by . Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Menyelewengkan Al-Quran biasanya dilakukan oleh orang kafir atau orientalis jahat untuk merusak agama Islam,. Namun potensi menyelewengkan Al-Quran sangat mungkin dilakukan oleh kita sendiri sebagai muslim.
Kita yang punya semangat keagaaman tinggi, namun bila kurang memenuhi syarat keilmuan dan kapasitas dalam memahami Al-Quran, bisa saja justru kita yang jadi tokoh jahat sebagai orang yang menyelewengkan Al-Quran.
Kita mungkin punya niat baik dan amat cinta Al-Quran, namun sangat besar kemungkinan tanpa sadar kita terjebak kekeliruan fatal ketika mulai menafsir-nafsirkan ayat-ayat itu tanpa perangkat yang benar, dan seringkali hanya berdasarkan logika akal semata.
Tanpa sadar ternyata ayat-ayat Al-Quran yang suci dan mulia kita tafsiri dan kita maknai dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang sudah baku dan ditetapkan oleh para ulama Al-Quran sepanjang 14 abad.
Di tengah eforia untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah, kecerobohan demi kecerobohan dalam menafsirkan Al-Quran nyaris tidak kita bisa dihindari. Semangat tajdid atau pembaharuan, sembari mengelorakan kampanye bahwa pintu ijtihad tidak tertutup, kemudian pada gilirannya membuka peluang banyak kalangan -termasuk kita sendiri- untuk meraba-raba secara buta ayat Al-Quran yang suci dan mulia.
Hanya Bermodal Bahasa Arab Dasar
Saya perhatikan banyak sekali teman-teman kita sendiri keliru memahami, dikiranya cukup dengan berbekal modal bahasa Arab seadanya sudah bisa menafsirkan Al-Quran. Padahal kemampuannya bahasa Arabnya masih kelas pemula dan masih terlalu mengandalkan kamus. Sayangnya ayat-ayat suci itu sudah diotak-atik sedemikan rupa berbekal Quran terjemahan. Dikiranya, kalau sudah bisa bahasa Arab, otomatis sudah bisa memahami Al-Quran.
Karena logika sederhananya mengatakan bahwa kendala dalam memahami Al-Quran hanya semata-mata masalah bahasa saja. Begitu kita sudah menguasai Bahasa Arab, otomatis kita sudah merasa paham Al-Quran dengan sendirinya. Suka tidak suka, nampaknya pemikiran yang amat sederhana inilah yang sekarang sedang berkembang di tengah generasi muslim modern atau muslim perkotaan.
Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak mentang-mentang seeorang bisa bahasa Arab, lantas kita langsung paham semua isi Al-Quran.
Kalau memang sesederhana itu, maka Al-Quran tidak perlu memakan waktu hingga 23 tahun untuk proses penurunannya. Cukup butuh waktu 10 jam saja untuk dibacakan secara non-stop, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para santri ketika melakukan semaan atau tasmi’ 30 juz Al-Quran.
Padahal masa 23 tahun itu dibutuhkan dalam rangka menjelaskan ayat per ayat secara detail. Disitulah salah satu fungsi Rasulullah SAW di tengah umatnya, Beliau bertugas bagaimana menjelaskan isi Al-Quran secara rinci dan detail. Dan ternyata membutuhkan durasi tidak kurang dari 23 tahun.
Padahal semua shahabat yang hidup bersama Beliau dan jadi murid Beliau itu orang-orang Arab. Mereka sudah pintar bahasa Arab sejak masih kecil, karena memang bahasa Arab adalah bahasa ibu mereka. Kalau anggapan 'asalkan bisa bahasa Arab berarti otomatis paham Al-Quran' itu benar, maka buat apa para shahabat masih harus dibimbing lagi oleh Nabi SAW selama 23 tahun? Suruh aja mereka baca sendiri, kan sudah paham? Ternyata tidak sesederhana itu, Ferguso.
Masalahnya, seringkali apa yang tertulis secara teks di dalam Al-Quran tidak selalu bisa dipahami secara harfiyah begitu saja. Untuk memahaminya dengan benar harus ada kunci-kuncinya, yaitu beragam jenis ilmu terkait Al-Quran.
Kalau tidak, maka resikonya akan ada begitu bayak ayat Al-Quran yang keliru dipahami. Sebabnya karena hanya mengandalkan teks zahir dari suatu ayat. Model seperti ini jelas merupakan kesalahan fatal yang berakibat pada kesesatan.
Mengira Al-Quran = Undang-undang Siap Pakai
Kesalah-pahaman lain yang juga amat fatal dan sering terjadi di tengah khalayak umat Islam mengira bahwa Al-Quran itu itu berupa Undang-undang yang turun dari langit begitu saja, sudah jadi dalam bentuk buku dan siap pakai.
Padahal yang sebenarnya tidak demikian. Al-Quran memang sumber hukum, namun Al-Quran bukan produk hukum itu sendiri. Ayat-ayat hukum yang hanya 200-an ayat di dalam Al-Quran oleh para ulama memang dijadikan sumber pengambilan hukum, namun perlu diketahui bahwa sumber itu masih mentah, masih harus diolah dan diproses biar menjadi hukum yang siap pakai.
Seringkali terjadi kasus dimana orang awam membaca Al-Quran, namun keliru besar ketika menerjemahkan atau menarik kesimpulan hukumnya. Dia mengira apapun yang tertuang di dalam Al-Quran, itulah undang-undang dan hukum. Padahal boleh jadi Al-Quran sedang bicara tentang hukum yang berlaku pada umat terdahulu dan tidak berlaku untuk kita. Tapi karena dia tidak paham, maka hukum itu pun dianggapnya undang-undang juga. Fatal sekali cara berpikirnya.
Kekeliruan ini tentu sebuah kesalahan fatal, yang kalau dibiarkan dan didiamkan saja, lama-lama jadi penyesatan terhadap Al-Quran. Memang tidak menista Al-Quran dalam arti mencela. Namun keliru dalam mengerti makna, tafsir dan hukum-hukum yang tekandung di dalam Al-Quran justru jauh lebih berbahaya ketimbang menista Al-Quran dalam bentuk menghina.
Bukankah lebih berbahaya berhadapan dengan kaum munafikin di Madinah ketimbang orang musyrikin di Mekkah?
Kalau musyrikin Mekkah memang jelas-jelas musuh yang nyata. Sedangkan kaum munafikin di Madinah itu bagai musuh dalam selimut, tiba-tiba menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan menyalip di tikungan.
Ahmad Sarwat
31 Januari pukul 10.44 ·
Tantangan Kembali Kepada Al-Quran
By Ahmad Sarwat, Lc.MA
Tidak semudah mengucapkannya, kembali kepada Al-Quran itu bukan perkara sederhana. Kalau sekedar klaim memang mudah kelihatannya. Namun begitu dijalankan, ternyata banyak sekali tantangannya.
Ada banyak sekali kendalanya. Tidak sembarang orang bisa melakukannya dengan benar. Hanya para ekspert dan ahlinya saja yang mendapatkan ijin melalukannya.
Sedangkan buat kita yang awam, bukan ekspert dan tidak terdidik dengan benar, diperingatkan dengan keras untuk tidak melakukannya, kecuali di bawah bimbingan dan pengawasan ahli.
Kembali kepada Al-Quran itu mirip dengan menerbangkan pesawat. Tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Tidak mentang- mentang dia orang kaya tajir melintir dan punya duit segudang buat beli selusin pesawat, kemudian merasa boleh seenaknya menyupiri pesawat.
Ahmad Sarwat
2 Februari pukul 08.18 ·
#Ahmad Sarwat