By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ini masalah unik, sejauh kita belajar fiqih mawaris di kitabnya, masalah macam ini tidak pernah muncul dalam pembahasan.
1. Warisan Antara Suami Istri
Al-Quran sudah jelas sekali menetapkan kalau suami wafat, maka istri jadi ahli warisnya, yaitu mendapat 1/8 atau 1/4 bagian. Sebaliknya, kalau istri wafat, suami jadi ahli warisnya, yitu mendapat 1/4 atau /2 bagian. Cek saja di An-Nisa 12.
Namun dalam kenyataannya, semua aturan itu kita buang jauh-jauh. Ternyata harta suami istri itu bercampur-aduk satu dengan yang lain, tidak jelas mana harta suami mana harta istri.
Nyaris ayat itu tidak bisa dijalankan, lantaran harta itu ternyata dianggap milik berdua antara suami dan istri.
Alih-alih istri mendapat 1/8 dari harta peninggalan suami, mereka para istri biasanya malah tidak membagi waris harta suaminya. Mereka langsung merasa jadi pemilik tunggal atas harta bersama itu. Seolah-olah ayat itu diubah menjadi 8/8 bagian untuk istri.
Akhirnya pembagian waris harta suami tidak jadi dilaksanakan, kecuali setelah istri meninggal dunia. Anak-anak pun kompak, mereka baru akan membagi waris harta ayah mereka hanya ketika ayah dan ibu mereka sudah wafat dua-duanya.
Sedangkan bila ibu mereka masih hidup, tak satu pun yang berani menanyakan harta warisan. Sebab hal itu dianggap sangat menyinggung ibu mereka.
Dan si ibu juga demikian. Kalau sampai ada anak yang menanyakan urusan harta warisan ayah mereka, langsung kecak pinggang sambil memaki,"Dasar anak durhaka. Mau ibu kutuk jadi batu?".
Ini adalah kasus yang selalu terjadi. Cek saja di keluarga kita masing-masing. Apakah harta ayah kita langsung kita bagi waris begitu beliau wafat? Ataukah kita anggap belum saatnya bagi waris selama ibu kita masih ada?
Dan anehnya, kita tidak temukan masalah macam ini di dalam kitab-kitab fiqih klasik, khususnya dalam bab Mawaris.
2. Harta Warisan Belum Laku Dijual
Masalah ini belum pernah saya temukan bentuk contoh teknisnya di kitab fiqih klasik.
Biasanya harta yang kita bagi waris itu berupa rumah orang tua kita. Dan sudah melekat di kepala kita bahwa bagi waris itu harus berupa jual rumah dan uangnya dibagi-bagi.
Sebab kalau rumahnya yang dibagi-bagi, sulit sekali secara teknisnya. Masak rumahnya mau dibelah-belah pakai tembok?
Jadi dalam kebanyakan kasus, rumahnya haris dijual dulu baru dibagi waris. Begitu kita selama ini mengira selama ini.
Ternyata rumahnya gak laku-lalu juga dijual. Kalau pun ada yang nawar, harganya belum tentu cocok. Akhirnya rumah itu dibiarkan saja tanpa pernah dibagi waris.
Sampai akhirnya para calon ahli warisnya malah pada mati duluan, saking kelamaannya nungguin kapan dibagi waris. Sampai lewat dua tiga generasi, barulah akhirnya dibagi waris. Tapi menghitungnya sudah ribet banget.
Belum lagi rumah itu jadi tanggungan siapa kalau ada kerusakan. Bahkan kalau pun ada salah satu anak yang coba merenovasinya, juga akan jadi masalah baru. Nanti biaya renovasinya itu bagaimana hitung-hitungannya?
Sampai botak cari jawaban masalah ini di kitab waris klasik, susah ketemunya.
3. Besaran Nilai Harta Berdasarkan Jasa
Seringkali dalam pembagian waris keluarga ada semacam pertimbangan berdasarkan jasa-jasa yang bersangkutan kepada almarhum.
Misalnya, anak paling bontot yang belum nikah biasanya kebagian yang merawat si emak. Lalu si emak wanti-wanti bahwa nanti kalau bagi waris, si bontot tolong diberi yang lebih banyak. Soalnya dia punya jasa yang cukup besar buat emak.
Dan biasanya permintaan emak langsung dibenarkan dan diamini secara bersama-sama. Dan hal-hal macam ini jelas tidak ada di kitab fiqih mawaris.
Padahal dalam fiqih mawaris, jasa seorang ahli waris sama sekali tidak ada hubungannya dengan besaran yang diterimanya.
Ahmad Sarwat
22 Februari pukul 16.17 ·
#Ahmad Sarwat