Memang benar, bahwa jumhur ulama (mayoritas ulama) termasuk di dalamnya madzhab Syafi’i lebih mengutamakan dzikir dengan dipelankan, tapi bukan berarti melarang (baca : mengharamkan atau membid’ahkan) dzikir dengan dikeraskan. Perhatikan! hanya “mengutamakan” saja. Inipun sebatas hukum asal, dimana terkadang bisa berubah menjadi hukum lain karena faktor manusia, zaman, keadaan, dan tujuan. Mari kita simak pernyataan imam An-Nawawi (w.676 H) berikut, supaya tidak gagal paham. Beliau mengatakan :
هَذَا دَلِيلٌ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيرِ وَالذِّكْرِ عَقِبَ الْمَكْتُوبَةِ...ونقل بن بَطَّالٍ وَآخَرُونَ أَنَّ أَصْحَابَ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعَةِ وَغَيْرَهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى عَدَمِ اسْتِحْبَابِ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِيرِ
“Hadits ini sebagai dalil terhadap apa yang telah dinyatakan oleh sebagaian salaf, sesungguhnya DIANJURKAN untuk mengeraskan suara takbir dan dzikir setelah sholat wajib...Ibnu Bathol dan yang lainnya menukil dari para ulama’ madzhab yang diikuti dan selain mereka, telah sepakat TIDAK ADA ANJURAN untuk mengeraskan suara dzikir dan takbir...” [ Syarh Shahih Muslim : 5/84 ].
Jika kita memperhatikan ucapan Imam An-Nawawi, beliau hanya menyatakan bahwa pendapat jumhur TIDAK ADA ANJURAN. Kalimat ini justru menunjukkan, bahwa jumhur membolehkan hal itu, namun tidak menganjurkan. Karena Imam An-Nawawi ketika menyebutkan dua pendapat di atas, dalam konteks menyebutkan dua pendapat yang sama-sama membolehkan, hanya perbedaannya DIANJURKAN ATAU TIDAK. Membolehkan, tidak harus menganjurkan. Dan tidak menganjurkan, tidak berarti melarang (dalam arti mengharamkan atau membid’ahkan).
Sehingga perputaran masalah yang ada, hanyalah pada dianjurkan atau tidak dianjurkan. Bukan antara halal dan haram, atau sunnah dan bid’ah. Oleh karena itu, jika dikatakan pendapat jumhur membolehkan mengeraskan suara dzikir setelah sholat, tidak salah. Hanya saja tidak dianjurkan. Sesuatu yang boleh belum tentu dianjurkan untuk dilakukan. Walaupun di dalam kondisi-kondisi tertentu, bisa saja menjadi dianjurkan. Seperti ketika ada hajat (kebutuhan terhadapnya), contoh untuk pengajaran atau hajat yang lainnya.
Penjelasan di atas akan bisa ketemu dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah-. Kalau kita teliti, pernyataan imam Asy-Syafi’i juga tidak mengharamkan atau tidak membid’ahkan mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu. Perhatikan ucapan beliau –rahimahullah- :
وَأَخْتَارُ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللَّهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنْ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ
“Aku MEMILIH untuk imam dan makmun agar berdzikir kepada Alloh setelah selesai dari sholat dan merendahkan/tidak mengeraskan suara dzikir, kecuali dia seorang imam wajib untuk dipelajari darinya, maka dia mengeraskan (suara dzikir).” [ Al-Umm : 151 ].
Kalimat Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- “Aku memilih....”, menunjukkan bahwa masalah mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu, suatu masalah yang ada keluasan di dalamnya. Suatu masalah yang di dalamnya ada ikhtiyar (pilihan). Boleh ini dan boleh itu. Bukan masalah antara haram dan halal, atau sunnah dan bid’ah. Pada akhirnya, ucapan Imam Asy-Syafi’i ini juga bermuara pada kesimpulan bahwa mengeraskan suarat dzikir setelah sholat fardhu adalah boleh ketika ada hajat (kebutuhan) salah satunya untuk pengajaran kepada makmum. Perhatikan kalimat : “kecuali dia seorang imam yang wajib untuk dipelajari darinya, maka dia mengeraskan (suara dzikir)”.
