Kisah Dimerdekakannya Tsuwaibah

Kisah Dimerdekakannya Tsuwaibah - Kajian Medina
Kisah Dimerdekakannya Tsuwaibah

Dalam literatur-literatur hadits dan sirah (sejarah) para ulama menyebutkan kisah Abu Lahab yang memerdekakan hamba sahayanya -Tsuwaibah- saat ia mengabarkan kelahiran Nabi ﷺ kepadanya dan bahwa ‘Abbas ibnu Abdil Muthollib bermimpi bertemu Abu Lahab setelah ia mati dan bertanya mengenai kondisinya. “Saya belum pernah merasakan kenyamanan setelah meninggalkan kalian. Hanya saja di neraka ini saya diberi minum, sebab memerdekakan Tsuwaibah. Dan setiap hari Senin saya mendapat keringanan siksa,” jawab Abu Lahab.

Saya katakan bahwa hadits ini diriwayatkan dan dikutip oleh sejumlah imam hadits dan sirah seperti Al-Imam Abdurrazaq As-Shan’aani, Al-Imam Al- Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Hafizh Al-Baihaqi, Ibnu Hisyam, As-Suhaili, Al-Hafizh Al-Baghawi, Ibnu Ad-Diibagh, Al-Askhar, dan Al- ‘Aamiri. Insya Allah hal ini akan saya jelaskan secara rinci.

Adapun Al-Imam Abdurrazaq As-Shan’ani maka ia telah meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Mushannaf ( jilid 7 hlm. 478 ), sedang Al-Bukhari meriwayatkannya dalam As- Shahih dengan sanadnya yang sampai pada ‘Urwah ibnu Az-Zubair dengan status mursal dalam kitab An-Nikah bab (وامهاتكم اللاتي ارضعنكم). Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari dan mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Isma’ili dari jalur Adz- Dzuhali dari Abi Al-Yaman. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar. Abdurrazaq berkata, “Hadits ini mengandung indikasi bahwa amal shalih kadang memberi manfaat untuk orang kafir di akhirat. Namun hal ini kontradiksi dengan makna konteks ayat Al-Qur’an dimana Allah berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Q.S. Al-Furqan : 23)

Kontradiksi ini bisa dijawab dengan : Pertama, status hadits di atas adalah mursal yang diirsalkan oleh ‘Urwah dan ia tidak menyebutkan sumber yang menyampaikan hadits kepadanya. Bila diibaratkan status hadits ini maushul maka yang terjadi dalam hadits adalah mimpi pada saat tidur yang tidak bisa dijadikan argumentasi. Barangkali yang dilihat Abbas dalam mimpi terjadi sebelum masuk Islam yang otomatis tidak bisa dijadikan hujjah juga. Kedua, jika hadits ini diterima, mungkin apa yang berkaitan dengan Nabi adalah kekhususan (pengecualian) dari firman Allah di atas dengan bukti kisah Abu Thalib di muka yang mendapat keringanan siksa dengan dipindahkan dari bagian neraka yang dalam ke bagian yang dangkal.”

Al-Baihaqi berkata, “Batalnya hadits di atas untuk orang-orang kafir maksudnya adalah bahwa mereka tidak mungkin menghindari neraka dan masuk surga. Boleh juga mereka mendapat keringanan siksa atas dosa selain kufur berkat perbuatan baik yang mereka lakukan.

Al-Qadli ‘Iyadl berkata, “Ijma’ telah sepakat bahwa amal perbuatan orang-orang kafir tidak memberi manfaat dan mereka juga tidak mendapat balasan kenikmatan serta keringanan siksa meskipun sebagian mereka mendapat siksaan yang lebih berat dari sebagian yang lain.”

Menurut saya pendapat Al-Qadli ‘Iyadl tidak menolak kemungkinan yang dikemukakan Al-Baihaqi. Karena semua informasi yang terkait dengan ketidakmanfaatan amal perbuatan orang kafir berkaitan dwngan dosa kufur. Adapun dosa selain kufur maka faktor apakah yang menghalangi diringankannya siksa?.

