Lafadz Takbir, Diucapkan Mengiringi Gerakan Shalat Atau Setelahnya?

Lafadz Takbir, Diucapkan Mengiringi Gerakan Shalat Atau Setelahnya? - Kajian Medina
LAFADZ TAKBIR, DIUCAPKAN MENGIRINGI GERAKAN SHALAT ATAU SETELAHNYA ?

Oleh : Abdullah Al Jirani
****
Beberapa hari yang lalu, saat kami selesai dari mengisi kajian di sebuah masjid, ada seorang jama’ah yang menghampiri kami, ingin menayakan suatu masalah. Lalu beliau mulai menyampaikan masalah yang ingin ditanyakan, tapi dengan nada ‘curhat’ dengan mimik ‘agak kesal’ (tapi bukan kesal ke kami, lho). Beliau menyampaikan,bahwa beberapa kali menjadi makmum seorang imam, ketika takbir perpindahan, pengucapannya ‘terlambat’ dari gerakannya. Misal : saat mau turun sujud, imam tersebut melakukan gerakan sujud dulu, saat kening sudah menempel di lantai, baru mengucapkan takbir. Demikian pula saat bangkit dari sujud menuju rekaat yang berikutnya, imam tersebut berdiri dulu, setelah sempurna berdiri baru mengucapkan takbir.

Katanya, hal ini sering kali membuat makmum kacau dan bingung. Ada yang mengikuti gerakan imam, ada yang separuh gerakan, ada yang maju mundur antara mengikuti gerakan imam dan tidak. Mau ikut gerakan imam, tapi belum takbir ? tidak mengikuti gerakan imam, tapi kok sudah bergerak ? padahal, katanya “imam dijadikan untuk diikuti”. Apakah pembaca pernah mendapatkan imam seperti ini juga ? silahkan berbagai pengalaman jika, ya. (kalau kami pribadi pernah mendapatkan berkali-kali..he..he)

Pembaca yang dirahmati oleh Allah.....,Jika kita mengamati berbagai dalil yang datang dalam masalah ini, maka kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa lafadz takbir disyari’atkan untuk diucapkan “mengiringi” gerakan-gerakan shalat, seperti rukuk, sujud, bangkit dari sujud, bangkit untuk berdiri ke rekaat yang berikutnya dan yang lainnya. Artinya, dimulai saat bergerak dan berhenti saat gerakan selesai.

Hal ini berdasarkan sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ» ثُمَّ يَقُولُ: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوعِ» ثُمَّ يَقُولُ: وَهُوَ قَائِمٌ «رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ كُلِّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا وَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الْمَثْنَى بَعْدَ الْجُلُوسِ»

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila berdiri untuk shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, lalu bertakbir ketika rukuk, lalu mengucapkan SAMIALLAHU LIMAN HAMIDAH (semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya) ketika mengangkat pungungnya dari rukuk, lalu mengucapkan RABBANA LAKAL HAMDU (Wahai Rabb kami ! bagi-Mu segala pujian), kemudian bertakbir ketika turun sujud, lalu bertakbir ketika mengangkat kepalanya , lalu bertakbir ketika sujud, lalu bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian beliau melakukan semisal itu dalam seluruh shalat sampai beliau menyelesaikannya. Lalu beliau bertakbir ketika berdiri ke rekaat kedua setelah duduk.”[H.R. Al-Bukhari : 803 dan Muslim : 392. Lafadz tersebut di atas lafadz Imam Muslim].

Sisi pendalilannya pada kalimat “ketika”. Kata “ketika”, termasuk dzorful zaman (kata keterangan waktu). Jika nabi disebutkan mengucapkan takbir “ketika” berdiri, rukuk, sujud, dan seterusnya, itu berarti lafadz takbir itu diucapkan mengiringi gerakan tersebut. Maksudnya, diucapkan saat gerakan dimulai, dan berhenti saat gerakan selesai.

Imam An-Nawawi –rahimahullah- ( wafat : 676 H )berkata :

هَذَا دَلِيلٌ عَلَى مُقَارَنَةِ التَّكْبِيرِ لِهَذِهِ الْحَرَكَاتِ وَبَسْطِهِ عَلَيْهَا.فَيَبْدَأُ بِالتَّكْبِيرِ حِينَ يَشْرَعُ فِي الِانْتِقَالِ إِلَى الرُّكُوعِ وَيَمُدُّهُ حَتَّى يَصِلَ حَدَّ الرَّاكِعِينَ. وَيَبْدَأُ بِالتَّكْبِيرِ حِينَ يَشْرَعُ فِي الْهُوِيِّ إِلَى السُّجُودِ وَيَمُدُّهُ حَتَّى يَضَعَ جَبْهَتَهُ عَلَى الْأَرْضِ. ثُمَّ وَيَبْدَأُ فِي قَوْلِهِ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِينَ يَشْرَعُ فِي الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوعِ وَيَمُدُّهُ حَتَّى يَنْتَصِبَ قَائِمًا. وَيَشْرَعُ فِي التَّكْبِيرِ لِلْقِيَامِ مِنَ التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ حِينَ يَشْرَعُ فِي الِانْتِقَالِ وَيَمُدُّهُ حَتَّى يَنْتَصِبَ قَائِمًا هَذَا مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً

“Hadits ini menunjukkan bahwa lafadz takbir (diucapkan) dan dibentangkan/dipanjangkan mengiringi gerakan-gerakan ini. Maka seorang mulai (mengucapkan) takbir ketika mulai masuk gerakan perpindahkan ke rukuk dan dia panjangkan lafadz tersebut sampai pada batasan orang-orang rukuk, lalu dia mulai takbir dan ketika mulai turun sujud dan dia panjangkan sampai dia meletakkan keningnya di atas lantai. Dan dia mulai mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH ketika mulai bangkit dari rukuk dan dia panjangkan lafadz tersebut sampai tegak berdiri. Lalu dia mulai masuk melafadzkan takbir untuk berdiri dari tasyahhud pertama ketika mulai masuk dalam gerakan perpindahan dan dia panjangkan lafadz tersebut, sampai tegak berdiri. Ini merupakan MADZHAK KAMI (Syafi’iyyah) dan MADZHAB SELURUH ULAMA’.” [Syarah Shahih Muslim : 4/99].

