Lelaki Yang Menikah Dengan Peri

Lelaki Yang Menikah Dengan Peri - KKN Di Desa Penari
Seri Tafsir Quran ala Koran (17) : Al-Fatihah (2)

LELAKI YANG MENIKAH DENGAN PERI

Yang keliru dari kisah Nabi Adam adalah cerita tentang kehalalan inses (inggris: incest) atau perkawinan sedarah. Paling tidak, demikianlah pendapat yang dipeluk erat oleh Imam Ja'far Al-Shaddiq.

Sebagaimana disebut dalam Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, karya Nizham al-Din al-Naisaburi, sang Imam menggugat, "Bagaimana mungkin Nabi Adam melegalkan perkawinan sedarah, sementara cucunya kelak (Nabi Muhammad Saw) sangat membencinya (raghiba 'anhu)!?"

Pertanyaan semacam itu akan dijawab oleh mayoritas ulama dengan, "Li al-dharurah, sebab tidak ada yang lain, kecuali Qabil dan Habil serta saudari-saudari kandungnya (Ikrimah dan Labudza)."

Barangkali karena tidak puas dengan argumen yang begini, Imam Ja'far pun lantas menyuguhkan kisah alternatif.

Menurut beliau, pada mulanya Nabi Adam memiliki seorang putri bernama 'Anaq. Anak ini kemudian bertindak kurang ajar (baghat), hingga belum lama ia menikmati keindahan bumi, Allah pun mencabut nyawanya. Lalu lahirlah Qabil, disusul Habil. Mereka lahir sendiri-sendiri, tidak membawa saudari kembar.

Beranjak dewasa, dengan izin Allah, Qabil berkenalan dengan sosok jin perempuan. Namanya Jammalah. Nabi Adam, berbekal wahyu dari Allah, kemudian menikahkan dua sejoli tersebut.

Beda Qabil, beda pula kisah Habil. Si bungsu ini ndilalah dipertemukan dengan bidarari (haura'), dalam wujud manusia yang telah dipasang rahim, bernama Bazlah. Seperti sebelumnya, berdasarkan perintah Tuhan, Nabi Adam menjodohkan Habil dan Bazlah, yang kemudian ditentang dengan amat keras oleh Qabil.

"Bukankah aku lebih tua dari Habil?" teriak Qabil dengan muka geram.

"Betul," jawab Nabi Adam.

"Kalau begitu mestinya aku lebih berhak atas bidadari itu!" seru Qabil bersungut-sungut.

Maka yang harus terjadi pun terjadilah. Alur berjalan seperti kisah ini pada umumnya, yang berujung pada pembantaian Qabil terhadap Habil; alegori tentang dosa pembunuhan pertama yang dilakukan oleh manusia.

Ini cerita yang aneh, tentu saja. Tapi bagi Imam Ja'far al-Shadiq, cerita tentang perkawinan sedarah lebih musykil lagi. Anda lalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang lelaki dapat menikahi peri, makhluk halus laiknya jin dan bidadari?

Berkaca pada khazanah keilmiahan Islam, model pernikahan "cross platform" macam ini sebetulnya bukan sesuatu yang asing, meski bukan tidak menjadi perdebatan.

Imam Al-Suyuthi, umpamanya, dalam al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil, menyatakan kemungkinan pernikahan (atau, maaf, hubungan seksual) antara manusia dan jin. Gagasan ini digali dari Al-Quran Surat Al-Rahman ayat 74, yang berbunyi, "lam yathmitshunna insun qoblahum wa laa jan, mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelumnya, dan tidak pula oleh jin".

Imam Al-Tsa'alabi, seperti dicatat dalam Akam al-Marjan fi Ahkam al-Jan, menyatakan, "Anna al-tanakuha wa al-talaquha qad yaqa'ani baina al-insi wa al-jin, pernikahan dan atau perkawinan kadang terjadi antara manusia dan jin".

Itulah sebabnya dalam Mafatih al-Ghaib, Imam Al-Razi menyebut bahwa meskipun terdapat perdebatan mengenai soal ini, gagasan tentang jin dapat menggauli manusia merupakan pendapat yang masyhur. Sementara satu dari sejumlah ulama yang menolak kemungkinan ini adalah Imam Al-Mawardi, seperti ditunjukkan dalam Asna al-Mathalib karya Syeikh Zakariya Al-Anshari.

Imam Malik bin Anas, pendiri Madzhab Maliki, suatu saat kedatangan tamu. "Seorang lelaki dari bangsa Jin melamar anak gadis kami. Bagaimana pendapat Anda, wahai Syaikh?"

Imam Malik menjawab, "Aku tak pernah tahu ada jawaban dari persoalan ini di dalam agama. Tapi satu hal membuatku risih, kalau nanti seorang perempuan hamil ditanya, 'siapa bapak dari anakmu?', dan ia menjawab, 'seorang jin', maka agama bakal jadi kacau balau."