Pengajaran, termasuk salah satu bentuk hajat (kebutuhan) dari hajat-hajat yang ada untuk diperbolehkannya mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu (menurut Imam Asy-Syafi’i). Namun ini bukan satu-satunya,mungkin jadi ada hajat-hajat lain yang membutuhkan kepada hal itu. Kemudian, hajat akan berbeda-beda dengan perbedaan waktu, tempat, keadaan dan orang.
Jika kita melihat empat hal di atas (waktu, tempat, keadaan dan kondisi manusia), sangat mungkin akan didapatkan hajat lain yang semakna dengan pengajaran. Dan dalam hal ini memakai metode qiyas. Kalau kita cermati masyarakat awam yang ada di negeri ini, memang sangat awam dengan perkara agama mereka, terkhusus sholat. Ditambah kondisi masyarakat muslimin yang mulai terjauhkan dari agamanya oleh kesibukan duniawi.
Belum lagi kecenderungan mereka yang sulit untuk berdzikir setelah sholat. Hal-hal seperti ini sangat jelas termasuk hajat yang dibolehkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Dan bisa jadi, hajat untuk pengajaran itu akan terus dibutuhakan dari masa-masa ke masa karena adanya situasi dan kondisi yang menuntut akan hal itu. Jadi jangan ada pertanyaan, “Sampai kapan hajat itu ?”
Oleh karena itu, Syaikh Dr. Mushthofa Dib Bugho menyatakan : “Jika yang dimaksud adalah untuk keperluan pengajaran, sebagaimana kata Imam Asy-Syafi’i, maka kebutuhan untuk mengajari itu selalu ada, terutama di zaman kita yang banyak didapati kelalaian dan ketergesa-gesaan orang-orang setelah sholat untuk keluar masjid demi kesibukan dunia”. [Tanwirul Masalik : Kitab Sholat hal : 123 ].
Sehingga perbedaan dalam masalah ini, hanya antara dianjurkan atau tidak. Atau mana yang lebih afdhol saja. Akan tetapi, semuanya (baik yang menganjurkan atau tidak) sepakat bahwa hal itu tidak keluar dari hukum boleh. Kalau masalah mana yang lebih afdhol, maka Imam Al-Allamah Athahthawi –rahimahullah- menyatakan dalam masalah ini saat beliau mengkompromikan dalil-dalil dalam masalah ini :
إن ذلك يختلف بحسب الأشخاص و الأحوال و الأوقات و الأغراض.
“Sesungguhnya hal itu (berdzikir keras), akan berbeda-beda dengan perbedaan orang, keadaan, waktu dan tujuan.(terkadang lebih afdhal dikeraskan, dan terkadang lebih afdhal dipelankan).”[ Hasyiyah beliau terhadap Maraqil Falah Syarh Nurul Idhah hal : 318 cet. Darul Kutub Ilmiyyah ].
Ada suatu kaidah yang berbunyi : “Terkadang, ada sesuatu yang kurang utama akan menjadi lebih utama dilakukan. Demikian ada sesuatu yang asalnya lebih utama akan menjadi kurang utama untuk dilakukan. Keduanya dipengaruhi oleh empat yang telah disebutkan di atas, yaitu manusia, keadaan, waktu, dan tujuan.”
Mengajari masyarakat yang notabene awam dan buta aksara Arab, bukan sesuatu yang mudah walaupun saat ini sudah banyak dicetak buku-buku tentang masalah ini. Yang paling praktis dan hasilnya bisa maksimal, ya dengan ditalqin (diajari langsung). Dan waktu yang paling pas adalah sesuai shalat fardhu. Sehingga mengesankan bahwa yang dzikir keras itu salah mutlak dan bukan Syafi’i (pengikut madzhab Syafi’i) yang original, merupakan sebuah kekeliruan yang sangat fatal.
Apakah mereka yang mengeraskan suara dzikirnya punya dalil ? Jangan tanya “punya dalil atau tidak”, tapi tepatnya “mau minta berapa dalil”. Simak di link berikut : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=213521856085788&id=100022839249697
_@Abdullah Al-Jirani
Abdullah Al Jirani
21 Februari pukul 09.23 ·
baca juga : Mengeraskan Suara Dzikir Setelah Sholat Wajib, Berdosa?
#Abdullah Al Jirani