Imam Al-Qadhi ‘Iyyadh Al-Busti –rahimahullah- (wafat : 544 H) berkata :

دليل على مقارنة التكبير للحركات وعمارتها بذكرها...وهو قول عامة العلماء

“(Hadits ini) menunjukkan, bahwa lafadz takbir (diucapkan) mengiringi gerakan-gerakan shalat serta mengisi gerakan-gerakan tersebut dengan menyebutkan lafadz tersebut secara beriringan (dengan gerakan-gerakan shalat)...dan ini merupakan pendapat seluruh ulama’.”[Ikmalul Mu’lim : 2/267].

Imam Al-Mardawi Al-Hambali–rahimahullah- (wafat : 885)berkata :

يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ تَكْبِيرُ الْخَفْضِ وَالرَّفْعِ وَالنُّهُوضِ ابْتِدَاؤُهُ مَعَ ابْتِدَاءِ الِانْتِقَالِ، وَانْتِهَاؤُهُ مَعَ انْتِهَائِهِ

“Seyogyanya takbir rukuk, bangkit dari rukuk, dan turun sujud, mulainya bersamaan dengan mulainya perpindahan dan berhentinya mulai dengan berhentinya perpindahan.” [Al-Inshaf : 2/59].

Demikian keterangan para ulama’ dalam hal ini. Bahwa lafadz takbir diucapkan di saat gerakan shalat mulai dilakukan, dan berhenti ketika gerakan telah selesai. Sehingga kami juga sempat heran, darimana sebagian imam berpemahaman bahwa lafadz takbir diucapkan justru ketika gerakan shalat telah selesai dilakukan ?! ada yang bilang, katanya dia melakukan itu agar makmum tidak mendahului imam dalam gerakan shalat. Benarkah alasan ini ? untuk mengetahuinya kita akan lihat bagaimana komentar Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- tentang hal ini.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- berkata :

والغريب أن بعض الأئمة الجُهَّالِ اجتهد اجتهاداً خاطئاً وقال: لا أكبِّرُ حتى أصل إلى الرُّكوع، قال: لأنني لو كبَّرت قبل أن أَصِلَ إلى الرُّكوع لسابقني المأمومون....وهذا مِن غرائب الاجتهاد؛ أن تُفسد عبادتك على قول بعض العلماء؛ لتصحيح عبادة غيرك؛ الذي ليس مأموراً بأن يسابقك، بل أُمر بمتابعتك.ولهذا نقول: هذا اجتهادٌ في غير محلِّه، ونُسمِّي المجتهدَ هذا الاجتهاد: «جاهلاً جهلاً مركَّباً» ؛ لأنه جَهِلَ، وجَهِلَ أنه جاهلٌ.

“Aneh ! ada sebagian imam-imam (shalat) yang bodoh telah melakukan ijtihad yang keliru. Dia mengatakan : “Saya tidak mengucapkan takbir sehingga saya rukuk (dengan sempurna). Karena kalau saya bertakbir sebelum saya sempurna rukuk, para makum akan mendahuluiku......”. Ini merupakan keanehan dalam ijtihad. Engkau merusak ibadahmu –menurut pendapat sebagian ulama’- untuk membenarkan ibadah orang lain. Dimana orang lain itu tidak diperintah untuk mendahuluimu. Akan tetapi mereka diperintah untuk mengikutimu. Oleh karena itu, kami mengatakan : “Ini ijtihad tidak pada tempatnya. Dan kami menamakan mujthadi seperti ini seorang BODOH DENGAN KEBODOHAN RANGKAP (bodoh kwadrat). Karena dia bodoh, dan dia tidak sadar bahwa dirinya bodoh.” [Asy-Syahrul Mumti’ : 3/87-88].

Ingat ! imam itu dijadikan untuk diikuti. Ketika imam rukuk, maka makmum mengikuti rukuk, ketika imam sujud, maka makmum juga mengikuti sujud dan seterusnya. Kalau lafadz takbirnya ketinggalan dari gerakan-gerakan alias tidak beriringan, maka ini sudah menyalahi perintah nabi agar makmum mengikuti imam. Karena “mengikuti” di sini tanpa jenda waktu atau secara langsung kecuali ada hajat atau hal yang menghalangi. Kenapa demikian ? karena hadits-hadits dalam masalah ini dengan huruf ( fa’), yang menunjukkan bahwa perbuatan sebelum huruf (fa’) terjadi secara berurutan tanpa jeda dengan perbuatan setelah (fa’).

Kemungkinan, kasus-kasus kesalahan seperti ini muncul dikarenakan mereka memahami hadits secara tekstual, tanpa merujuk kepada penjelasan para ulama’.Wallahul musta’an. Semoga apa yang kami tulis kali ini bermanfaat untuk kita sekalian. Barakallahu fiikum.
-----
#bersamajumhurulama
#madzhabsyafiiyyah

Abdullah Al Jirani
2 jam · 

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.