BOLEHKAH BERAMAL ATAU BERFATWA DENGAN PENDAPAT YANG TIDAK MU’TAMAD ?
Oleh : Abdullah Al-Jirani
Ada yang beranggapan, bahwa tujuan seorang bermadzhab hanya ingin mencari dan mengamalkan pendapat-pendapat yang ringan dan enak menurut dirinya serta meninggalkan pendapat yang mu’tamad (terpilih). Sehingga muncullah ungkapan-ungkapan yang kesannya mendiskritkan para pecinta madzhab, khususnya madzhab Syafi’i, seperti : “Tidak konsisten dalam bermadzhab”, “Bukan bermadzhab Syafi’i, tapi Syafi’iyyah”, dan yang lainnya. Menurut hemat kami, pandangan di atas tidak tepat. Dan sepertinya hanya dibangun di atas ketidaktahuan.
Memang benar, pada asalnya seorang yang bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat, misalnya madzhab Syafi’i, maka hendaknya dia beramal dan menfatwakan pendapat yang mu’tamad saja. Tidak boleh baginya untuk mengamalkan atau menfatwakan pendapat yang tidak mu’tamad. Ini ketentuan umumnya.
Namun ketentuan ini tidak bersifat mutlak. Jika memang ada hajat atau kemaslahatan yang besar atau bersifat umum, maka dibolehkan baginya untuk beramal atau berfatwa dengan pendapat yang tidak mu’tamad dalam madzhabnya. Dan ini lebih sesuai dengan asas agama Islam yang berusaha untuk memaksimalkan kemaslahatan dan meminimalisir kerusakan.
Disebutkan dalam “Al-Fawaid Al-Makkiyyah”, hlm. (168) :
فقيه في مذهبه عرف الراجح و ضده بمحض التقليد و غيره. فالمتصف بذلك لا يقضي ولا يفتي إلا بالراجح و إلا لم ينفذ قضاؤه و فتواه, نعم له ذلك أي القضاء و الإفتاء بالمرجوح لحاجة أو مصلحة عامة.
“Seorang yang faqih dalam madzhabnya (Syafi’i), mengerti pendapat yang kuat (baca : terpilih), dan lawannya adalah seorang yang murni bertaqlid. Maka seorang yang tersifati dengan hal ini (seorang yang mampu mengetahui pendapat yang kuat dalam madzahab dari yang lemah), maka tidak boleh memutuskan suatu masalah atau berfatwa kecuali dengan pendapat yang rajih (kuat/mu’tamad). Jika tidak demikian, maka putusan dan fatwanya tidak berlaku. Benar, boleh baginya untuk memutuskan dan berfatwa dengan pendapat yang marjuh (lemah/tidak mu’tamad) karena adanya hajat atau kemaslahatan yang bersifat umum.”
Disebutkan pula dalam kitab “Tarsyih Al-Mustafidin” : ”Tidak mengapa (boleh) untuk bertaqlid kepada seorang ulama yang tidak konsisten dengan madzhabnya dalam beberapa masalah, baik dia taqlidnya kepada salah satu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) ataupun selain mereka dari orang-orang yang telah menjaga madzhabnya dalam masalah tersebut dan yang selainnya.
Walaupun ulama yang lain tersebut menisbatkan diri kepada salah satu dari imam yang empat, seperti ashab Syafi’i dan Abu Hanifah, misalnya, maka salah satu dari mereka terkadang memilih suatu pendapat yang menyelisihi nash (teks) imamnya, maka boleh untuk taqlid kepadanya.
Juga boleh untuk bertaqlid kepada para ulama yang terpilih seperti An-Nawawi, Ibnul Mundzir, As-Suyuthi dalam berbagai pendapat pilihan mereka.
Apabila mereka (ulama madzhab) memilih satu pendapat dari beberapa pendapat ulama madzhab mereka, maka boleh untuk bertaqlid kepada mereka dalam pendapat yang mereka kuatkan tersebut untuk diamalkan....walaupun pendapat ini menyelisihi pendapat mayoritas ulama madzhab mereka.” [Dari kitab Tarsyih Al-Mustafidin, hlm. 3 dan 4, dengan sedikit diringkas dan penyesuaian].
Dalam kitab “Al-Mu’tamad”, hlm. (389) disebutkan :
فالملتزم بمذهب,حكمه أنه لا يعمل إلا براجح مذهبه سائلا ذلك من تأهل له و يحرم إفتاؤه بالمرجوح و العمل به إن لم تقض بذلك حاجة أو مصلحة
“Seorang yang konsisten dengan suatu madzhab fiqh (yang empat), secara hukum (asal) dia tidak boleh mengamalkan kecuali pendapat yang kuat (baca : mu’tamad/terpilih) dalam madzhabnya dengan bertanya kepada seorang ulama yang memiliki keahlian dalam hal itu. Haram baginya untuk berfatwa dan beramal dengan pendapat yang lemah (tidak mu’tamad) jika tidak mengandung suatu hajat atau kemaslahatan.”
Contoh : Pendapat mu’tamad (terpilih)dalam madzhab Syafi’i, khutbah Jumat harus/disyaratkan dengan bahasa Arab. Kalau tidak dengan bahasa Arab, maka tidak sah. Namun pada kenyataannya, pendapat ini tidak diamalkan, khususnya di Indonesia. Yang diamalkan justru pendapat yang tidak mu’tamad, yaitu kuthbah dengan bahasa Indonesia. Karena jika disampaikan dengan bahasa Arab, mayoritas masyarakat atau bahkan semuanya tidak akan memahami apa yang disampaikan. Dan ini sebuah hajat atau kemaslahatan.
Perlu untuk diketahui, bahwa dalam hal ini, madzhab Syafi’i ada tiga pendapat : (1). Wajib dengan bahasa Arab dan tidak sah dengan bahasa selainnya. Ini pendapat yang mu’tamad, (2). Dianjurkan dengan bahasa Arab, tapi sah dengan bahasa selainnya, (3). Sah dengan bahasa selain bahara Arab jika ada hajat/kemaslahatan.
Ini baru dalam satu masalah. Dan masih ada masalah-masalah lainnya.
Dengan demikian, jika kita mendapatkan ada seorang baik ulama, atau ustadz, atau orang awam yang dikenal bermadzhab Syafi’i, tapi di sebagian amalannya tidak sesuai dengan pendapat mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, maka kita tidak boleh terburu-buru untuk menuduhnya “tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i”, atau “ingin cari enaknya saja”, atau “dia bukan Syafi’i tapi Syafi’iyyah”, atau tuduhan-tuduhan lain.
Semoga bermanfaat untuk kita sekalian. Mohon maaf jika kurang berkenan. Wallahu a’lam bi Ash-Shawab.
Abdullah Al Jirani
18 Juni 2020· Dibagikan kepada Publik
#Abdullah Al Jirani