السؤال :
كيف يكون الاحتفال بالمولد النبوي، وهل يجوز أن نسميه "بعيد المولد"، وما حكم الإنشاد فيه وتقديم الحلوى والطعام، وهل يجوز أن يكون ذلك في المساجد؟
Pertanyaan:
Bagaimana cara merayakan maulid nabi?
Apakah diperbolehkan jika kami menyebutnya dengan Hari raya maulid?
Apa hukum bernasyid dan menyajikan manisan maupun makanan dalam merayakan maulid nabi itu?
Dan Apakah diperbolehkan jika hal-hal tersebut dilakukan di dalam masjid?
الجواب :
Jawaban Dairatul Ifta’ Yordania:
الحمد لله، والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله
Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam semoga tetap terlimpah pada Sayyidinâ Rasûlillâh
يكون الاحتفال بالمولد الشريف بتلاوة آيات الكتاب العزيز، ثم ذكر السيرة النبوية العطرة، والشمائل الكريمة، والحث على التمسك بالدين، وسماع المدائح النبوية، وختم المولد بالدعاء. والاحتفال بالمولد يشكل موسماً سنوياً لمزيد من الدعوة إلى الاقتداء بسنة النبي المصطفى صلى الله عليه وسلم، والسير على خطاه ونهجه، والله تعالى أمرنا بذلك، قال الله تعالى:
Perayaan maulid nabi bisa dilakukan dengan membaca ayat-ayat al-Quran, kemudian membaca sirah nabawiyah, syamail nabi, motivasi agar berpegang teguh dengan ajaran agama, menyenandungkan madaih nabawiyah (pujian terhadap nabi), dan mengakhirinya dengan doa. Perayaan maulid ini merupakan festival tahunan untuk meningkatkan dakwah hingga meniti sunnah Rasulillah ﷺ, serta menapaki jejak langkah beliau, karena Allah memerintahkan kita untuk itu. Allah berfirman:
(لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا) الأحزاب/21.
Sungguh ada dalam diri Rasulillah suri tauladan yang baik untuk kalian semua, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan Ia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
وأما تسميته بعيد المولد أو ذكرى المولد لا مانع منها؛ لأنه لا مشاحة في الاصطلاح، فالناس تقول: عيد العمال، وعيد الأم، وعيد الشجرة. والمقصود هنا العيد لغة أي الذي يذهب ويعود، لا المعنى الشرعي الذي هو يوم مخصوص فيه شعائر مخصوصة ويحرم الصيام فيه، فتسمية المولد بالعيد تسمية عرفية لا شرعية، ولا مانع منها.
Adapun penamaan acara tersebut dengan id al-maulid atau dzikrâ al-maulid tidaklah terlarang. Hal ini karena tak ada keraguan dalam istilah, masyarakat menyebut: Idul ummâl (Hari Buruh), Idul Umm (Hari Ibu), dan Id al-Syajarah (Hari Pohon), sementara maksud disini adalah Id secara etimologi yakni yang akan pergi dan akan kembali, bukan makna secara syar’i dalam arti hari tertentu yang terdapat syiar-syiar tertentu maupun diharamkan puasa di hari itu. Karenanya, penamaan maulid dengan Id merupakan penamaan yang sifatnya urfi (kebiasaan), bukan Syar’i, tentu saja hal ini tidak terlarang.
ويجوز الإنشاد في المسجد إذا كان مباحاً، ويستحب إذا كان في مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقد روى البخاري ومسلم (أن عُمَرَ مَرَّ فِي المَسْجِدِ وَحَسَّان يُنْشِدُ فَقَالَ: كُنْتُ أُنْشِدُ فِيهِ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ، ثُمَّ التَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، فَقَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "أَجِبْ عَنِّي، اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ القُدُسِ؟" قَالَ: نَعَمْ).
Dan hukumnya diperbolehkan menyenandungkan nasyid di masjid jika nasyid itu berisi hal-hal yang mubah, bahkan disunnahkan jika (konten) nasyid itu memuji Rasulillah ﷺ. Al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan bahwa Umar berlalu dalam masjid, di saat Hassân (bin Tsâbit) bernasyid, lalu Hassân berkata: Dulu Aku pernah bernasyid di sini, sementara saat itu ada orang yang lebih baik dari Anda (yakni Rasulullah). Lalu beliau menoleh kepada Abu Hurairah, lalu beliau bertanya: Aku mohon pada Anda -demi Allah- Apakah Anda pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Penuhilah seruanku. Ya Allah, kuatkanlah ia (Hassân bin Tsâbit) dengan Ruhul Kudus.
(Abu Hurairah) menjawab: Iya.
قال النووي: "فيه جواز إنشاد الشعر في المسجد إذا كان مباحاً واستحبابه إذا كان في ممادح الإسلام وأهله" [شرح النووي على مسلم 16 /46].
Al-Imam an-Nawawi berkata: Dalam riwayat ini terdapat hukum kebolehan menasyidkan syair dalam masjid jika (syair tersebut kontennya) mubah, bahkan hukumnya disunnahkan jika kontennya madâih (memuji) Islam dan ahlinya (Syarh an-Nawawi ‘alâ muslim 16/46).
وأما تقديم الحلوى والأمور الأخرى فهي من الكمالات، فإن وجدت لإظهار الفرح والسرور بمولد النبي صلى الله عليه وسلم فلا مانع من ذلك، وليست من شروط الاحتفال أو لوازمه، وفي كل الأحوال فإن إطعام الطعام أمر مستحب شرعاً؛ فعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: (تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ) رواه البخاري.
Adapun menyajikan manisan dan hal-hal yang lain, maka itu adalah bagian dari aksesoris. Karenanya, jika hal tersebut ada untuk mengekspresikan kegemberiaan dan kebahagiaan maulid nabi ﷺ, maka hukumnya tidaklah terlarang, toh itu juga bukan syarat ihtifal ataupun keharusan. Sementara itu, memberi makan itu kapan pun termasuk perkara yang disunnahkan secara syara’, berdasarkan riwayat Abdillah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya seorang laki-laki bertanya pada Nabi ﷺ, Islam seperti apa yang terbaik?
Beliau bersabda: Memberi makanan dan mengucapkan salam pada orang yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal. (HR. Bukhari).
والله أعلم
Nur Hasim
2 November pukul 06.32 ·
#Nur Hasim