Al-Qurthubi menyatakan bahwa keringanan siksa ini khusus untuk Abu Lahab dan orang yang disebut dalam nash. Ibnul Munir dalam Al-Hasyiyah menegaskan bahwa dalam konteks ini terdapat dua persoalan. Pertama, sebuah kemustahilan, yaitu diperhitungkannya ketaatan orang kafir yang tetap dalam kekufurannya. Karena syarat ketaatan adalah harus terjadi dengan motif yang benar dan hal ini tidak ditemukan dalam orang kafir. Kedua, orang kafir diberi pahala atas sebagian amal semata-mata berkat karunia Allah. Jika masalah ini telah jelas maka tindakan Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah bukanlah sebuah perbuatan yang benilai ibadah yang diperhitungkan. Boleh saja Allah memberinya karunia apa saja sebagaimana yang telah diberikan kepada Abu Thalib. Dalam konteks ini yang menjadi acuan dalam menetapkan dan menafikan adalah ketentuan langsung dari Allah (Tauqif).

Menurut saya kelanjutan ucapan Ibnul Munir secara lengkap adalah : Karunia di atas ada karena memuliakan seseorang yang mendapatkan perbuatan baik dari orang kafir dan sebagainya. Wallahu a’lam. (Fathul Bari jilid 9 hlm. 145).

Adapun Al-Hafizh Ibnu Katsir maka ia telah meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah dan dalam komentarnya ia berkata, “Karena ketika Tsuwaibah menyampaikan kabar gembira akan kelahiran keponakannya “Muhammad” ibnu Abdillah maka seketika itu juga Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah. Akhirnya tindakannya ini dibalas dengan keringanan siksa.” As-Sirah An-Nabawiyyah jilid 1 hlm. 224.

Sedang Al-Hafizh Abdurrahman Ad-Dibai As- Syaibani, penyusun Taisirul Wushul maka ia telah meriwayatkan hadits tentang dimemerdekakannya Tsuwaibah dalam sirahnya dan menegaskan, “Saya katakan : “Keringanan siksa terhadap Abu Lahab semata-mata karena memuliakan Nabi ﷺ sebagai mana hal yang sama diterima Abu Thalib, bukan karena telah memerdekakan budak berdasarkan firman Allah :

وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

”.......dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” Dari Hadaa-iqul Anwar fi As-Sirah jilid 1 hlm 134.

Adapun Al-Hafizh Al Baghawi maka ia telah meriwayatkannya dalam Syarh As- Sunnah jilid 9 hlm 76.

Sedang Al-Imam Al-‘Amiri telah meriwayatkannya dalam Bahjatul Mahafil dan Al-Asykhar pensyarahnya mengatakan, “Ada versi yang menyatakan bahwa keringanan tersebut hanya khusus untuk Abu Lahab semata-mata demi memuliakan Nabi ﷺ sebagaimana Abu Thalib mendapat keringanan siksa berkat beliau ﷺ. Versi lain menebutkan bahwa tidak ada halangan bagi orang kafir mendapat keringanan siksa atas perbuatan baik yang ia lakukan.” Syarh Al-Bahjah jilid 1 hlm. 41.

Adapun As-Suhaili maka ia telah meriwayatkannya dalam Ar-Raudl Al-Anif fi Syarh Al- Bahjah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam dan mengatakan setelah mengutip hadits di atas, “Abu Lahab mendapat manfaat dari tindakannya memerdekakan Tsuwaibah pada saat ia berada di neraka seperti halnya saudaranya Abu Tholib memperoleh manfaat dari pembelaannya terhadap Rasulullah. Abu Lahab adalah penghuni neraka yang paling ringan siksaannya. Telah dijelaskan dalam Bab Abi Thalib bahwa keringanan ini semata- mata hanya berkurangnya siksaan. Bila tidak dimaksudkan seperti ini maka seluruh amal perbuatan orang kafir itu hangus menurut kesepakatan bulat para ulama. Maksudnya hangus adalah ia tidak menemukan amal baiknya terdapat dalam timbangan amal dan amal baik itu tidak membuatnya masuk surga.” Ar-Raudl Al-Anif jilid 5 hlm 192.

