Di saat terjadi perkara besar dan genting di suatu negeri, hendaknya tidak ada yang berbicara kecuali para ulama Rabbani saja. Adapun orang awan seperti kita, hendaknya diam, mendengar, lalu berusaha melaksanakan arahan mereka. Hindari perselisihan ataupun perdebatan, apalagi memperdebatkan fatwa mereka. Karena mereka lah orang-orang yang paling mengerti tentang agama Allah Ta’ala. Mereka berbicara dengan ilmu dan ketaqwaan, bukan dengan hawa nafsu dan kejahilan.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” [QS. An-Nisa’ : 83]
Di antara tafsir “ulil amri” di dalam ayat di atas, adalah para ulama. Sebagaimana Imam Fakhru Ad-Dian Ar-Razi (w.606) dalam kitab tafsirnya menyatakan :
بِأَنَّ الْعُلَمَاءَ إِذَا كَانُوا عَالِمِينَ بِأَوَامِرِ اللَّه وَنَوَاهِيهِ، وَكَانَ يَجِبُ عَلَى غَيْرِهِمْ قَبُولُ قَوْلِهِمْ لَمْ يَبْعُدْ أَنْ يُسَمَّوْا أُولِي الْأَمْرِ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ، وَالَّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التَّوْبَةِ: 122] فَأَوْجَبَ الْحَذَرَ بِإِنْذَارِهِمْ وَأَلْزَمَ الْمُنْذَرِينَ قَبُولَ قَوْلِهِمْ
“Apabila para ulama adalah orang-orang yang paling mengerti berbagai perintah dan larangan Allah, maka wajib atas selain mereka (yang bukan ulama alias awam) untuk menerima ucapan/pendapat mereka. Dari sisi ini, tidak jauh jika mereka dinamakan ulil amri. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala : “Agar mereka memperdalam agama untuk bisa memperingatkan kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka mudah-mudahan mereka mendapatkan peringatan.” (At-Taubah : 122). Maka, Allah mewajibkan untuk berhati-hati (waspada) dengan peringatan mereka dan mengharuskan orang-orang yang diperingatkan untuk menerima ucapan mereka.” [Mafatihul Ghaib : 10/153].
Berbagai kekacauan timbul saat orang-orang jahil (bodoh) ikut berbicara, berfatwa, menetapkan hukum, menganalisa, dan mengomentari hukum-hukum agama, bahkan sampai taraf mengkritisi fatwa ulama. Kalaulah mereka mau diam, sungguh kondisi akan lebih baik. Sahabat Ali bin Abi Thalib menyatakan :
لَوَ سَكَتَ الجَاهِلُ مَا اَخْتَلَفَ النَّاسُ
“Jika orang bodoh mau diam, niscaya perselisihan di antara manusia dapat diminimalisir.”
Wallahu a’lam
_@Abdullah Al-Jirani
Abdullah Al Jirani
22 Maret pukul 14.07 ·
#Abdullah Al Jirani