By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Biasanya saya kalau menyampaikan materi fiqih ikhtilaf, saya tidak merajihkan satu pun pendapat para ulama.
Ini merupakan bentuk ihtiram dan apresiasi saya kepada para ulama. Sebab di belakang masing-masing pendapat itu pasti ada hujjah yang teramat kuat tak terbantahkan.
Sekaligus juga ada jutaan umat Islam yang sudah menjalankan pendapat masing-masing mazhab.
Maka narasi fiqih ikhtilaf saya berhenti sampai mengagumi logika hukum dari masing-masing ulama. Semuanya hebat, semuanya dapat pahala, semua dapat penghargaan.
Tapi saya pribadi tentu punya pilihan. Dan seringkali pilihan saya jatuh pada pendapat yang sejak kecil sudah saya pelajari dari guru-guru saya. Kalau dalam urusan mazhab, sulit bagi saya tidak pakai mazhab Syafi'i, karena kurikulum mengaji fiqih kita se-Indonesia memang Syafi'i.
Nggak mungkin lah tiba-tiba loncat pakai mazhab lain, hanya gara-gara diprovokasi pakai sebutir dua butir hadits. Kan suka ada yang asal ngomong bilang gini : Haditsnya Syafi'i dhoif maka tinggalkanlah.
Ya tidak sesederhana itulah, Om.
Memangnya saya anak kecil uang gampang dibohongin dengan dibego-begoin kayak gitu?
Ternyata yang sok nuduh hadistnya qunut shubuh itu dhaif, langsung pada bengong kalau baca hadits Imam Al-Baihaqi. Misalnya kitab As-Sunan Al-Kubro.
Ternyata jelas dan tegas bahwa Nabi SAW tetap qunut shubuh hingga wafat. Dan 100% shahih haditsnya. Yang pada sok nuduh akhirnya bengong nggak bisa jawab.
Ah, sudah lah. Kita tidak perlu ribut urusan qunut shubuh. Masing-masing mazhab ada dalilnya. Yang qunut ada dalilnya dan yang tidak qunut pun punya hujjah.
Mari kita belajar Fiqih Ikhtilaf, justru agar kita tidak perlu ikut berikhtilaf juga.
Ahmad Sarwat
19 Maret 2020 (32 menit ·)
#Ahmad Sarwat