Menulis tafsir 30 juz? Yakin bisa selesai? Apa tidak terlalu muluk-muluk?
Pertanyaan semacam ini datang silih berganti di kepala saya sejak lama. Hingga akhirnya saya niatkan untuk segera memulainya dengan bermula bismillah. Selesai tidak selesai, pokoknya saya sedang menulis.
Kalau pun misalnya tidak selesai, tidak apa-apa. Toh dahulu Al-Imam An-Nawawi pun belum selesai ketika menuliskan masterpiece-nya, Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab. Konon baru sampai bab Muamalah yaitu bab riba. Dan beliau wafat dalam usia masih terhitung muda, yaitu usia 45 tahun.
Beliau memberi wasiat kepada muridnya; Ibnu Al-‘Atthor untuk menyempurnakan kitab tersebut, tapi Ibnu Al-‘Atthor tidak berhasil.
Barulah satu abad kemudian Taqiyyuddin As-Subki (wafat 756 H) melanjutkan penulisannya. Beliau hanya sampai pada bab “Ar-Rodd Bi Al-‘Aib”.
As-Sakhowi pernah bilang bahwa tidak ada satupun ulama yang berniat untuk menyempurnakan Al-Majmu’ kemudian berhasil. Beberapa nama lainnya seperti Isma’il Al-Husbani, Ibnu An-Naqib, Al-Bulqini (dengan karyanya “Al-Yanbu’ Fi Takmilati Al-Majmu’ “), Al-‘Iroqi, dan Abu Zur’ah Ar-Rozi semuanya tidak berhasil menuntaskannya. Ini dipandang sebagai di antara karomah An-Nawawi.
Tapi anggapan itu tumbang juga. Di zaman sekarang ada Najib Al-Muthi’i selesai menyempurnakannya. Meski kualitasnya jauh di bawah karya An-Nawawi sendiri.
Belajar Dari Proses Turunnya Al-Quran
Kita semua tahu bahwa Al-Quran turun ke bumi dalam proses 23 tahun lamanya. Untuk buku berukuran 600-an halaman, sebenarnya proses ini cukup lama. Hitungan 600 halaman itu berdasarkan mushaf cetakan Madinah yang jumlah halamannya 604.
Kalau setahun qamariyah terdiri dari 354 hari, maka hitungan kasarnya, 23 tahun itu sama dengan 8.000-an hari. Kalau angka 8.000 dibagi kepada jumlah 600 halaman, maka rata-rata satu halaman butuh 13 hari.
Dicicil Penerbitannya
Sebenarnya saya tidak usah pusing memikirkan kapan selesainya penulisan kitab tafsir ini atau kapan diterbitkannya. Toh di zaman sekarang ini untuk menerbitkan suatu buku sudah tidak harus menunggu selesainya sebuah naskah.
Para komikus serial misalnya, mereka biasa menerbitkan karya yang berjilid-jilid itu dengan cara dicicil per jilid. Jilid pertama terbit dulu, sedangkan jilid kedua dan selanjutnya sama sekali belum dikerjakan.
Dalam dunia film serial termasuk sinema elektronik juga terjadi hal yang sama. Tiap episode dikerjakan dan langsung ditayangkan, tanpa menunggu selesainya episode berikutnya. Istilahnya stripping alias kejar tayang. Kalau ratingnya masih baik, tentu terus diproduksi hingga berseason-season ke depan.
Fiqhussunnah
Di lemari kitab warisan ayah saya, saya menemukan kitab Fiqhus-Sunnah karya As-Sayid Sabiq yang terbit dalam format kecil-kecil. Rupanya ini merupakan versi awal dari versi berikutnya yang terbit dalam format 3 jilid besar.
Majmuah Rasail Hasan Al-Banna
Demikian juga yang ditulis oleh Hasan Al-Banna dalam judul Majmuah Rasail. Dia sesungguhnya tidak menulis kitab besar beratus halaman, yang dituliskan cuma makalah-makalah tipis saja, yang lazim disebut risalah. Kumpulan dari makalah itulah yang di kemudian hari disatukan dalam satu jilid buku dan diberi judul : Kumpulan Makalah atau dalam bahasa Arabnya menjadi : Majmu'ah Rasail.
Seri Fiqih Kehidupan
Sebenarnya ketika saya menerbitkan 18 jlild Seri Fiqih Kehidupan, prosesnya kurang lebih sama saja. Awalnya hanya ada 2 atau 3 jilid saja, tapi lama-lama kemudian bertambah dan bertambah jumlah jilidnya sehingga mencapai 18 buah. Dan masing-masingnya juga mengamali penambahanjumlah halaman, sehingga mencapai 8.000-an halaman.
Jadi kesimpulannya, tidak usah memikirkan kapan selesainya penulisan tafsir ini. Dan untuk bisa diterbitkan, juga tidak harus menuggu selesai semuanya.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
23 Mei pukul 08.36 ·
#Ahmad Sarwat