Celaan Imam Syafi'i Terhadap Ilmu Kalam dan Ketidak Jujuran Penukilnya

Celaan Imam Syafi'i Terhadap Ilmu Kalam dan Ketidak Jujuran Penukilnya - Kajian Medina
"CELAAN IMAM SYAFI’I TERHADAP ILMU KALAM DAN KETIDAK JUJURAN PENUKILNYA”

Bagi mereka yang mencela ilmu kalam dan kemudian berhujjah dengan celaan Imam asy-Syafi’i dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i karangan al-Hafizh al-Baihaqi asy-Syafi’i al-Asy’ari, maka dipastikan mereka tidak jujur (tidak amanah), atau membacanya sepotong-sepotong (tidak tuntas) atau tidak faham. Tiga kemungkinan tersebut semua tercela dan sangat tidak layak dilakukan. Kecuali mereka tidak tahu atau murni kelalaian.

Hal itu juga berlaku bagi mereka yang mencela ilmu tasawuf dan kemudian berhujjah dengan celaan Imam asy-Syafi’i dalam kitab Manaqib di atas, maka dipastikan mereka tidak amanah dalam menukil, atau bacanya sepotong-sepotong atau tidak faham.

Yang mengherankan, mereka yang mencela ilmu kalam sering tidak faham apa itu ilmu kalam. Dan beberapa kali saya menemukan model orang seperti itu. Mereka menutup mata dari informasi lain atau pembanding yang dapat memperjelas masalah. Bagaimana bisa mereka menghukumi dan memvonis sesat suatu perkara, tetapi obyek hukumnya sendiri tak faham atau belum memahami.

Dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i di atas, adalah “benar” bahwa Imam asy-Syafi’i mencela ilmu kalam, tetapi ilmu kalam yang dimaksudkan beliau bukan ilmu kalam yang dipelajari dan difahami oleh Imam Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi atau ulama setelahnya.

Dalam kitab Miftahus Sa’adah, karangan Imam Thasy Kubra Zadah, disebutkan:

لا يخفى ان انكار السلف لا ينبغي ان يكون على كلام الاشاعرة والماتريدية بل على كلام الفلاسفة واهل الاعتزال وعلى كلام اهل الجدال بالباطل

“Tidak ada kesamaran bahwa pengingkaran salaf [terhadap ilmu kalam] tidak layak ditujukan kepada ilmu kalam Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, tetapi ditujukan kepada ilmu kalam kaum Falsafah, Muktazilah, dan ahli debat dengan kebatilan”.

Dari pernyataan itu dapat difahami, bahwa ilmu kalam ada yang terpuji dan ada kalam yang tercela. Dan banyak dari mereka yang tidak membedakan hal tersebut, padahal imam mereka, Syaikh Ibn Taimiyyah dalam kitab al-Furqan Bainal Haq wal Bathil pun membedakan antara kalam yang terpuji dan kalam yang batil.

Al-Hafizh al-Baihaqi dalam Manaqib di atas, tepatnya pada bab hubungan Imam asy-Syafi’i dengan ilmu kalam dan ahli ahwa’ (ahli bid’ah), berkali-kali menjelaskan bahwa maksud celaan Imam asy-Syafi’i kepada ilmu kalam adalah ditujukan kepada ilmu kalam ahli ahwa’ seperti Muktazilah dan lain-lain. Bahkan, Imam asy-Syafi’i sendiri diklaim sangat memahami ilmu kalam dan mengajarkannya kepada Imam al-Muzani saat kebingungan menghadapi syubhat kalam ahli bid’ah (Manaqib asy-Syafi’i 1/458).

Misal pernyataan beliau:

قلت انما اراد الشافعي رحمه الله بهذا الكلام حفصا وأمثاله من اهل البدع وهذا مراده بكل ما حكى عنه في ذم الكلام وذم أهله

“Komentarku: “Asy-Syafi’i rahimahullah memaksudkan kalam ini (celaan kepada ilmu kalam) adalah Hafash dan semacam dia dari kalangan ahli bid’ah. Dan inilah yang dikehendaki setiap ada hikayah dari beliau yang mencela kalam atau mencela pengamal ilmu kalam” (Manaqib asy-Syafi’i 1/454).

وفي حكاية المزني عن الشافعي دلالة على إنه كان قد تعلم الكلام وبالغ فيه ثم أستحب ترك المناظرة فيه عند الإستغناء عنها

“Dalam hikayah al-Muzani dari asy-Syafi’i, terdapat penegasan bahwa asy-Syafi’i mempelajari ilmu kalam dan bersungguh-sungguh. Kemudian beliau menganjurkan untuk meninggalkan debat dalam ilmu kalam saat tidak memerlukan” (Manaqib asy-Syafi’i 1/460).

Al-Hafizh al-Baihaqi juga berkali-kali menjelaskan bahwa kalam yang dicela Imam asy-Syafi’i adalah kalam ahli ahwa’ (ahli bid’ah) yang menyelisihi atau meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Pondasi hujjah-hujjah mereka adalah murni akal dan mensejejarkan kalam dengan al-Qur’an. Lalu saat disodorkan hadits untuk melawan argumentasi mereka, mereka akan mencurigai perawi haditsnya serta berpaling tak mengindahkan. ((Manaqib asy-Syafi’i 1/463).

Al-Hafizh al-Baihaqi juga beberapa kali menegaskan, tentang sunnahnya meninggalkan berdebat dan mensyiarkan ilmu kalam sekira tidak membutuhkan. Tentu saja hukum akan berubah saat ilmu kalam dibutuhkan.

Beliau berkata:

فأما الكلام الذي يوافق الكتاب والسنة وبين بالعقل والعبرة فانه محمود مرغوب فيه عند الحاجة تكلم الشافعي وغيره من أئمتنا رضي الله عنهم عند الحاجة

“Adapun kalam yang selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dan dijelaskan dengan logis dan perumpamaan, maka ia adalah ilmu kalam yang terpuji dan disukai ketika ada hajat. Imam asy-Syafi’i dan para imam kita yang lain pun membicarakan (ilmu kalam) sekira ada hajat” (Manaqib asy-Syafi’i 1/476)

Hidayat Nur
18 jam ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.