By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Pengajian kalau hanya berdurasi satu dua jam, lalu selesai begitu saja, tidak akan bisa memberikan ilmu secara sempurna. Yang ada cuma sekedar nambah wawasan dan pergaulan.
Barulah pengajian itu jadi bagus manakala menjadi rutinitas. Durasinya masih satu jam, tapi frekuensinya berkelanjutan hingga berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Mirip sebuah perkuliahan, jadwal suatu mata kuliah memang seminggu sekali. Tapi karena sudah ada silabusnya, maka tiap tatap muka menjadi bagian mata rantai yang sambung menyambung jadi satu. Dalam satu semester setidaknya terdiri dari 16 kali tatap muka.
Mirip dengan nonton film serial yang terus diputar bersambung hingga beberapa season. Jauh berbeda dengan film bioskop habis sekali nonton berdurasi 90 menit.
Sayangnya di beberapa majelis taklim yang saya temukan hal seperti itu tidak terjadi. Pengajian memang rutin, tapi nara sumber berganti-ganti terus. Alasannya biar jamaah tidak bosan.
Tapi yang bikin saya penasaran, kenapa kok jamaah bisa bosan dengan penceramah yang itu-itu juga?
Ternyata isi ceramahnya itu itu juga. Kemarin ceramah bicara tentang A, padahal sebelumnya juga sudah bicara A. Kalau hari ini masih bicara A lagi, jamaah pun bosan.
Sumber masalahnya justru di dalam ceramahnya yang isinya itu-itu saja. Mungkin si penceramah sangat terkesan dengan hadits : 'Ballighu 'anni walau ayah', sampaikan tentang Aku walau pun hanya satu ayat.
Ternyata kemampuan si penceramah memang hanya pada ayat yang satu itu saja. Ibarat pengamen jalanan, bisanya cuma nyanyi sebatas yang tiap hari dia hafal saja. Stoknya ya cuma satu lagu itu saja. Giliran ada request, dia ngacir.
Apakah cara seperti ini salah?
Hmm tidak juga. Cara seperti ini bagus, tapi akan jadi kurang cocok kalau salah penempatannya. Gaya pengajian yang umumnya kita kenal selama ini saya sebut dengan gaya entertainment. Gaya panggung hiburan.
Cirinya mudah, materi ringan-ringan saja. Banyak hiburannya, banyak ngelucunya, banyak konsumsinya, banyak biayanya. Ukuran kesuksesannya juga mudah, berapa jumlah jamaahnya.
Kelemahannya mudah ditebak, ilmu yang disampaikan kurang mendalam, kurang meluas dan juga kurang membekas. Jamaah pengajian macam ini tidak bisa diharapkan jadi kader yang bisa menyampaikan kembali materi yang pernah diterimanya. Lha ngaji cuma sekedar mengisi waktu luang saja.
Kalau mau ngaji yang mendalam dan meluas, maka pola macam ini kurang cocok. Polanya harus pola perkuliahan.
1. Materi Kajian
Harus ada mata kuliah yang spesifik yang jelas cabang ilmunya dan jelas nama mata kuliahnya. Apakah itu ilmu tafsir, ilmu hadits, atau kajian tafsir ayat, atau kajian syarah hadits, atau kah ilmu ushul fiqih atau kajian fiqih.
Dan harus juga disertai dengan silabus dan kejelasan tema tiap kajian.
2. Buku Pegangan
Yang paling ideal, nara sumber sudah menuliskan semua ilmunya dalam sebuah buku khusus untuk bahan materi kajian. Atau setidaknya kalau buku karya orang lain, maka ditahdid atau dibatasi bab-bab mana saja yang akan dikaji.
Buku itulah yang jadi buku pegangan wajib peserta setiap datang ke kajian. Setiap kajian, para pesertanya kudu bawa dan pegang masing-masing di tangan.
3. Nara Sumber
Harus ada nara sumber tetap jangan digonta-ganti, minimal sampai selesai satu semester.
Dan nara sumber itu memang pakar dan ahli di bidang itu.
4. Peserta
Pesertanya tidak harus banyak-banyak, tapi komitmen kehadirannya harus pasti. Jumlahnya cukup satu kelas dengan 30 sampai 40 orang. Tidak harus jamaahnya meluberi masjid.
Kalau sudah begini, barulah namanya Majelis Ilmu.
Ahmad Sarwat
29 November pukul 07.57 ·
#Ahmad Sarwat