Kesimpulannya, kisah dimerdekakannya Tsuwaibah adalah kisah populer dalam hadits dan sirah serta dikutip oleh para imam hadits yang kuat. Cukuplah sebagai bukti untuk menguatkan adanya kisah ini bahwa Al-Bukhari telah mengutipnya dalam kitab shahih yang disepakati keagungan dan kedudukannya. Seluruh hadits musnad yang ada dalam kitab shahihnya disepakati berstatus shahih. Hingga hadits-hadits yang berstatus mu’allaq dan mursal tidak lepas dari kategori maqbul (diterima) dan tidak mencapai taraf ditolak. Fakta ini diketahui oleh para ulama yang menggeluti kajian hadits dan mushthalah hadits dan mereka yang mengerti arti hadits mu’allaq dan mursal serta memahami status hukum kedua hadits ini jika terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. Jika anda berminat mengetahui hal di atas, simaklah literatur Mushthalah Hadits seperti Al-Fiyah As-Suyuthi dan Al-‘Iraqi serta syarh keduanya, dan Tadrib Ar-Rawi. Para penyusun kitab-kitab ini menyinggung masalah di atas dan menjelaskan nilai hadits mu’allaq dan mursal dalam Shahih Al-Bukhari dan di mata muhaqqiqin keduanya diterima.
Selanjutnya persoalan ini adalah bagian dari keutamaan-keutamaan, keistimewaan- keistimewaan dan kemuliaan-kemuliaan yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitab khasais (keistimewaan-keistimewaan) dan sirah (sejarah) mereka. Mereka cenderung memberi kelonggaran dalam mengutipnya dan tidak menetapkan kriteria yang ditetapkan dalam hadits shahih sesuai dengan istilah yang berlaku. Jika kita menetapkan kriteria ini niscaya kita tidak mungkin menyebutkan sedikitpun sejarah Nabi baik pra maupun pasca diutusnya beliau. Padahal anda bisa melihat dalam kitab-kitab para huffadz yang menjadi acuan dan karya mereka menjadi pegangan dan dari mereka kita mengerti yang hadits dlo’if yang boleh disebut dan tidak, kita menemukan kitab-kitab mereka sarat dengan hadits-hadits maqthu’ dan mursal serta informasi-informasi yang bersumber dari para dukun dan semisalnya menyangkut keistimewaan-keistimewaan Rasulullah. Karena hal tersebut termasuk hal-hal yang boleh disebutkan dalam konteks ini.
Adapun statemen orang yang mengatakan bahwa hadits di atas kontradiksi dengan firman Allah :

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S. Al-Furqan : 23)

maka ini adalah statemen yang ditolak dengan pendapat yang telah dikemukakan para ulama dan dengan apa yang telah kami kutip dari mereka sebelumnya. Kesimpulan pembicaraan dalam persoalan di sini adalah bahwa ayat di atas itu menunjukkan bahwa amal perbuatan orang kafir itu tidak diperhitungkan.

Dalam ayat tersebut juga tidak menunjukkan bahwa mereka sama dalam menerima siksaan serta bahwa sebagian mereka tidak ada yang mendapat keringanan siksa sebagaimana telah ditetapkan para ulama. Demikian pula ijma’ yang telah disebutkan Al- Qadli ‘Iyadl. Ijma’ tersebut mencakup semua orang kafir secara umum. Di dalamnya tidak mengandung kesimpulan bahwa Allah tidak memberikan keringanan siksa kepada sebagian mereka karena amal perbuatan yang telah dikerjakan. Karena itu Allah menciptakan neraka Jahannam beberapa tingkat dan orang munafik berada di tingkat paling bawah. Kemudian ijma’ ini ditolak oleh nash shahih. Dan ijma’ itu tidak sah jika berlawanan dengan nash sebagaimana dimengerti oleh para pelajar. Mengapa ditolak? Karena telah terbukti dalam As-Shahih bahwa Rasulullah ﷺ ditanya, “Apakah engkau memberikan sedikit manfaat untuk Abu Thalib karena ia telah melindungi dan membelamu ?” “Saya menemukannya di jahannam dalam kepedihan dan saya keluarkan ke bagian yang dangkal darinya,” jawab Nabi. (Hadits).

Demikianlah Abu Thalib mendapat manfaat dari tindakannya membela Nabi dan berkat pembelaannya beliau mengeluarkannya dalam kepedihan dalam neraka jahannam ke bagian dangkal darinya. Keringanan siksa yang diperoleh Abu Lahab juga termasuk kategori inidan tidak perlu diingkari. Hadits di atas menunjukkan bahwa ayat tersebut berlaku untuk mereka yang tidak memiliki amal yang menjadi faktor diringankannya siksaan. Ijma’ juga memberi kesimpulan demikian. Dalam hadits yang menjelaskan Abu Thalib yang disebutkan terdahulu, terdapat indikasi bahwa saat sekarang dan sebelum hari kiamat Nabi ﷺ selalu beraktivitas dalam urusan-urusan akhirat dan memberi syafaat kepada mereka yang memiliki keterikatan dengan beliau serta memberikan pembelaan. Adapun orang yang menyatakan bahwa hadits tersebut adalah mimpi dalam tidur yang tidak memberikan ketetapan hukum maka ia -semoga Allah menunjukkan kebenaran untuknya- tidak mampu membedakan antara hukum syari’ah dan lainnya.

