Oleh : Ahmad Sarwat, Lc.MA
Biar bisa jadi mujtahid, kata para mahasiswa. Biar bisa berijtihad, kata yang lain.
Saya bilang, jawaban itu benar tapi kita harus ukur lebih akurat lagi.
Kalau seorang Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i atau Ahmad bin Hambal menggunakan ushul fiqih untuk berijtihad, tentu memang kewajiban mereka. Mereka memang mujtahid profesional, istilahnya mujtahid mutlaq mustaqil.
Bahkan seorang Asy-Syafi'i bukan cuma sekedar pakai ushul fiqih, justru Beliau adalah pencipta ilmu ushul fiqih itu sendiri.
Tapi kalau kita-kita ini belajar ushul fiqih, sebenarnya tidak ada target untuk menjadi usernya. Sebab kita ini tidak apa potongan sebagai mujtahid. Semua syarat jadi mujtahid dari nomor 1 sampai nomor kesekian, tidak ada satu pun yang terpenuhi.
So, terus buat apa kita belajar ushul fiqih kalau kita tidak akan pakai juga?
Jadi gini, kita belajar ushul fiqih kan cuma seperti orang datang ke pameran mobil. Kita datang, lihat-lihat, tanya ini itu ke salesnya, kumpulkan brosur, cari diskon dan hadiah, dan pulang. Itu namanya CLBK, Cuma Lihat Beli Kagak.
Pulang ke rumah kita cerita panjang kali lebar tentang berbagai merek mobil terbaru. Yang rada maju terus bikin review upload ke youtube, cerita ngalor ngidul.
Tapi apakah para pengunjung pameran mobil lantas jadi pada bisa bikin mobil sendiri? Jawabannya pasti tidak, tidak dan tidak.
Terus buat apa kita datang ke pameran mobil kalau pulangnya tetap tidak bisa bikin mobil sendiri?
Ya, karena tujuan pameran mobil bukan untuk melahirkan para produsen mobil. Kalau mau bisa bikin mobil sendiri ya bukan ke pameran, tapi sekolah atau kuliah, minimal jadi pegawai di pabrik mobil betulan.
Bahkan yang sudah sampai bisa bikin mobil sendiri sampai jadi pun, belum tentu bisa merilis karyanya hingga dipakai orang di jalanan. Masih banyak urutannya. Maka sekelas presiden pun belum tentu bisa menghasilkan mobil nasional.
Maka keliru besar kalau kita belajar ilmu ushul fiqih dengan tujuan bisa bisa jadi mujtahid. Itu namanya salah ukur, salah tafsir dan salah paham.
Kita belajar ushul fiqih itu seperti kita datang ke pameran mobil, yaitu untuk mengagumi produk karya para produsen mobil. Kita jadi punya respek, apresiasi dan rasa hormat, betapa hebatnya mereka yang bikin mobil itu. Lalu kalau ada uang, ya kita beli walaupun cuma sebiji doang, ngutang pula.
Ada juga sih yang pulang dari pameran mobil tidak berhenti mencela mobil yang dipamerkan. Tapi biasanya pelakunya memang tidak punya duit. Mau beli gak punya duit, akhirnya ngomel-ngomel aja.
Yang model kayak gini namanya CLBK Cuma Lihat Beli Kagak.
Ahmad Sarwat
28 Januari pukul 07.56 ·
#Ahmad Sarwat