Problem ihwal pernikahan antara manusia dengan jin barangkali memang bukan soal apakah hal itu mungkin terjadi atau tidak, tetapi lebih pada masalah hukum (fiqh)-nya.

Orang yang acapkali disebut dalam kitab fiqh, dan yang seringkali dihubungkan dengan fatwa kebolehan menikah dengan jin, adalah Imam Al-Qammuli. Dalam Asna al-Mathalib dikutip pernyataan beliau, "Aku pernah bertemu seorang syaikh yang shalih, yang menikah dengan jin". Imam Al-Damiri juga mengisahkan hal serupa, "Ada seorang Ahli Quran dan Ahli Ilmu yang menikah dengan empat orang jin".

Tapi, lebih dari itu semua, kelompok ini menemukan pembenaran (dalil) dalam riwayat Ratu Bilqis, istri Nabi dan sekaligus Raja Sulaiman 'alaihis salam.

Konon, Bilqis adalah manusia setengah jin, sebab salah satu dari kedua orang tuanya (ahadu abawaihi) termasuk golongan jin. Dikisahkan oleh Imam Al-Qurthubi, dalam al-Jami' li Ahkam al-Quran, Ayahanda Bilqis merupakan penguasa negeri Yaman, bernama al-Sarh. Kakeknya, Hadahid bin Syarahil bin Adad bin Hadar bin al-Sarh bin al-Haras bin Shaifi bin Saba' bin Yasyjab bin Ya'rub bin Qahtan bin 'Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh, memiliki 40 orang anak yang kesemuanya menjadi penguasa.

Al-Sarh (ayah Bilqis) memang agak sombong memaklumkan, "Tak ada satu raja pun di bumi ini yang setara (kafuan) dengan diriku". Karena sikapnya ini, Al-Sarh pun dijauhi oleh komunitas penguasa pada saat itu, sehingga tak ada yang mau mengambilnya sebagai menantu.

Suatu hari, Al-Sarh berburu. Di tengah hutan, ia bertemu dengan Raja Jin dalam bentuk seekor rusa. Jin ini mengundang Al-Sarh berkunjung ke pedalaman, melihat kota dan istana jin di sana. Al-Sarh terpesona dengan keindahan yang ia temukan dan merasa kerasan. Kedua raja dari dua ras yang berbeda ini, ras manusia dan ras jin, akhirnya saling bersahabat, sampai Raja Jin memutuskan untuk mengambil al-Sarh sebagai menantu.

Jin yang dinikahi Al-Sarh bernama Raihanah. Dan Raja Jin sekaligus mertua al-Sarh bernama al-Sakn. Dari rahim Raihanah Al-Jinniyah inilah lahir Balqamah, yang kelak dikenal dengan Balqis atau Bilqis.

Banyak yang meragukan keabsahan riwayat ini. Atau kalaupun benar, maka aturan pernikahan manusia-jin ini merupakan syariat-nya Nabi Sulaiman, yang tak bisa serta merta diaplikasikan pada Syariat Nabi Muhammad Saw. Pada sebuah hadits, yang dikutip Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, disebutkan, "Nahaa Rasulullah Saw 'an nikahil jinni, Nabi Saw melarang pernikahan dengan jin."

Selain itu, terdapat sejumlah ayat dalam Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa pernikahan manusia-jin memang tidak diperkenankan. Diantaranya Surat Al-Rum ayat 21, yang lazim dipetik sebagai penghias undangan pernikahan: "Wa min ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaja," yang biasanya diterjemahkan, "dan diantara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri."

Ayat ini sebetulnya multitafsir, dan kuncinya terletak pada diksi "min anfusikum".

Kata "anfus" dalam ayat tersebut bermakna "diri", dan "min anfusikum" dengan demikian dapat dimaknai "dari bagian dirimu sendiri". Bagi kelompok yang pro pernikahan manusia dan jin, ayat ini sebetulnya sekedar penegasan kisah Ibu Hawa yang merupakan perwujudan dari diri (tulang rusuk) Nabi Adam. Jadi, ayat ini sebetulnya tidak sedang membicarakan, atau apalagi menentang, pernikahan manusia dengan jin.

Sementara itu, untuk kalangan yang anti pernikahan manusia dengan jin, penggalan ayat tersebut dimaknai "dari jenismu sendiri", atau "dari rasmu sendiri", seperti dalam terjemahan yang umumnya kita pakai sekarang. Dan itu berarti pernikahan manusia dengan jin, yang jelas berlainan jenis itu, seketika batal.

Sejauh dalam konteks fiqh, kebolehan pernikahan dengan jin mengundang implikasi yang cukup serius, tetapi juga menggelitik. Dikatakan serius karena aspek-aspek penting tentang cara bersosialisasi dengan jin masih belum sepenuhnya selesai, seperti bagaimana cara menafkahi, mekanisme cerai, proses iddah, prosedur persetubuhan, dan seterusnya, dan lain sebagainya. Imam 'Izzudin ibn 'Abd Al-Salam meringkas problem tersebut dalam ujaran, "manusia tidak akan mampu menyejahterakan jin (la yaqdiru taslimaha)."