Dalam masalah hukum syari’ah ada perbedaan di antara para fuqaha’ apakah boleh mengambil hukum dan menshahihkan hadits berdasarkan mimpi Rasulullah dalam tidur atau tidak? Adapun dalam bidang selain hukum syari’ah maka menjadikan mimpi sebagai tendensi dalam tema di atas sama sekali bukan persoalan. Banyak para hafidz bertendensi dengan mimpi serta menyebutkan informasi yang ada dalam mimpi-mimpi kaum jahiliyyah pra diutusnya Rasulullah yang memperingatkan akan munculnya beliau dan bahwa beliau akan memberantas kemusyrikan dan sikap-sikap negatif mereka. Kitab- kitab sendiri sarat dengan informasi ini. Dan yang berada di garis depan adalah kitab Dalaa-ilu An-Nubuwwah. Para hafizh juga menilai bahwa mimpi sebagai irhashat (indikasi kenabian) yang bisa dijadikan argumen dalam masalah irhashat tersebut. Seandainya tidak bisa dijadikan argumen, niscaya mereka tidak akan menyebut-nyebut atau membicarakan mimpi.
Ucapan seseorang tentang mimpi ‘Abbas bahwa mimpi itu bukanlah hujjah dan tidak bisa menetapkan hukum dan berita (khabar) adalah ucapan yang keluar dari praktek para imam dari kalangan huffazh dan kalangan lain. Maksud dari ucapan itu sekedar menakut- nakuti, tidak ada motif lain. Dan tidaklah demikian sikap orang yang mengkaji kebenaran. Sedang perkara yang sebenarnya hanya Allah semata yang mengetahui.Adapun orang yang mengatakan bahwa yang bermimpi dam memberi informasi adalah ‘Abbas pada saat masih kafir sedang kesaksian dan informasi orang kafir tidak diterima, maka pandangan ini adalah pandangan yang ditolak dan tidak mengandung aroma keilmuan serta batil. Karena tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa mimpi termasuk dalam kategori kesaksian secara mutlak. Mimpi hanya masuk dalam kategori bisyarah (informasi menggembirakan). Maka tidak diperlukan syarat agama dan iman dalam masalah mimpi ini.

Bahkan di dalam Al Qur’an Allah menyebutkan mu’jizat Nabi Yusuf dari mimpi raja Mesir penyembah berhala yang tidak mengerti agama samawi sama sekali. Meskipun demikian Allah menjadikan mimpi sang raja sebagai salah satu indikasi kenabian Yusuf Alaihis Salâm dan keutamaannya. Allah juga menyebutkan mimpi sang raja bersama dengan kisah Yusuf. Seandainya mimpi itu tidak mengindikasikan apapun maka Allah tidak akan menyebutkannya. Karena mimpi itu mimpi orang musyrik penyembah berhala yang tidak ada gunanya sama sekali baik dalam mendukung atau menolak. Karena itu para ulama menyatakan bahwa saat tidur orang kafir bisa bermimpi bertemu Allah dan melihat sesuatu yang mengandung ancaman dan kecaman terhadapnya.

Yang sangat ganjil adalah ucapan orang yang mengatakan bahwa mimpi ‘Abbas terjadi pada saat masih kafir sedang kesaksian dan informasi dari orang-orang kafir tidak bisa diterima. Karena ucapan ini mengindikasikan ketidaktahuan tentang disiplin ilmu hadits. Sebab yang telah ditetapkan dalam mushthalahul hadits adalah bahwa sumber yang berstatus sahabat atau bukan jika menerima (tahammul) hadits waktu masih dalam kekafirannya lalu hadits itu ia riwayatkan sesudah masuk Islam maka hadits itu dapat diambil dan dipraktekkan.
Silahkan lihat contoh dari hal ini dalam literatur-literatur mushthalahul hadits agar Anda dapat mengetahui betapa jauhnya orang yang melontarkan ucapan di atas dari ilmu dan sesungguhnya hanya hawa nafsulah yang mendorongnya untuk terlibat pembicaraan mengenai tema yang tidak ia kuasai.

مفاهيم يجب ان تصحح

Nur Hasim
2 November pukul 11.19 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.