Mengeraskan Suara Dzikir

Mengeraskan Suara Dzikir - Kajian Medina
Mengeraskan suara dzikir

Pendapat yang mu’tamad (resmi) dalam madzhab Syafi’i, dzikir setelah shalat dilakukan dengan suara pelan. Ketentuan ini berlaku untuk seorang yang shalat sendirian dan makmum. Dikecualikan seorang imam yang ingin mengajarkan dzikir kepada jama’ahnya, maka dibolehkan untuk mengeraskan suara dzikirnya.

Namun begitu, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyebutkan, bahwa ada ulama Syafi’iyyah yang membolehkan mengeraskan suara dzikir secara terus menerus, walau tidak ada keperluan pengajaran. Dan beliau adalah imam Al-Adzra’i.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H) berkata :

ويسر به المنفرد والمأموم ...إلا الإمام المريد تعليم الحاضرين فيجهر إلى أن يتعلموا. وعليه حملت أحاديث الجهر بذلك, لكن استبعده الأذرعي واختار ندب رفع الجماعة أصواتهم بالذكر دائمًا

“Dan dianjurkan untuk memelankan suara dzikir bagi seorang yang shalat sendirian dan makmum,...kecuali seorang imam yang menghendaki untuk mengajari para hadirin, maka boleh baginya untuk mengeraskannya sampai hadirin bisa belajar. Dan hadits-hadits yang menunjukkan dikeraskannya dzikir dibawa kepada kemungkinan ini. Akan tetapi, imam Al-Adzra’i menganggap hal ini terlalu jauh. Beliau lebih memilih pendapat dianjurkannya jama’ah untuk mengeraskan suara dzikir mereka secara terus-menerus.” [ Al-Minhaj Al-Qawim Syarhu Muqaddimah Al-Hadhramiyyah : 109 ].

Sehingga jika ada amalan mengeraskan suara dzikir setelah shalat fardhu di masyarakat, ada dua kemungkinan, pertama : mengikuti pendapat mu’tamad (untuk pengajaran), dan kemungkinan kedua : mengikuti pendapat imam Al-‘Adzrai yang membolehkan secara mutlak, baik untuk pengajaran atau tidak. Dan kedua pendapat ini ada sandarannya dari para ulama. Jadi, kita positif thingking saja. Jika kebetulan anda tidak mengeraskan, juga tidak salah. Yang salah, yang tidak shalat atau shalat tapi tidak pernah berdzikir.

Fiqh itu luas, hanya kita saja yang terkadang menyempitkannya. Semakin banyak belajar, insya Allah kita akan semakin mudah berlapang dada dalam perbedaan pendapat. Selain itu tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Sebagaimana dalam sebuah ucapan disebutkan : “Siapa yang banyak ilmunya, akan sedikit pengingkarannya. Dan siapa yang sedikit ilmunya, akan banyak pengingkarannya.”

Dulu saya pernah menghadiri undangan daurah asatidz (para ustadz) di Yogyakata dengan kepanitiaan salah satu faksi Salafi . Waktu itu syaikh yang diundang dari Saudi, yang tentunya bermadzhab Hambali. Saat waktu shalat Maghrib tiba, panitia meminta Syaikh tersebut untuk menjadi imam.

Begitu mengucapkan salam, ternyata syaikhnya berdzikir dengan suara keras. Sejenak hadirin yang notabene bermadzhab tarjih (?) dan menyakini akan bid’ahnya mengeraskan suara dzikirpun kebingungan. Tapi tanpa dikomando, hadirin akhirnya mengikuti syaikh mengeraskan suara dzikir mereka. Dalam praduga saya, mungkin untuk menghormati syaiknya. Kalau asumsi saya ini benar, kan enak. Tidak perlu ngotot dan ribut masalah khilafiyyah, tapi cukup saling menghormati. Wallahu a’lam.

_@Abdullah Al-Jirani

Abdullah Al Jirani
1 April pukul 17.17 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.