By. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
1. Umumnya media sosial terdiri dari akun-akun anonim yang tidak jelas siapa jati dirinya. Boleh jadi satu orang punya beberapa akun dan di media sosial berdebat sendiri.
2. Kalau pun akun itu benar2 mewakili individu betulan, tapi kapasitasnya untuk memperdebatkan suatu masalah jelas di luar garis. Ibarat obrolan orang di warung kopi. Bedanya di warung kopi 100% ngomong tidak ada yang dengar, hilang begitu saja. Sementara di media sosial, sampah-sampah itu naik kelas jadi kitab suci yang dijadikan hujjah para profesor doktor media sosial. Ada jejak digitalnya.
3. Banyak kalangan intelek dsn cedekiawan yang mundur ke zaman jahiliyah, ketika mereka keliru menjadikan semua sampah di media sosial sebagai wahyu yang turun dari langit. Yang parah kalau sampai para agamawan, penceramah, pengkhutbah, nara sumber dan ustadz merujukkan isi ceramah dan orasinya dari kitab suci 'media sosial'.
4. Ketika umat Islam sejak abad pertama dan kedua hijriyah telah menemukan ilmu kritik hadits lewat jalur periwayatan yang tsiqah, bahkan sampai menemukan ilmu unik, al-jarhu wa at-ta'dil, tiba- tiba di abad 21 ini kita malah set-back ke belakang, kembali ke zaman hoaks yang terlanjur dianggpa sebagai yang maha benar.
5. Media sosial hari ini selangkah lagi masuk ke area bebas tuhan. Karena siapa saja merass boleh melakukan apa saja, seolah Tuhan pun tidak pernah ada disana. Mirip orang main game GTA yang berperan sebagai penjahat dan membunuhi siapa saja tanpa merasa berdosa.
Ahmad Sarwat
9 Juli (17 menit yg lalu) ·
#Ahmad Sarwat