by. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Bikin radio? Hari gini siapa yang masih mendengarkan radio?
Itu adalah kalimat yang selalu saya dengar ketika saya bilang mau mendirikan radio. Bahkan teman-teman ustadz di Rumah Fiqih sendiri pun awalnya pada heran dan bertanya.
Jawaban saya sederhana saja. Memang era milenial sekarang orang lebih kenal youtube, WA, IG, FB dan sejenisnya. Mana kenal mereka dengan stasiun radio dan siaran-siarannya.
Tapi jangan lupa bahwa bersosial media justru sudah mulai dianggap sebagai penyakit yang unik, karena bisa mendekatkan yang jauh, sekaligus menjauhkan yang dekat.
Sebuah keluarga duduk semeja di meja makan, ayah asyik dengna hpnya, ibu juga, anak-anak juga. Jari-jari mereka sibuk pencet sana pencet sini.
Jamaah pengajian, sementara ustadznya ceramah dengan serius, hadirinnya malah sibuk apdet status. Dosen diskusi maraji' kutub, mahasiswa malah nonton youtub.
* * *
Sebaliknya, mendengarkan radio bisa dilakukan secara bersama-sama, bisa dengan cara serius dan bisa juga dengan cara sambil lalu.
Bisa sambil kerja, atau sambil ngopi, juga bisa sambil makan, sambil istirahat, sambil nyetir mobil sekalipun bisa dan tidak mengganggu konsentrasi menyetir. Ditilang gara-gara nyetir sambil mainan HP sudah banyak kejadian, tapi tidak mungkin ditilang gara-gara dengerin radio.
Pagi di dalam kepadatan bus sambil gelayutan di TransJakarta, sulit rasanya buka HP. Tapi kalau pakai headset dengerin radio, itu mudah sekali.
Bahkan bisa juga sambil pura-pura merem di MRT, atau sambil nangkring di ojek otw kantor, sambil macet, sambil delay pesawat, sambil insomnia gak bisa tidur malam-malam, sambil laper, bahkan sambil ngarit di sawah. Sama sekali tidak mengganggu aktifitas kerja.
Lihat di bengkel dan pabrik, meski tangan mereka sibuk mengerjakan tugas, tapi alunan suara radio seusai acara pilihan tetap keras terdengar.
* * *
Satu lagi yang jangan dilupakan, yaitu era kejayaan Brama Kumbara Satria Madangkara. Sandiwara radio Saur Sepuh yang sekian puluh tahun lalu menghebohkan rimba persilatan. Siapa yang tidak kenal dengan kisah fiksi berlatar-belakang sejarah zaman Majapahit, yang kita dengar lewat radio swasta di era tahun 80-an dan 90-an.
Dan sezaman dengan itulah kita kenal suara mantab ceramah KH. Zaenuddin MZ Allahu yarham. Hampir semua stasiun radio di semua kota dan desa menyiarkan rekaman kaset beliau.
Parto, Akri dan Eko itu memulai debut ngelawaknya lewat Radio SK (Suara Kejayaan). Setelah sebelumnya Mi'ing, Didin dan Unang sudah mengawalinya. Dan sebelumnya lagi Dono, Kasino, Indro Warkop DKI mengawali debut mereka di Radio Prambors.
Kalau mau yang lebih heroik, pekik Allahu Akbar Bung Tomo tahun 45 yang historik itu munculnya di Radio Republik Indonesia (RRI).
* * *
Tapi itu kan dulu, sekarang kan zaman sudah berganti. Apa tidak sia-sia bikin radio? Lagian siapa yang punya radio transistor di hare gene? Bukannya semua orang sekarang pegang HP?
Apalagi izin mendirikan radio itu bukannya susah dan mahal? Dan frekuensinya sudah sedemikian padat bahkan bertumpuk-tumpuk, tumpang tindih dan gelombang bisa tiba-tiba hilang berganti dengan gelombang radio yang lain.
Ya zaman berubah, teknologi juga berubah. Sudah tidak ada lagi pesawat radio di rumah kita sekarang. Itu benar sekali.
Tapi jangan lupa juga bahwa kita sudah masuk era digital, termasuk TV dan radio juga. Justru perubahan teknologi yang apa-apa serba digital malah melahirkan radio digital, yang ternyata malah jadi mudah, murah, terjangkau dan tanpa ribut dengan gelombang frekuensi.
Bikin radio digital alias radio streaming jadi semudah bikin akun di medsos. Bahkan siapa saja bisa bersiaran radio sendiri, dari mana saja dan kapan saja. Dimana jangkauan siarannya justru mendunia, menembus sekat-sekat kota, desa, profinsi, negara, bahkan benua dan samudera.
Radio streaming yang berteknologi digital itu malah jadi stateless, tidak dibatasi jarak. Pokoknya dimana saja di muka bumi yang masih terjangkau internet, maka bisa diakses.
Bagaimana Dengan Kuota?
Mendengarkan radio streaming sangat ramah kuota, apalagi bila dibandingkan dengan nonton yutub. Karena data suara tentu jauh lebih singset dari pada data berupa video atau film.
Kata teman saya, untuk dengarkan radio streaming 24 jam masih lebih hemat kuota ketimbang nonton yutub 1 jam.
Belajar Fiqih via Radio
Karena saya dan teman-teman di Rumah Fiqih Indonesia punya konsern dalam pengajaran ilmu fiqih, maka semua yang kita ekspose tidak jauh-jauh dari ilmu fiqih. Web kita isinya serba fiqih, ada konsultasi fiqih, pdf free waqaf, video, buku cetak dan yang terakhir kita inisiasi radio. Namanya RRFI kepanjangan dari Radio Rumah Fiqih Indonesia.
Secara free bisa dengarkan penyampaian ilmu-ilmu keislaman, 24 jam sehari, non stop terus-terusan.
And everything I had to know
Dan semua yang harus kuketahui
I heard it on my radio
Saya mendengarnya di radio saya
www.rumahfiqih.com/radio
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.application.sharetv
Ahmad Sarwat
5 jam ·
#Ahmad Sarwat