Saya rada garuk-garuk kepala ketika diminta ceramah dengan judul di atas. Pertama karena saya BUKAN ahli ekonomi, kedua karena saya juga bingung apa yang dimaksud dengan membangun ekonomi umat oleh panitia kajian.
Apakah saya diminta memberikan motivasi agar pada berhenti kerja dan berwiraswasta saja? Kalau itu, jelais saya tidak bisa. Wong saya saja tidak pernah berwiraswasta, ngapain juga saya kudu kasih motivasi?
Ataukah saya harus memberi trainning teknik wiraswasta seperti jualan bakso keliling biar laris tapi syar'i? Itu oun juga tidak bisa, saya mana pernah jualan bakso? Kalau jajan bakso memang sering juga.
Ataukah ceramah yang ujung-ujungnya mengggiring jamaah ikut MLM tertentu? Nah, ini juga saya tidak pernah. Lagian kalau bicara MLM, saya lebih cenderung membahas dari sisi hukum halal haramnya, bukan bagaimana memperbanyak downline.
* * *
Begitu saya tanyakan langsung ke panitia, mereka jawab biar sendi-sendi perekonomian di negeri kita tidak dikuasai orang kafir, pak Ustadz.
Ampun deh ini pengurus, mana saya ngerti urusan sendi-sendi perekonomian? Apalagi urusan merebutnya dari tangan orang kafir? Emangnya saya menteri perekonomian?
Lalu saya pun ceramah. Isinya mengalir saja, mulai dari pernyataan bahwa inti masalah bahwa sendi perekonomian dikuasai non muslim, sebenarnya masalahnya cuma dua saja : Pertama urusan kegigihan kita berbisnis dan bersaing di dunia usaha dan kedua urusan dakwah.
1. Kegigihan Berbisnis
Kalau mau sendi-sendi perekonomian ada di tangan umat Islam, tentu syaratnya harus melewati sunnatullah dulu. Sunnatullah itu maksudnya tidak lain adalah kegigihan.
Tapi kegigihan bisnis di dunia usaha itu membutuhkan keuletan, kesabaran, mental bisnis yang tebal, tahan banting, juga jam terbang yang panjang. Bahkan dibutuhkan dulu kisah sedih awal debut, lalu ada masa naik-turun, ada untung rugi dan semua yang sifatnya sunnatullah.
Tidak ada seorang pun yang sukses berbisnis kecuali melewati semua sunnatullah itu dulu. Apakah dia muslim atau kafir sama saja tidak ada bedanya. Meski dia kafir tapi kalau semua sunnatullah itu dia jalani, bisa saja bisnisnya sukses. Sebaliknya, biar pun muslim tapi kalau kurang menjalani sunnatullah, bisa saja kurang sukses.
Semua kembali kepada si pelakunya juga. Meski diawali dari jadi pedagang asongan pinggir jalan, tapi kalau gigih dan siap maju tidak mudah putus asa, bisa juga jadi orang terkaya di Indonesia.
Nah, ceramah 60 menit tentu saja tidak bisa menyulap jamaah pengajian tiba-tiba menjadi pebisnis sukses. Itu namanya melawan sunnatullah.
2. Dakwah Dengan Santun
Cara kedua ini menurut saya jauh lebih mudah. Kalau ada orang yang sudah sukses berbisnis, meski pun dia bukan muslim misalnya, jangan kita musuhi. Justru kita lakukan yang sebaliknya, yaitu dakwahi dengan santun, perlakukan dengan baik, perlihatkan akhlaq yang asli dari agama Islam.
Tidak usah terlalu terburu-buru mengajak masuk Islam dulu. Santai saja dulu toh Belanda masih jauh. Buktikan saja dulu bahwa kita ini muslim yang teladan, biar saja nanti akhlaq yang Nabi SAW ajarkan kepada kita ini saja yang membuka hati nurani mereka. Kalau pun Allah mau beri dia hidayah, pasti tidak ada yang bisa menghalangi.
Dengan demikian, maka dakwah santun ajaran asli Rasululah SAW sudah kita lakukan.
Kalau pun tidak mau masuk Islam, karena memang tidak ada paksaan pindah ke agama Islam, minimal kita sudah membangun jalinan hubungan yang baik. Sehingga di semua sektor usahanya dia bersikap positif terhadap hal-hal terkait keislaman.
Ribuan muslim diterima bekerja dan jadi karyawannya, lalu semua diberi hak untuk menjalankan ibadah shalat lima waktu, bahkan dibangunkan masjid yang besar, megah dan luas, sehingga bisa setiap hari diselenggarakan kajian keislaman di dalamnya.
Kita dengan ekonomi lemah seadanya kalau mau bikin masjid, 10-20 tahun pun nggak selesai-selesai mengerjakannya. Panitianya sudah gonta-ganti 20 kali, masjidnya tidak berdiri-berdiri juga.
Begitu dihandle oleh penguasaha, meksi bukan muslim, masjid langsung berdiri dan beroperasi full.
Karyawan yang berprestasi diberi hadiah umrah atau haji. Upah dan honor tidak pernah kurang dan tidak telat. Semua kebutuhan karyawan dipenuhi, tunjangan kesehatan, pendidikan, bea siswa lancar digelontorkan, kesempatan kerja buat anak-anak di lingkungan usaha, pendeknya semua hak karyawan diberikan.
Karyawati dibebaskan menutup aurat, cuti haidh dan hamil diberikan, bahkan cuti 'iddah karena suami wafat atau dicerai pun diberikan.
CSR untuk kepentingan lingkungan juga diperhatikan. Proposal pembangunan masjid, masrasah, pesantren, majelis taklim dan semua hal yang positif tidak pernah sepi diberikan.
Dan yang paling penting lagi, pendekatan pribadi kepada para pimpinan yang non muslim itu tetap perlu. Mulai dari berteman secara baik dengan menampakkan originalitas Islam yang asli, yaitu bersahabat bahkan meski dengan non muslim sekalipun.
Islam tidak mengajarkan dakwah dengan main ancam, apalagi cacian, makian, hinaan dan juga acungan pedang. Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah Islam yang mengulurkan tangan persahabatan, hidup berdampingan, saling menjaga hak dan kewajiban, bahkan meski dengan yang tidak beriman sekalipun.
Allah SWT langsung yang mengajarkan hal semacam ini lewat firman-Nya :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran : 159)
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
18 Juni pukul 07.37 ·
#Ahmad Sarwat