Oleh: Muhammad Abduh Negara
Jika terjadi pertentangan antara perkataan dan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang didahulukan atau yang dipegang adalah perkataan beliau. Ini jika tidak diketahui, mana Hadits yang datang terakhir. Jika diketahui mana yang lebih dulu, dan mana yang terakhir, maka Hadits yang terakhir menghapus (menasakh) Hadits sebelumnya.
Mengapa perkataan Nabi lebih diutamakan dibandingkan perbuatan beliau? Jawabannya adalah, karena perkataan beliau menunjukkan suatu hukum dengan sendirinya, sedangkan perbuatan beliau menunjukkan suatu hukum melalui perantara. Perantara tersebut adalah istidlal kita bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Nabi itu menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut, karena beliau tak melakukan sesuatu yang dilarang.
Saat terjadi pertentangan antara perkataan dan perbuatan, diutamakan perkataan, karena yang menunjukkan suatu hukum dengan sendirinya lebih diutamakan dari yang menunjukkan suatu hukum melalui perantara.
Contoh kasus: Hukum nikah orang yang sedang berihram
Imam Muslim meriwayatkan dari 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا يَنكح المحرم ولا يُنكِح
Artinya: "Orang yang sedang ihram, tak boleh menikah, dan tak boleh menikahkan."
Hadits di atas adalah perkataan Nabi, dan ia bertentangan (ta'arudh) dengan perbuatan Nabi, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ibn 'Abbas radhiyallahu 'anhuma: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menikah, dan beliau sedang berihram. Dalam riwayat lain dari Al-Bukhari: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi Maimunah, dan beliau sedang berihram.
Pada kasus ini, yang dipegang adalah perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena keumumannya.
Adapun jika diketahui, mana yang terdahulu, dan mana yang datang kemudian, maka yang terdahulu hukumnya dianggap mansukh (dihapus/tidak digunakan lagi). Seperti Hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من شرب الخمر فاجلدوه، فإن عاد في الرابعة فاقتلوه
Artinya: "Siapa saja yang minum khamr, hukumlah ia dengan cambuk. Jika ia mengulanginya kali keempat, bunuhlah ia."
Imam At-Tirmidzi menyatakan: Ini pada masa awal Islam, kemudian hukumnya dihapus. Kemudian beliau membawakan riwayat lain yang menasakh Hadits di atas, yaitu, seorang laki-laki di bawa ke hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ia telah minum khamr pada empat kesempatan, lalu Nabi memukulnya dan tidak membunuhnya.
Imam Asy-Syafi'i menyatakan: Dan hukum bunuh (untuk peminum khamr) telah dihapus hukumnya oleh Hadits ini, dan setahuku tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang hal ini.
Referensi:
Qawa'id Ushul Al-Fiqh Wa Tathbiqatuha, karya Dr. Shafwan bin 'Adnan Dawudi, Terbitan Darul 'Ashimah, Hlm, 243-246.
Muhammad Abduh Negara II
26 menit ·
#Muhammad Abduh Negara II