by. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Tahun 1991 ketika saya haji dulu, saya ikut kloter 4 embarkasi DKI Jakarta. Berarti itu hari pertama adanya rombongan jamaah haji dari Indonesia. Dan jarak waktu untuk sampai kepada hari wuquf tgl 9 Dzulhijjah masih sebulan ke depan.
Jadilah kami jalan-jalan dulu ke Madinah 9 hari, terus baru ke Mekkah. Itu pun masih jauh ke hari H.
Awalnya dulu saya rada protes, kenapa kita kayak diterlantarkan gini. Puncak wuquf di Arofah masih lama, kok sudah didatangkan duluan.
Tapi gara-gara arus mudik dan arus balik tiap tahun, kemudian saya jadi paham. Kalau semua jamaah haji datang berbarengan pas menjelang hari H, pastilah macetnya gak ketulungan.
Karena itu ada strategi memecah arus kayak pas mudik lebaran. Sejak jauh sebelum hari H, sudah banyak instansi dan kantor yang diliburkan. Dari H-10 kalau bisa sudah mulai berangsur-angsur ada yang mudik. Biar nanti pas H-2 dan H-1 tidak terjadi penumpukan.
Begitu juga dengan arus baliknya, dibikin strategi biar masuk kantor pasca lebaran tidak terlalu mepet. Biar arus baliknya pun tidak terjadi penumpukan.
Kembali ke arus jamaah haji, bayangkan kalau 210.000 orang mendarat bareng di Bandara Jeddah King Abdul Aziz. Jangan lupa jamaah haki bukan Indonesia saja, tapi 1/1.000 dari muslimin sedunia yang jumlah totalnya 1.5 milyar.
Bisa-bisa pesawat kita muter-muter di atas Jeddah selama seminggu, nggak turun-turun, karena harus antri biar dapat landasan kosong.
Saya pernah beberapa kali mengalami yang kayak gitu, pas mau mendarat di Adi Soecipto Bandara Jogja. Pesawat gak turun-turun juga, cuma muter-muter ke Gunung Kidul, terus ke jalan Parang Tritis, terus ke jalan Wates, terus ke jalan Magelang Sleman lewat di atas kampung emak saya, terus ke Timur arah jalan Kaliurang, Boyolali, Prambanan, terus Gunung Kidul lagi. Bolak balik beberapa kali.
Komen pak pilotnya dari kokpit lucu juga, hitung-hitung ini Jogja city tour dari udara secara free naik pesawat.
Kalau muter-muter 15-20 menit sih boleh juga. Tapi kalau seminggu muter-muterin bandara Jeddah, ya ogah. Makanya jadwal kedatangan jamaah haji diatur biar tidak terjadi penumpukan.
Dan jadilah saya di tahun 1991 itu dapat giliran paling awal, masih sebulan dari puncak haji, saya sudah 'muqim' di Mekkah. Hajar aswad pun belum antri, masih bisa cium berkali-kali sepuas-puasnya. Ada hikmahnya juga datang duluan.
Cuma kita harus hati-hati jaga kondisi, sebab kalau pas puncak acara haji bulan depan malah koleps, kan nggak lucu. Untungnya hotel depan masjid, tinggal loncat langsung nyampe masjid. Kerjaan kita cuma bolak balik ke masjid sehari 5 kali.
Labbaik Allahumma Labbaik
Ahmad Sarwat
27 Juli pukul 08.36 ·
#Ahmad Sarwat