian Medina

Abdul Wahab Ahmad
24 Desember pukul 08.35 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.