Tak terbayangkan bagaimana jadinya pada saat kita sedang --mohon maaf-- berhasrat, tiba-tiba istri jin kita muncul dalam wujud ular atau anjing, bukan dalam bentuk manusia? Itu adalah satu dari pertanyaan musykil yang juga pernah dikemukakan Syeikh Zakariya Al-Anshari.

Itulah sebabnya fatwa-fatwa yang beredar di seputar pernikahan jin dan manusia acapkali menggelitik. Misalnya, menurut Imam Al-Qammuli, orang dapat berpoligami dengan 40 jin sekaligus. Atau bahwa, seperti dicontohkan Syeikh Sulaiman Jamal al-Ujaili, dalam Hasyiyah Jamal 'ala Syarh al-Minhaj, seseorang diperkenankan menyetubuhi anjing, kalau ia menduga bahwa anjing itu adalah perwujudan istrinya yang jin. Dan bahwa orang tidak batal wudhu atau tidak dianggap berzina, selagi perempuan jin yang disentuh atau disetubuhi tidak dalam bentuk manusia.

Tabarakallah… Ribet, tapi juga lucu.

Yang jelas, mayoritas ulama menyatakan keharaman menikah dengan jin. Dan sebetulnya, untuk sekedar dapat berdekatan dengan jin, Anda tak perlu harus menikahi salah satu dari mereka.

Anda tak perlu menjadi seperti Zaid Al-'Ammi, yang hampir setiap hari berdoa, "Ya Tuhan, karuniakan kepadaku istri dari golongan jin". Ditanyakan kepadanya, "Hei Zaid, apa yang akan kau perbuat dengan istri jin-mu itu?" Ia menjawab, "Agar setiap saat istriku bisa berada di sampingku."

Sekali lagi, sebetulnya tak perlu sampai seperti itu, sebab Syeikh Abu Bakar bin Abid, dalam Makayid al-Syaithan, telah menegaskan, "Tidak ada rumah seorang muslim, kecuali di atap rumahnya terdapat jin yang juga muslim. Tiap kali keluarga itu makan, jin itu turun dari atap, ikut makan bersama. Allah membiarkan jin-jin ini hidup berdampingan dengan keluarga tersebut, dengan maksud melindungi mereka dari keburukan jin yang lain (yadfa'ullahu bihim 'anhum)."

Sekelompok jin ada di sekitar kita, meski kita kerapkali tak sanggup melihatnya. Apakah itu berarti mereka bisa melihat kita?

Ya, bahkan mereka bisa mengintip ketelanjangan, saat misalnya kita berada di jeding. Setidaknya begitulah pendapat Syeikh Badr al-Din al-Syibli, penggubah Akam al-Marjan. Kendati demikian, Nabi bersabda, "Terdapat penghalang di antara penglihatan jin dan aurat umatku, selagi mereka mengucap bismillah saat hendak masuk kamar kecil."

Anda juga sebetulnya dapat mencoba-coba bersetubuh bareng jin. Caranya!? Gaulilah istri Anda dalam kondisi dia sedang haid (menstruasi). Pada saat itulah para jin datang, ikut bersetubuh bersama Anda.

Alhasil, Anda hanya harus tahu, ada resiko dalam setiap kompromi buruk kita dengan jin, sadar maupun tidak. Dalam persetubuhan yang melibatkan jin, umpamanya, terdapat juga efek tak baik. Imam al-Tharthusi dalam Tahrim al-Fawahisy menyebutkan, "Anak hasil persekutuan dengan jin inilah kelak akan menjadi mukhannats."

Maa al-mukhannats? Wa maa adrooka maa al-mukhannats? Apa itu mukhannats? Tahukah Anda apa itu mukhannats?

Mukhannats adalah apa yang sekarang kita kenal sebagai waria, atau transgender, alias bencong, atawa banci.

Wallahu a'lam bis shawab.

Rumah Cahaya,
Lukman Hakim Husnan

Lukman Hakim Husnan bersama Bem Stiq Al-Lathifiyyah dan 3 lainnya.
6 September pukul 23.52 ·


baca juga beberapa tulisan tentang Jin dan Syetan dalam literatur Islam :

Karena Jin Pun Punya Agama
Memusuhi Setan, Mengawini Hantu-Hantu
Lelaki Yang Menikah Dengan Peri
Kisah Rumah Angker, Jin Ular dan Keberkahan Al-Quran
Setoran Al-Quran Jin Mukmin 1 Juz 1 Week
Bagaimana Setan Menyerang Hati Manusia?
Tamu Tak Diundang Di Butta Salewang
Qorin, Sang Jin Pendamping

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.